Menjadi tua dan rapuh itu pasti bagi setiap manusia. Menjadi sendiri dan tak ada yang peduli bukan bagian dari keinginan banyak orang. Apa jadinya jika saat menjadi lansia, ini terjadi dan dunia serasa runtuh?
Dalam sebuah reportase TV swasta Jerman, diliput dikirimnya para oma Jerman (oleh keluarganya) ke Balaton, Hungaria. Kota danau yang indah dan ramah itu menjadi hunian kebanyakan para lansia negeri tembok Berlin itu. Alasannya selain murah, fasilitas juga tak kalah dengan di Jerman lagi terjangkau kantung lansia.
***
[caption id="attachment_228949" align="aligncenter" width="329" caption="Indahnya berdua, jalan-jalan di usia lanjut"][/caption]
Umur saya belum ada 40 tapi sudah merasa khawatir jadi lansia nanti kisahnya bagaimana. Maklum, selain kumpul dengan teman seumuran, saya sudah lama gabung dengan grup aerobik umur 50-80 tahun. Habis mereka baik banget sih, serasa senam sama ibu/neneknya sendiri. Dari cerita para lansia kenalan saya itu, saya bisa mengira dan meraba apa saja yang bisa terjadi di usia senja.
Saya senang mengamati kehidupan masyarakat Jerman yang tentu berbeda dengan di tanah air. Ada sebuah dilema ketika memilih tinggal sendiri mengurus hidup secara mandiri diusia uzur layaknya tetangga depan rumah Oma MM (83 tahun), Oma ED (almarhumah, 90 tahun) dan Oma HH (almarhumah, 91 tahun). Kehidupan individunya tidak seperti kita yang beriklim tropis. Tidak mudah memang, untung saja fasilitas kesehatan terjaga. Para perawat dan dokter bergantian menjenguk. Atau ketika lansia lain harus dirawat di senior Heim/Altenheim alias panti jompo dengan bea yang tinggi.
Oma Jerman dikirim ke panti jompo Hungaria
Dalam reportase yang kami tonton selama sejam itu, sebuah kamera pengintai dipasang. Seorang manula diperlakukan kasar oleh perawatnya (altenpflegerin) di sebuah panti jompo Jerman yang tidak disebutkan namanya dan tempatnya. Memang tidak semua perawat akan berperilaku kasar, tapi ini benar-benar terjadi. Rambut wanita berambut putih itu dijambak saat diganti pakaiannya oleh perawat berpakaian serba putih itu. Masyaallahhhh ….
Diwaktu lain, reporter mewawancarai mereka yang dikirim anaknya ke Balaton. Ada yang senang karena dikumpulkan dengan orang yang senasib, berusia uzur. Ada yang sedih karena anaknya tidak mau mengurusi lagi dan memilih memindahkannya ke luar negeridengna alasan beanya lebih murah dengan bea perawatan lansia di Jerman. Disebutkan oleh si perempuan bahwa di Jerman bisa habis 3500 euro per bulan, di Hungaria tak lebih dari 1500 euro sudah cukup. Ditambah lagi perawatan mereka juga lebih halus, care. Saya tidak tahu alasannya. Pernah tinggal di Balaton selama 11 hari membuat saya sedikit mengerti, keramahtamahan rakyatnya masih melekat. Kekeluargaan juga masih rekat. Meskipun warga lokal tidak bisa berbahasa Jerman, Inggris atau Indonesia, beberapa orang tua mengajak saya berkomunikasi dalam bahasa Hungaria plus bahasa tarzan. Hehe. Senangnya bukan main waktu itu menjadi orang asing di negeri asing tapi tak dianggap asing.
[caption id="attachment_228950" align="aligncenter" width="398" caption="Lansia Hungaria juga ramah"]
[/caption]
Memandang dari segi finansial, Balaton menjadi tempat yang cocok bagi lansia. Dengan uang pensiun yangrata-rata tak akan bisa mencapai 3000 euro ke atas itu, pastinya ini menjadi alternatif terbaik.
Sebagai gambaran kalau kita ke danau Balaton dan ingin mencicipi Langos yang mirip Pizza itu, hanya dihargai 0,80 euro (Jerman Pizza 5 euro). Secangkir kopi 0,70 euro (Jerman 2,50 euro). Satu bola es krim 0,30 euro (Jerman 0,80 euro). Segelas anggur merah 0,90 euro (Jerman 3 euro). Ikan Hecht goreng besar 6 euro (Jerman 10 Euro).
[caption id="attachment_228951" align="aligncenter" width="433" caption="Ikan Hekk lezattt"]
[/caption]
Kemudian melihat dari keindahan alam danau Balaton dan keramahtamahanyang bisa dinikmati tiap hari oleh para wanita dan pria lanjut usia itu, amat menguntungkan secara psikis. Tamba ati.
[caption id="attachment_228952" align="aligncenter" width="589" caption="Danau Balaton, Hungaria"]
[/caption]
Menilik dari cara perawat dan Pengelola mengorganisir para pensiunan Jerman dari segala lapisan itu, membuat hati para keluarga dan lansia sendiri nyaman. Apalagi banyak mereka pekerjanya yang berbahasa Jerman.
Lansia juga manusia, punya rasa punya hati. Dari wawancara, muncul opini bahwa pilihan mereka sebenarnya adalah tetap di tempat mereka berasal tetapi masih bisa dirawat dengan bea tak mahal dan pelayanan yang memuaskan. Apa daya, Man kann nicht alles haben (tidak setiap orang memiliki semua yang diinginkan).
Dari leluhur suami saya, biasanya para lansia dirawat oleh keluarganya hingga meninggal, tidak dikirim ke panti. Namun dengan menjamurnya rumah panti hingga ke kota sekecil kampung kami yang berpenduduk 1000 orang saja itu, setidaknya menunjukkan tingginya permintaan akan rumah panti di era global ini.
Lansia di tanah air dirawat sendirikah?
Saya merenung. Bagaimana dengan fenomena para nenek kakek Indonesia yang dikirim ke panti jompo? Apakah mereka tetap ingin berkumpul dengan sanak keluarga tapi bisa merepotkan karena biasanya perawatan harus intensif, butuh servis kesehatan yang reguler tiap hari dari pagi sampai malam? Sedangkan di panti jompo sosialisasi dengan sesama terpenuhi namun jauh dari keluarga sendiri. Bea yang dikeluarkan juga tidak sedikit ketika memilih pusat lansia itu.
Seingat saya, eyang putri dari garis keturunan ayah pernah tinggal lama dengan kami, hingga pada suatu hari, beliau harus tinggal di rumah sakit dan meninggal disana. Mengamati almarhumah dari hari ke hari memang harus sabar, jalannya pelan sekali, makannya susah, kebiasaan menginangnya rajin. Sedangkan nenek dari garis keturunan ibu, meninggal tanpa menyusahkan orang. Merasa masuk angin, tidur, hingga tak pernah bangun lagi.
Dari pakdhe, budhe, om, bulik semuanya juga merupakan para lansia yang dirawat sendiri oleh keluarganya (istri/suami/anak) hingga meninggal, beberapa ada yang dirawat di RS hingga hari kematian. Belum pernah saya dengar ada yang dikirim ke rumah lansia.
Saya tidak tahu apakah keluarga lain yang mengirimkan orang tuanya ke panti jompo itu menunjukkan pergeseran budaya tanah air? Ini sebagai pilihan terbaik bagi lansia? Atau memang lansia itu sendiri yang ingin menyendiri/menyepi di rumah panti, menggapai ketenangan lahir batin?
[caption id="attachment_228953" align="aligncenter" width="607" caption="Damai di kala senja"]
[/caption]
Ohhh ada yang bilang menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan. Menjadi tua dan dewasa itu luarrrr biasa. Hmmm … ternyata menjadi lansia itu tidak mudah.(G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H