Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Pengalaman Mengubur Ari-ari Bayi di Jerman

Diperbarui: 4 April 2017   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13542692341567654582

Hari ini seorang teman wanita saya dari Turki melahirkan. Caesar. Ia bahagia, sebentar kemudian terkesima. Saya bercerita padanya soal upacara penguburan ari-ari setelah bayi dilahirkan di bumi yang dikenal masyarakat Jawa. Inipun beberapa kali telah kami lakukan. Suami saya bahkan tak canggung melakukan tanpa bantuan orang tua saya atau yang dituakan di Jerman. Maklum, ini budaya bawaan timur yang tak akan ditemukan di tanah Jerman. Bukan tradisinya. Mandiri, sebisanya, ala kadarnya.

Ya. Kami meminta pihak rumah sakit untuk mengijinkan kami membawa pulang ari-ari bayi. Mereka kaget, dikira untuk makanan anjing! Untung saja mereka mengerti bahwa ini bagian dari tradisi masyarakat Jawa, Indonesia. Aha.

[caption id="attachment_226799" align="aligncenter" width="392" caption="Plasenta dicuci bersih dulu"][/caption]

***

Bulan Oktober. Tepat tanggal 5, anak ketiga kami lahir. Untuk mengingat huruf lima itu kami namai ia "Panca". Selain itu alasannya karena kami masih bingung menentukan nama tengah, apalagi tiba-tiba bayi nongol 3 minggu lebih awal dari taksiran dokter. Haduhhhh … mengapa ketuban selalu pecah duluan yak? Ya sudah, Panca, deket-deket sama Panca-sila deh.

Usai lima hari berada di rumah sakit, saya pulang. Ari-ari bayi telah dibawa pulang suami sejak hari pertama kelahiran. Dicuci bersih olehnya, masuk plastik rapat-rapat dan simpan di kulkas agar tak bau. Tadinya tak tega suami saya lihat ari-ari tapi toh jadi biasa karena telah melakukannya di Indonesia dahulu, diajarin mertuanya.

Halah. Suami sengaja menunda penguburan ari-ari katanya demi menunggu saya. Kamipun melakukan tradisi mengubur ari-ari bersama-sama. Mula-mula suami saya menggali taman depan rumah yang keras dan dingin. Setelah dianggap cukup dalam, ia masukkan ari-ari. Sebenarnya butuh periuk keramik, kami tak punya. Dibungkus kain putih hasil sobekan kaos suami yang tak terpakai. Tak usah lari ke toko beli kain mori. Kami mengambil secarik kertas dan menuliskan doa dan harapan yang ingin dipanjatkan kepada Tuhan untuk si jabang bayi. Sesaat kemudian, kami mengheningkan cipta bareng-bareng.

[caption id="attachment_226800" align="aligncenter" width="403" caption="Tak ada kain mori, kaos putih bekaspun jadi."]

13542693221790460986

[/caption]

Kelvin, Chayenne, suami dan saya, masing-masing memasukkan barang-barang yang kami miliki dan sudah tak terpakai, daripada dibuang di sampah ya dimasukkan ke lubang itu. Sisir (hadiah dari naik pesawat) agar ia suka berdandan dan rajin merawat rambutnya. Asesoris rambut lama punya kakak, agar ia tampil chic. Buku dan pensil (yang sudah pendek) agar ia mau belajar. Kami punguti bunga warna-warni dari kebun yang gugur berjatuhan ke tanah, dimasukkan ke lubang sebagai penyegar dan pewangi dalam hidupnya. Dan masih ada beberapa barang lagi. Ini ajaran budaya Jawa oleh para leluhur kami.

Terakhir, kami kasih lilin putih bertempat merah, yang biasa ditempatkan di kuburan Jerman. Waktu di tanah air kami biasa menggunakan keranjang sampah yang dibalik. Saat di Jerman kami pakai sebuah keranjang kayu yang biasa untuk memasukkan kentang atau anggur yang biasa kami simpan di rumah kebun, Gartenhaus. Kami balik dan dipasang diatasnya. Tujuannya adalah agar Igel si trenggiling dan hewan liar lainnya di sekitar rumah kami terusir. Maklum kami tinggal dekat gunung dan hutan, jadi memang rawan hewan liar yang berkeliaran di malam hari. Mungkin saja penciuman hewan lebih tajam dari manusia. Huh, malam-malam bunyinya kresek-kresek, kirain maling yang datang ... tak tahunya trenggiling!

Karena tak ada kabel dan lampu seperti di tanah air, kami biarkan lilin itu padam sendiri dalam dua hari, belum 40 hari deh. Kami kira, melakukan tradisi ini semampunya saja. Toh ada lampu solar di sekitar kebun kami yang selalu bercahaya di malam hari. Kadang kucing tetangga suka pasang ranjau seenaknya. Kadang juga trenggiling, kelinci liar, fox yang wara-wiri. Ya sudahlah. Awas ada lampu kebun. Hus hus … pergilah hai binatang.

Waktu jalan-jalan menuju hutan didepan rumah kami, seorang perempuan asal Amerika pastinya melewati rumah kami dalam perjalanan pulang. Ia bertanya ada apa di kebun kami. Begitu kami jelaskan, perempuan beragama kristen itu berdiri dekat gundukan lalu komat-kamit berdoa untuk bayi kami. Haaa ... serius banget. Namanya kampung kecil, soal ini jadi omongan dari mulut ke mulut. Mereka jadi tahu budaya baru yang kami bawa dari Jawa. Unik, aneh tapi nyata, kata mereka.

***

Begitulah pengalaman menanam ari-ari demi melestarikan tradisi nenek moyang kami dari Jawa dan menghilangkan bau amis yang mengganggu (lantaran kami bawa pulang, biasanya sih dibuang pihak RS).

[caption id="attachment_226798" align="aligncenter" width="368" caption="Plasenta jadi pupuk alami bunga mawarku"]

13542691701980636401

[/caption]

Kini, diatasnya tumbuh bunga mawar warna pink yang subur. Mungkin karena pupuk ari-ari dibawahnya ya? Bermanfaat juga rupanya. Buktinya dari 12 mawar di kebun kami, hanya bunga yang tanahnya ditanami ari-ari ini saja yang tumbuh gemuk nan subur dan bunganya banyak di empat musim. Bunga mawar dari jenis yang sama disebelahnya, lebih kurus, lebih sedikit bunganya. Pupuk alami tanpa bahan kimiawi. Ooo … penanaman ari-ari itu untuk lingkungan juga ya?(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline