[caption id="attachment_176042" align="aligncenter" width="555" caption="dok. pribadi"][/caption] Kedatangan relawan asing ke Indonesia dari tahun ke tahun ternyata tak pernah berhenti. Banyak alasan yang membuat mereka tak gentar dan bahkan kecanduan memilih kegiatan kerelawanan di negeri kita ini. Aih, bangganya ... pesona Indonesia memang tiada tara! 1. AJ, 42 tahun. Ia termasuk relawan yang tak pernah kapok setahun sekali mencari program kerja sosial di Indonesia. Lelaki asal Perancis itu telah memulai tekatnya ini sejak tahun 2002 untuk mengikuti kegiatan kemah internasional yang menjumputi enceng gondok dan memasang pelindung dari pertumbuhannya di sepanjang sungai Demak (uang iuran kegiatan sebesar 150 dollar Amrik untuk akomodasi dan kegiatan). Setelah dua minggu, ia meneruskan dengan kegiatan pribadi; jalan-jalan keliling Indonesia sembari menghabiskan visa sebulan. Setiap tahun kegiatan yang ia ikuti berbeda. Tahun 2012 ini, ia menjadi seorang tenaga pengajar sosial di sebuah sekolah swasta dengan uang saku 2 juta rupiah per bulan dengan kontrak 2 tahun (yang lebih banyak untuk pengurusan visanya!). Urusan pangan dan papan di tanggung sekolah. Ketika ditanya tentang motivasinya ini, ia mengatakan bahwa kepenatan akan kehidupan kota sebesar Paris, membuatnya semangat. Apalagi tambahnya, Indonesia dianggapnya termasuk negara ramah baik dari karakter orang-orangnya dan biaya hidup. Alasan kedua itu baginya tak akan dirasakan di tempat kelahirannya dimana individu sudah sangat privat, bukan lagi sebagai makhluk sosial. Jika saya bandingkan dengan pengangguran Jerman yang disokong setidaknya 600 euro/bulan, kerja sosial dengan 150 euro ini tak seberapa tapi menantang! Oh ya, pria lajang bermata biru itu tak sekalipun bertujuan untuk mencari pasangan hidup (wanita Indonesia), hanya saja, ia serasa bagai Arjuna dikelilingi para dewi. Xixixi ... "Mister, mister ... kamu ganteng sekali, buy me, Sir", kata-kata itu selalu membuat senyumnya melebar dan pipi merah merona. Waaa ... maksud penjaja souvenir/penganan itu hendak menawarkan dagangannya, bukan membeli penjualnya tho ... 2. LL, 33 tahun. Pria brewok itu memilih program LAMP Indonesia seperti di Jepang (red: http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/10/dapatkan-bonus-saat-jadi-relawan-hinode-taiyo-no-ie-jepang/). Dalam lamarannya, ia bertekat ingin mengabdikan diri selama 1 tahun demi mengejar pengalaman kerja sosial di negara Asia (waktu itu katanya masih ada keharusan bagi orang Jerman untuk masuk didikan militer atau abdi sosial, kecuali jika handicapped/cacat). Setelah kami fasilitasi dan bantu dalam prosedur surat menyurat di kedutaan, ia berhasil mendapatkan visa sosial (yang hanya berlaku 6 bulan, diperpanjang tiap bulannya dan harus keluar dari Indonesia jika ingin menambah, halahhhhhhh perottt). Tiba di tanah air, ia langsung jatuh sakit. Katanya, Indonesia udaranya lembab dan panas sekali. Ha ha ha ... shock barangkali, karena summer alias temperatur amat panas layaknya kompor hanya ada setahun sekali selama 2-3 bulan saja di Jerman. Oh ya, di rumah sakit, ia terkaget-kaget karena relawan lokal besuk dengan membawa blek biskuit dan buah! Di Jerman, tradisi besuk adalah membawa b-u-n-g-a ... walahhhh. Dalam wawacancara singkat dengan kami saat perkenalan, ia berjanji "Saya akan makan sapu (red: sabun) jika tak bisa menunaikan tugas sosial selama 1 tahun seperti yang saya minta". Selanjutnya ia kami tugaskan di Tegal, di sebuah universitas swasta yang mempersiapkan semua keperluannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria blonde itu mendapatkan uang saku 600 ribu (yang lagi-lagi ... lebih banyak ia gunakan untuk memperpanjang visa!). Walahhh mengurusi visa relawan itu ribet sekali, sepusing mengurusi ijin tinggal pebisnis tingkat tinggi! Dan ternyata setelah 6 bulan, kewajibannya sesuai kontrak dengan universitas (mengelola English club bagi mahasiswa, asisten mengajar bahasa Inggris, kerja bakti dengan masyarakat sekitar) tak bisa lagi ia tolerir. Saya tatap mata lelaki bermata hijau itu karena ia minta dipulangkan ke Hamburg, "Nah ... ayo, den Massss ... makan sapu (red: sabun) duluuuu baru pulang ...." 3. KT, 25 tahun. Gadis Jepang yang cantik itu telah malang melintang didunia kerelawanan. Afrika, Amerika dan Asia telah dijajahnya. Giliran di Indonesia, ia tertarik untuk mendapatkan hati diantara anak jalanan. Ujarnya, anak jalanan di Indonesia yang kian hari kian bertambah itu membuatnya ingin menguak misteri di belakang kehidupan dan perkembangannya. Karena rekat dengan organisasi A di Semarang, kami tawarkan kegiatan di shelter bersama anjal (yang kebanyakan berprofesi sebagai pengamen, semir sepatu dan loper majalah/koran dan peminta-minta) untuknya. Organisasi rekanan tak menyediakan dana untuk si relawan imut ini. Iapun ditampung sebuah keluarga, dimana ia harus menempuh dengan angkot (Daihatsu warna oranye) selama 30 menit. Celakanya, karena ia selalu berpakaian mini dan seksi (padahal sudah kami ingatkan) sering kali ia dilecehkan orang dalam perjalanan. Ia menangis, sakit dan kami pulangkan.
4. AV, 30 tahun. Wanita keturunan Jawa Timur-Belanda itu bersikeras menjadi relawan LAMP selama 1 tahun. Selain ingin menambah ketrampilan berbahasa Indonesia, menyusuri garis keturunan bundanya di Jawa Timur, ia ingin mendalami praktek mengajar (karena ia mahasiswi doktoral jurusan pendidikan di Amsterdam). Pertama, ia ditempatkan di sebuah polikes negeri, akomodasi ditanggung rame-rame oleh para dosen. Wanita semampai ini mengeluh bahwa ia harus pindah-pindah dan bongkar pasang koper besarnya. Hingga suatu hari, seorang dosen single menawarkan kos-kosannya untuk ditempati dalam jangka panjang. Tentu saja perempuan berambut coklat itu tak menolak, apalagi si pria memiliki beberapa kuda piaraan! Riding horse is her hobby! Buntutnya, mereka dekat, pacaran dan menikah. Duh, bahagianyaaa ... dunia serasa milik berdua yang lain mengontrak. Selamat ... selamat ... ndherek manghayubagya ... 5. JL, 28 tahun. Perempuan asli USA itu gembira bukan kepalang lantaran ia diterima untuk mengabdi pada sebuah organisasi yang menangani para pekerja seks di lokalisasi Sunan Kuning Semarang. Maksud hati wanita berambut rasta itu adalah untuk mengetahui seluk beluk para kupu-kupu malam itu, dampak sosial pada masyarakat awam yang juga tinggal sekampung, membantu program organisasi dalam menangani mereka (penyuluhan, simulasi, imunisasi/pemeriksaan kesehatan dan lainnya), dan tentunya bertukar pikiran dengan relawan asing lain yang bergabung. Lain lagi dengan koleganya, KL, 27 tahun. Bujang Belgia itu jadi kecut hatinya lantaran beberapa pekerja seks justru menawarkan jasa mereka tanpa bayaran! Bukan salah bunda mengandung kalau tampilan bulenya jadi magnet, xixixix ... Akhirnya ia lega kami pindahkan ke tempat lain dan menemukan bunga hati untuk dinikahi. Alhamdulillah ... 6. KY, 23 tahun. Pemuda asal Seoul bersemangat untuk bertugas di sebuah sekolah YPAC di sebuah daerah pegunungan karena merasa beruntung dilahirkan tidak cacat. Ia amat menikmati hari-hari bersama mereka sebagai guru seni dan olah raga bagi para tuna rungu dan tuna grahita itu. Sayang, entah karena kesalahan organisasi pengirim atau imigrasi Korsel, jenis visa yang ia miliki tidak valid. Visa pendidikan yang ia dapatkan ternyata tidak berlaku dan diketahui imigrasi setempat ketika akan diperpanjang. Tobat, gegerlah kami dibuatnya! Ia dideportasi imigrasi dan kembali ke Korea. Setahun kemudian, ia kembali ke tempat tugas yang sama dengan visa sosial yang benar. Wuihhhh membayangkan betapa remuk hati dan kantong miliknya untuk kesalahan yang terjadi. Well ... karena mengalami berbagai kendala soal perijinan dan selanjutnya, suatu hari pernah kami berbincang-bincang dengan direktur CCIVS UNESCO yang membawahi LSM kemah internasional seluruh dunia, tentang visa. Harapan bahwa suatu hari nanti ada visa khusus relawan akan terwujud. Di lain sisi, dukungan pemerintah khususnya imigrasi amat dinanti (entah esok, lusa atau suatu hari nanti). Dari cerita relawan diatas, semoga menginspirasi semua bahwa pada banyak kasus, keputusan menjadi relawan itu sebuah tugas dari hati nurani setiap manusia dari belahan dunia manapun. Jika relawan asing saja berbondong-bondong ke tanah air; mengorbankan beragam kepentingan, menghabiskan gundukan uang, meluluhlantakkan energi lahir batin yang luar biasa, kepusingan akan problema visa, kesulitan beradaptasi dengan makanan/hawa/karakter/budaya masyarakat lokal, memendam kerinduan akan kampung halaman dan keluarga yang jauh ... kita orang Indonesia jangan mau kalah. Mari memulai dari lingkungan yang dekat ... meski berjiwa sosial seadanya, tanpa pura-pura atau tiada salah praduga. Sumber: pengalaman dan dokumentasi pribadi (dari kaos IIWC PKBI Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H