Untuk memasuki wilayah kerajaan Nepal, ternyata amat mudah. Mereka memberlakukan VoA alias Visa on arrival seperti Indonesia. Hanya butuh surat penting seperti invitation letter misalnya untuk mendapatkan stempel dari petugas imigrasi.
Suasana bandaranya seperti di Cengkareng; banyak penjemput yang berbaris di sebuah palang besi dan serbuan para sopir taxi. Pemandangan lain disana adalah beberapa tentara nampak berjaga-jaga di sekitar bandara; ada yang berdiri tegak, ada yang telungkup dan tentunya lengkap dengan senjata, peluru dan granatnya. Kata si GM hotel yang menjemput saya, mereka waktu itu sedang dalam masa huru-hara (kalau tidak salah dengan pemberontak Maois).
[caption id="attachment_140985" align="aligncenter" width="646" caption="Bandara Tribhuvan, Kathmandu,Nepal"][/caption]
Kathmandu
Sebelum keluar pintu bandara, saya telah mengantongi mata uang Nepal secukupnya untuk jaga-jaga. Hal yang selalu saya ingat dikepala adalah untuk tidak lupa meminta receipt atau kuitansi penukaran karena pada akhirnya nanti uang rupee tidak bisa kita tukar dengan mata uang apa pun dan di mana pun, kecuali dengan bank atau money changer di Nepal saja! Itu pun wajib menunjukkan bukti yang sah. Kabarnya ini menghindari money laundering atau pencucian uang. Saya tergolong lambat dalam memahami uang mereka, kecuali tulisan angkanya. Uang kertas itu bernilai 1.000, 500, 100, 50, 20, 10, 5, 2 dan 1, plus beberapa uang pecahan logam.
Well … Setelah melalui lalin jalan yang semrawut dan dipenuhi sepeda motor besar, tak berapa lama kami tiba di sebuah hotel yang sederhana tapi asri. GM berbulu banyak ditangannya itu memintakan kunci di receptionist dan mempersilahkan saya masuk ke sebuah kamar. Saya sekamar dengan seorang gadis asal Australia keturunan Vietnam. Sayangnya, saat itu ia sedang jalan-jalan ke kota bersama relawan lain.
Karena teman-teman lainnya juga sedang tidak berada di tempat, si GM menawarkan diri untuk mengantar jalan-jalan ke Kathmandu. Mulai dari belanja pakaian tradisional wanita Nepal (sari), lewat di pusat kota dan kerajaan sampai makan di restoran lesehan yang ada tampilan seni tradisionalnya; kendang dan tarian ledek. Kami berjoget sampai gila, saya nggilani alias jadul!
[caption id="attachment_140987" align="aligncenter" width="664" caption="Kathmandu"][/caption]
Keesokan harinya, selepas salat Subuh saya sempat termangu di keheningan pagi Kota Kathmandu. Saya menyusuri Jalan Tamel yang menjadi pusat perbelanjaan, mirip Jalan Malioboro di Yogyakarta. Di situ tergelar beragam barang dan kebutuhan kenang-kenangan. Selain kain sari, dhalbat (nasi dan kari khas Nepal-Red), kaset, toko kelontong, dan suvenir buatan tangan khas Nepal. Siapapun yang ke situ pasti tergiur untuk menikmati Momo. Itu makanan tradisional asal Tibet yang digelar di jalan Tamel tepatnya di warung pojok di depan jalan besar. Daging kerbau gelindingan yang diramu dengan bawang dan bebumbuan lain khas Tibet membuat kami merasakan kepuasan tersendiri. Lezat dan khas, mirip bakso Indonesia.
Sedikit membedakan dengan tanah air, Kerajaan Nepal ini sederhana tapi cantik dan romantis. Letak geografis Nepal yang spektakuler kabarnya juga menjadi pemandangan budaya terkaya seantero jagad. Sayang waktu itu, kami diiringi kekhawatiran adanya pemeriksaan ketat di titik-titik daerah tertentu. Identitas, tas, dan tak terkecuali tubuh digeledah dengan serius. Syukurlah, itu tak berlaku bagi saya, orang asing. Beberapa orang lokal yang mendapat perlakuan rutin yang sesekali menjengkelkan itu menganggapnya biasa, manut.
Cukup sering saya mendengar para petugas menginterogasi beberapa teman lokal kami dengan bahasa Nepal. Terdengar unik di telinga. Ya, bahasa itu merupakan keelokan lain di sana mengingat keragaman etnis dan subgrup di Nepal memiliki 70 bahasa dan dialek. Namun tak perlu khawatir jika tidak menguasai bahasa mereka karena beberapa generasi mudanya mulai mampu berbahasa Inggris. Yang penting, little-little I can is OK …
Malam telah tiba, kami kembali ke hotel. Ketika berada di kamar, saya gelisah karena room mate tak juga datang. Terlebih ketika seseorang mengetuk pintu. Ketika saya buka, pria yang berdiri di pintu adalah GM yang tadi. Lelaki lulusan salah satu universitas di Inggris itu meminta saya untuk mampir ke kamarnya di nomer sekian. Saya hanya manggut-manggut dan memintanya untuk pergi duluan karena saya ingin merapikan koper dahulu.
Selang beberapa menit, saya datang ke kamarnya. Pintu sengaja dibiarkan terbuka sedikit, sehingga saya leluasa masuk. Betapa terkejutnya saya karena si GM telah terbaring di tempat tidur dengan selimut. Bagian tubuh atasnya tak berbaju. Pikiran saya berontak, what is this? Heee …
Si GM hotel menawari saya untuk duduk di sebelahnya. Warna harum seperti barusan mandi tercium dari hidung. Saya merasa tak jenak. Kaki saya tetap tak bergerak, berdiri layaknya patung. Ia lagi-lagi memaksa saya untuk duduk disebelahnya. Tangannya menepuk-nepuk kasur, bunyinya menghentak. Ide saya untuk mengeles muncul. Seperti ada perasaan aneh dari ajakannya dan saya harus ekstra hati-hati. I don’t know him much ya.
Segera saya tinggalkan kamarnya yang menyengat (bau parfum). Begitu memasuki kamar saya, gilangnya bukan kepalang karena T, gadis muda itu telah berbaring di tempat tidur sebelah saya. Secara singkat kami berkenalan dan saya ceritakan apa yang baru saja terjadi.
Tak disangka pintu lagi-lagi diketuk. Suara seorang pria yang saya kenal barusan itu memanggil-manggil nama saya. Kami diam, seolah-olah berlagak sedang tidak berada di kamar atau sudah tidur. Untung saja si GM tidak mengambil kunci ganda dari meja penerima tamu. Keesokan harinya, saya curhat kepada panitia dan kamipun pindah ke Bhorle, sebuah daerah pegunungan yang indah mempesona untuk melanjutkan rencana berikutnya.
Bhorle
Dalam perjalanan ke Bhorle, lagi-lagi kami mampir di pasar tradisional. Sewaktu dipasar itu, rasanya seperti berada di pasar tradisional tanah air. Pembeli sebaiknya pintar-pintar menawar sebelum bertransaksi, kalau tidak ingin kemahalan. Sekedar contoh soal harga-harga barang di sana, kain sari berbahan sutra harganya 1.000 rupee per pasang, sedangkan yang berbahan katun berkisar 500-700 rupee. Boneka dewa dengan muka berbeda yang mirip marionette (golek dengan tali-temali untuk menggerakkannya) berharga 100-300 rupee, dompet kain dipatok 10 rupee. Begitu pula, berbagai topi pria khas Nepal yang sering kita lihat dipakai tokoh India; Jawaharlal Nehru, tersedia dengan berbagai ukuran dan harga. Motifnya agak mirip dengan lurik Jateng tapi dengan warna yang lebih berani seperti tenun Makassar.
[caption id="attachment_140988" align="aligncenter" width="564" caption="Tukang jahit kain sari di pasar tradisional"][/caption]
Bhorle adalah sebuah daerah yang memberi gambaran mengenai karakter suku Nepal yang terkesan primitif, sederhana, ramah, dan eksotis. Rumah-rumah mereka masih terbuat dari batu beratap rumbia yang berdiri memenuhi sebuah bukit. Umumnya, setiap keluarga memiliki sebuah rumah utama dengan listrik 5 watt, plus sebuah rumah kecil yang gelap untuk dapur dengan kompor berbahan bakar kayu, serta sebuah kandang hewan untuk kerbau atau kambing di samping rumah utama! Karena kelelahan saya tak peduli dan tertidur nyenyak disana.
[caption id="attachment_140994" align="aligncenter" width="651" caption="Rumah penduduk tempat saya menginap"][/caption]
Suku Bhorle memiliki seorang kepala suku yang berperan pula sebagai kepala desa. Dia juga terkenal karena tariannya. Kami sempat dijamu dengan tarian dan musik khas Bhorle oleh masyarakat setempat. Yang menarik, kami selalu mendapat kalungan bunga darinya; rangkaian dedaunan dan bebungaan sebagai ungkapan "selamat datang dan perpisahan".
[caption id="attachment_140989" align="aligncenter" width="564" caption="Ketua suku Bhorle dkk"][/caption]
Didalam backpack saya, makanan instan dari Indonesia plus bumbu-bumbu instan terselip. Salah satu bumbunya ada yang berlabel dengan gambar sapi. Sayangnya, teman saya menyarankan untuk tidak mengedarkannya pada suku Bhorle, pemeluk Hindu. Mereka tidak mengkonsumsi daging atau lainnya yang mengandung ekstrak sapi. Oi, beberapa keluarga ternyata mampu mengolah anggur untuk dijadikan minuman. Kabarnya arak mereka ini terkenal sedap. Sementara itu impor bir Tuborg asal Denmark justru merajai di segala penjuru Nepal, juga di Bhorle ini.
Hal yang paling saya nikmati adalah saat kaum perempuannya menyapu tangga-tangga rumah dengan sapu lidi, sebelum pergi ke ladang. Jika panen, biasanya mereka menumpang truk atau bis yang kebetulan lewat untuk membawa mereka memasarkan hasil panenan. Memikat sekali menyaksikan para wanita yang memakai ikat kepala dari kain untuk menggendong barang dibelakang dan duduk di mobil tumpangan menuju suatu tempat bahkan diatap sebuah bis!
Menyusuri jalur jalan bertrap yang memisahkan wilayah Suku Bhorle dengan jalan raya, terlihat sungai yang airnya warna hijau, kuning, dan coklat. Sungai itu membentang panjang di depan desa lainnya. Atraksi rafting sesekali dimusim panas juga digelar disana. Sementara itu, sebuah jembatan bantuan LN dibangun untuk menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya.
[caption id="attachment_140990" align="aligncenter" width="581" caption="Sungai hijau di seberang desa suku Bhorle"][/caption]
Di mulut jembatan, ada beberapa warung yang menjajakan daging kerbau goreng yang gurih dan bir. Ruangan dipinggir jalan raya itu hanya diterangi pendar lilin. Sopir-sopir truk dan bis Nepal terlihat gila dalam mengemudi dijalan. Kecelakaan sering terjadi, jadi harus hati-hati menyeberang jalan. Meskipun begitu, toh banyak pula penumpang yang malah duduk di atap bus yang bergerak cepat, sementara di kanan kiri jalan sempit yang dilintasinya hanyalah jurang dan lembah. Hiy! Penduduk Nepal sudah terbiasa dengan suasana berkendara yang mencekam. Sebelum pindah ke Chitwan, saya membagi uang koin rupiah kepada anak-anak kecil Bhorle. Hiks.
Chitwan
Acara ke Chitwan ini dalam rangka refreshing, setelah selama beberapa hari membuat water tank (red: bak penampung air hujan) bagi masyarakat Bhorle. Perjalanan yang panjang dan melelahkan ke Taman Nasional Chitwan itu kami nikmati saja.
Dalam perjalanan dengan bis sewaan, kami menikmati kerupuk yang mirip sermier (red: krupuk tipis dari singkong berbentuk bundar seperti piring) sembari menikmati alunan musik Nepal yang mirip dangdut di dalam bis. Sebagian teman-teman asing, duduk di atas bis. Aduh, mata saya kemasukan debu. Beruntung bahwa sopir mengendarainya dengan kecepatan bis „Biar lambat asal selamat.“
Sesampai di pondok "Jungle", kami disuguhi dua tarian Suku Taro. Pertama merupakan tarian perang dengan menggunakan tongkat yang dibawakan 20 penari laki-laki berpakaian putih-putih digiring hentakan kendang. Tarian kedua menggambarkan percintaan, namun penari wanita diperankan seorang pria yang berdandan ala wanita (lengkap dengan kosmetik dan rok lebarnya). Tak seorangpun yang menjelaskan mengapa tak ada penari perempuan di sini. Perkiraan saya, gerakan tariannya yang terlalu rancak mungkin sangat melelahkan bagi wanita, atau wanita Nepal hanya ada didapur (?).
[caption id="attachment_141005" align="aligncenter" width="653" caption="Tarian suku Taro "][/caption]
Pengelola Taman Nasional Chitwan menerangkan bahwa mereka menawarkan pondok-pondok seperti rumah panggung yang nyaman dikelilingi pepohonan dan beberapa hewan seperti burung, anak gajah, dan anak badak yang bisa dielus-elus para penginap.
[caption id="attachment_140992" align="aligncenter" width="568" caption="Atraksi mengelus anak badak di Chitwan"][/caption]
Paginya, kami berkeliling taman itu dengan naik gajah. Satu gajah dinaiki empat orang. Selain badak, kami beruntung melihat burung-burung cantik yang liar, juga rusa liar disana dari atas gajah. Usai naik gajah, selangkangan serasa pegal.Oyoyoy!
Selepas perjalanan berkeliling hutan, kami beristirahat di tempat penangkaran gajah. Aduh, tinja gajah itu ternyata bundar dan besar! Walah, pipisnya saja seperti air terjun …
[caption id="attachment_140993" align="aligncenter" width="662" caption="Gajah dan Bledug (anak gajah)"][/caption]
Dari kandang gajah, lamat-lamat saya melihat semburat putih menyelimuti sebuah gunung di kejauhan. Aha, itu Himalaya, gunung dengan puncak tertinggi di dunia hingga lebih dari 8.000 meter di atas permukaan laut. Puncak Everest, kemasyhuran dan tantangan yang ditawarkannya sudah menjadi cerita yang umum para pendaki. Mau mencoba? Visit Nepal Tourism Year 2011.(G76)
Sumber: artikel saya di SM „Nepal Yang Menantang Petualang“ dengan berbagai editing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H