[caption id="attachment_130194" align="aligncenter" width="445" caption="Polystyrene Foam, penyebab kanker dan polusi"][/caption]
Pengalaman pertama kali dalam hidup di negeri asing; mengikuti acara tujuhbelasan di KJRI Frankfurt, Jerman, benar-benar membuat saya seperti berada di Indonesia. Ratusan orang yang menghadirinya sempat membuat saya terharu. Apalagi bertemu secara tidak sengaja dengan salah satu kompasiana, Indriatisee. Exciting banget! Amboi, indah rasanya berkumpul dengan orang-orang Indonesia, mulai dari pejabat, artis, sampai rakyat jelata seperti saya. Bahasa nasional yang terdengar dari pagi sampai sore, warna-warni pakaian daerah yang dikenakan, gemulai penari yang membawakan tarian Sumatra-Bali-Jawa Barat, kehebatan angklung tim KJRI, gosip renyah ibu-ibu dibawah tenda, tawa cekikikan khas orang Indonesia, nyanyian Jawa-Sumatra-dkknya yang menusuk kalbu ... ah, terima kasih Gusti! Hiks, sayang hanya satu hari saja. Halah padune tuman (red: ketagihan). Saya bilang kegiatan tahunan itu tak sembarangan, everything was just perfect! Sayangnya, satu hal yang saya sesalkan dalam penyelenggaraan HUT RI ke-66 itu, dos makan siang sajian panitia ada dalam kardus styrofoam! Jika dilihat dari segi ekonomis dan lain-lain, memang Polystyrene Foam praktis tetapi kardus berwarna putih berbahan ringan itu ternyata berbahaya bagi kesehatan. Temperatur udara hari yang hebat itu mencengkeram angka 30 derajat celcius. Hal itu berarti bahwa kemungkinan besar makanan semacam nasi kuning, kering tempe, sambal goreng ati, ayam bakar dan kerupuk itu bisa jadi bereaksi dengan kardus styrofoam. Heeeeeeee ... Saya penasaran soal ini untuk meyakinkan kesedihan saya akan penggunaan styrofoam ini teramat sangat beralasan. Thanks to technology, everything is on internet. Taraaa ... Menurut informasi yang saya baca dalam www.archive.kaskus.us, direntangkan secara detil bahayanya. Misalnya saja bahan makanan yang panas itu akan meleleh dan bercampur dengan makanan. Yang ini berarti benzen, salah satu bahan pembuat stryofoam akan meleleh dan bereaksi secara kimia bila terkena panas atau asam. Benzen sebagai salah satu bahan karsinogenik dapat memicu terbentuknya sel kanker. Bahan ini juga dapat menganggu sistem kerja hormon tubuh. Ih serem, ya? „...Bagi kesehatan, penggunaan styrofoam dapat menimbulkan berbagai penyakit, termasuk kanker. Sedangkan bagi lingkungan, Styrofoam sangat mencemari lingkungan karena dibutuhkan waktu beribu tahun untuk mengurainya ..." Kemudian menyinggung soal lingkungan, dijelaskan pula bahwa ternyata proses pembuatan styrofoam juga menimbulkan bau yang tak sedap, mengganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara juga bisa mencemari lingkungan. Sedangkan beberapa perusahaan yang mengkampanyekan recycling, disinyalir hanya reuse saja alias menggunakan kembali dengan format baru namun tentu saja masih styrofoam. Itulah sebabnya, saya tak habis mengerti mengapa pesta rakyat tanggal 17 Agustus itu masih berpihak pada styrofoam. „Seperti di Indonesia saja, pakai kardus styrofoam ..." celetuk lelaki berambut coklat pendamping sebelah kiri saya itu. Saat menerima empat kardus untuk kami berlima, pria sabar itu meringis. Hanya empat kardus, karena gadis kecil kami baru 2,5 tahun. Mungkin saja petugas memprakirakan bahwa si bocah innocent itu tak akan makan banyak alias nempil. He he he .. Keheranan ayah tiga anak itu tak bisa saya jawab dengan argumen yang tepat. Saya hanya berfikiran, disini daun pisang mahal atau kardus kotak dari kertas atau plastik seperti di Indonesia tidak model di Jerman. Meskipun demikian, belum pernah saya temui penjualan kardus "Gourmet Box" itu sekalipun. Darimana asal styrofoam itu, ya? Parahnya, pada tahun 1986, Enviromental Protection Agency menyebutkan bahwa limbah berbahaya yang dihasilkan dari proses pembuatan styrofoam sangat banyak. Itulah sebabnya styrofoam dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia oleh EPA. Barkeley dan Ohio di Amrik dikabarkan telah melarang penggunaan Styrofoam yang memakan waktu lama untuk diuraikan oleh alam, bagaimana dengan Indonesia? Sak hohah (red: banyak dipakai). Saya tak bermaksud menggurui, namun semoga saja keteledoran menggunakan styrofoam di tlatah Jerman tak lagi terjadi. Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip (red: bumi gempa, langit berubah). Trotok ... trotok ... trotok ... genjreng! Lebaran masih jauh, tak ada salahnya memohon maaf jika menyinggung soal styrofoam. P.S: Menurut www.howtogermany.com, Jerman adalah negara yang termasuk sukses dalam mengatur sampahnya yang mencapai 30 juta ton secara rutin. Jadi sangat tidak bijak kalau warga Indonesia yang berada di negeri Angela Merkel, tidak ikut mendukung kampanye mereka babagan lingkungan (red: http://green.kompasiana.com/polusi/2011/07/05/sampah-di-indonesia-dibuang-di-kali-di-jerman-didaur-lagi/).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H