Penghargaan biasa diberikan kepada orang yang berprestasi atau menunjukkan perkembangan yang signifikan. Oalahhh … ternyata penghargaan (berupa piagam) bisa menjadi motivator ulung bagi si anak. Yaiy, piagam itu tak harus melulu dari sekolah/panitia lomba tetapi dari orang tua. Tidak percaya? I am a mum of three … I try it at home, it’s not dangeroussssss ….
***
Anak sulung yang waktu itu bersekolah di TK Sekolah Internasional sebuah kota di Indonesia, memberikan secarik kertas ukuran C5. Setelah saya baca, senyuman mengembang. Ia mendapatkan piagam dari guru kelasnya yang asli Australia itu dikarenakan ia rajin seminggu sekali memakan habis buah, bekal dari rumah. Wih! Hal yang sepele namun penting nan bermanfaat. Maklum, sekolah mengkampanyekan makan buah tiap hari rabu.Ini hampir mirip dengan tren TK Jerman di kampung kami. Yup, anak semakin semangat mereka-reka buah penunjang kesehatan untuk dibawa setiap minggunya. Berpacu dalam toko buah …
[caption id="attachment_166906" align="aligncenter" width="244" caption="Dulu, kakak menerima penghargaan rajin makan buah"][/caption]
Sejak saat itu, saya mulai gencar memberikan piagam kepada anak-anak kami. Mengapa? Karena tak perlu biaya untuk mengeluarkannya, tak ada uang sogokan yang saya terima untuk menandatanganinya dan it’s truly fun! Hanya butuh secarik kertas untuk ditulis tangan disertai tempelan sticker menarik nan lucu, atau mencetak tulisan bergambar di komputer lewat printer. I promise you, people … it’s quiet easy-cool.
[caption id="attachment_166907" align="aligncenter" width="244" caption="Bagus, teruskan ngepelnya ..."] [/caption]
Kedua, karena saya yakin, siapapun akan sangat bersemangat jika apa yang dilakukannya diakui dan dihargai. Sesederhana apapun akan sangat indah mendengar pujian “Bagus, teruskan ngepel lantainya …“, “Hebat, nak, kamu telah berhasil mempraktekkan cara membuat kue keranjang ala Indonesia“, “Selamat, adik telah berhasil membuat kue plum Jerman bersama mama …“, “Wow, apa yang kamu lakukan amat berarti, cantik/ganteng, terima kasih …“ dan seterusnya.
Tidak gampang memang untuk memberi pengertian soal ini lantaran masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda (tidak selamanya 100% sesuai yang kita harapkan). Namun bukankah setidaknya mereka mulai belajar sejak dini untuk menghargai dan dihargai? Jadi mereka tidak hanya mengerti soal perasaan so high ketika orang mulai menghargainya tetapi juga belajar ekspresif dalam menghargai orang lain. Misalnya tak heran jika mereka berkomentar tanpa jeda kepada kami dengan mengatakan, “Wah, mama cantik dan baik sekali, putrimu bangga …”, “Wow, masakan mama lezat, terima kasih telah memasak untuk kami …”, “Papa, kamu papa terbaik sedunia, saya cinta papa …” dan masih banyak lagi. Isn’t it so wonderful? Deal or no deal?
[caption id="attachment_166909" align="aligncenter" width="272" caption="Selamat, adik sudah bisa inline skate ..."] [/caption]
Alasan ketiga, ini akan membekas pada anak ketika tumbuh dewasa. Mereka akan mulai mengerti korelasi bahwa orang melakukan sesuatu akan terjadi/merubah sesuatu. Take and give, tak ada sesuatu yang berjalan dengan sendirinya. Harus ada usaha, iman/percaya dibarengi doa, for sure. Jika adik tidak membantu mama membuat kue, tidak bisa makan kue buatan sendiri, tho?
[caption id="attachment_166910" align="aligncenter" width="239" caption="Hebat, adik sudah belajar membuat kue keranjang a la Indonesia"]
[/caption]
Keempat, ini akan menjadi sebuah memori (jika dokumen piagam) terarsip dengan baik. Wow betapa sebuah kenangan yang indah, melihat kebelakang apa yang dilakukan dimasa kanak-kanak hingga memiliki anak bukan? Dan tentunya anak menjadi tahu telah banyak prestasi/kebaikan yang bermanfaat dalam hidup telah dijalani selama ini. Mereka menjadi kolektor ‘semangat’.
[caption id="attachment_166913" align="aligncenter" width="269" caption="Wow, adik telah mempraktekkan cara membuat kue plum Jerman"]
[/caption]
Terakhir, anak menjadi percaya diri. Rasa PD ini layak disandang di pundak setiap anak agar bisa berinteraksi secara seimbang dengan anak lain, bukannya menjadi rendah diri. Ini layaknya dopping spiritual bagi si anak. Kursus kepribadian itu bisa dimulai dari rumah, home sweet home.
Anything else?
***
Begini kira-kira salah satu pemahaman anak-anak kami:
Saya terbiasa memberikan uang recehan kepada anak-anak disaat mereka berbuat sesuatu yang membangggakan/bermanfaat. Meski mereka tahu betul bahwa semua uang upah selalu berakhir di celengan dan dimasukkan ke Bank setahun sekali pada Kinderspartag dan berhak digunakan saat berusia 18 tahun nanti, tak terduga, suatu hari anak gadis yang nomer dua menolak ….
„Mama, Ich habe schon eine Woche nicht mehr Pipi gemacht. Gibt mir kein Geld sondern Urkunde, bitte …“ Ya ya ya … sudah seminggu si anak tidak mengompol. Ujarnya lagi, ia tak butuh uang upah, melainkan secarik kertas sebagai surat keterangan kemajuan yang ia lakukan selama seminggu. Jadilah koleksi Urkunde (red: piagam) dalam map plastiknya bertambah dari minggu ke minggu. Anak perempuan berusia 5 tahun itu pula yang selalu mengingatkan mamanya jika kelupaan memberikan piagam saat ia atau kakak adiknya berbuat baik/membanggakan.
Ughhh … saya bukan termasuk seorang ibu yang sempurna. Jika anak berbuat salah/kurang, nada saya bisa-bisa naik setinggi 7 oktaf! Hiks, sabar ya, Nang/Ndhuk … this is when you want to back for good. Please, forgive me …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H