Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Mendaki Gunung Bersalju, Siapa Takut?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah empat hari ini Jerman bagian wilayah kami bersalju. Langit tampak bermuram durja, hamburan kapas putih dingin itu menutupi permukaan sekitar rumah kami. Indahnya memukau hati demi mengakui kebesaran Illahi. Kalau di Dubai atau kota besar lain di belahan dunia lain harus membayar mahal saat ingin bermain salju, di Jerman ... ting tlecek (red: berserakan) dimana-mana. Tinggal nyerok wis (red: mengambil sesuka hati). *** All right, bagi saya yang sesekali ingin mendaki gunung, kondisi yang memudahkan dalam pendakian selain fit dan bekal yang cukup adalah, saat tanah pijakan tak terlalu basah atau licin. Namun ternyata saya salah duga, mendaki di hamparan salju dan es menjadi sebuah tantangan yang exciting rupanya. Sebagai pendaki amatir, gunung di ujung kampung saya bisa menjadi sebuah training yang mengasyikkan. Puncak Karpfen (912 m) itu bisa ditempuh selama se-jam dari bawah atau 15-30 menit dari tempat parkir diatas sana.

[caption id="attachment_154744" align="aligncenter" width="640" caption="Karpfen, gunung 912 meter di ujung kampung saya"][/caption]

Anda yang ingin menerima tantangan menaiki gunung bersalju dengan cara mudah dan cepat, saya rekomendasikan Zugspitze, gunung tertinggi di Jerman yang berkelas. Ya ... saya amat menyukai Zugspitze karena memberikan jalan tol dengan transportasi canggih untuk mewujudkan cita-cita berdiri diatas puncak sebuah gunung yang selalu ber-es/bersalju di Eropa. Yaiy! I did it. Ups, naik ke puncak seharga 43 euro? Zugspitze adalah gunung tertinggi di Jerman (2.962 meter) yang terletak di perbatasan Jerman dan Austria (mayan, sekali berkunjung, 2 negara terlampaui). Meskipun kedua negara agak memiliki kemiripan budaya dan alam, namun bagi kolektor negara pastilah ini menjadi keuntungan dan kebanggaan tersendiri. Karena waktu kami tak banyak, suami menawarkan kami untuk tidak mendaki dengan kaki tetapi dengan sebuah kereta gantung. Untuk dewasa, per-orangnya 43 euro musim panas atau 34 euro dimusim dingin, round trip atau 25 euro sekali jalan (red: 1 euro Rp 12.000-an). Hah??? Anak kecil dibawah usia 14 tahun lebih murah memang sedangkan bayi usia dibawah 18 bulan dilarang menumpang. Ya, sudah ... kapan lagi naik Zugspitze? Tarikkkk.

[caption id="attachment_154745" align="aligncenter" width="433" caption="Kereta gantung menuju puncak"][/caption] Dua buah rel terpasang disana. Satu kereta di sebalh kiri mulai mendatangi kami. Usai memasukkan kartu disebuah mesin, palang putar itu bisa didorong demi memberi jalan masuk gondola. Sempat saya gelisah dan bertanya kepada suami akan keselamatan penumpang. Kabarnya semua digaransi asuransi dan keamanan peralatannya juga menempuh TUV (red: uji kelayakan). It's pretty safe. Bersyukur kami memilih kereta gantung dibanding kereta dibawah tanah yang lambat. Jam keberangkatan dari Garmisch-Partenkirchen dimulai pukul 08.15 dan pemberangakatan terakhir pukul 16.45 atau lebih jika sedang high season (untuk kembali ke bawah). Haduh kalau ketinggalan bagaimana ya? Pandangan mata saya ada pada sebuah gereja kecil dan rumah tumpuk yang ada di sekitar puncak. Mungkin disana mereka bisa menyelamatkan diri hehehe ...

[caption id="attachment_154752" align="aligncenter" width="460" caption="Kapel, gereja kecil"][/caption] Gipfelkreuz, puncak Zugspitze Selama perjalanan, deg-degan rasanya ... apalagi saat melewati tiang pancang ditiap etape. Ada guncangan yang membuat hati berdesir. Untung saja si cantik Elbsee, danau layaknya Kelimutu terdampar dibawah sana. Dijajari pegunungan yang hijau dan semburat putih saljunya menjadi background lukisan-Nya.

[caption id="attachment_154753" align="aligncenter" width="558" caption="Amboi ... Eibsee"][/caption] Gletser yang ada dibawah sana nampak memberi ruang bagi para pemain ski dengan papan panjang dan kedua tongkatnya, untuk berlomba-lomba menuruni daratan yang menukik. Sementara untuk menuju keatas lagi, lift tersedia memberi tumpangan asal memiliki kartu langganan. Satu rute, satu kali  bolong di kartu. Harga kartu dipatok pada kisaran 34 euro. [caption id="attachment_154754" align="aligncenter" width="393" caption="Silahkan bermain ski"][/caption]

Seilbahn berhenti, kami telah sampai di tempat tujuan. Sembari duduk di bangku luar restoran Sonn Alpin, kami melepas lelah dan gemetar setelah berdiri dikotak berjalan tadi. Pemandangan yang indah terbentang didepan mata. Subhanallah ... kekuasaan-Nya yang tak terkira. Seorang lelaki tua dengan pakaian tradisionalnya memainkan musik lengkap dengan sound system yang memadai di sebuah meja panjang. Petikan alat musik semacam siter menemani terompet dan akordeon yang tergolek di meja. Recehan yang disumbang para turis yang ada, menjadi sebuah tanda penghargaan atas musik yang disajikannya. [caption id="attachment_154755" align="aligncenter" width="388" caption="Resto Sonn Alpin "][/caption] [caption id="attachment_154758" align="aligncenter" width="532" caption="Penghibur para turis dan pendaki"][/caption]

Kini saatnya pendakian ke Gipfelkreuz yang dibangun pada tahun 1851 atas ide Pfarrer Christoph Ott dibantu para pendaki gunung dan puluhan penggotong tiangnya. Gipfel yang berarti puncak dari sebuah gunung dan kreuz, mempunyai arti palang. Simbol setinggi 4,88 Meter ini menjadi titik puncak gunung Zugspitze. Warna tiangnya yang putih, dimahkotai oleh warna emas. Kilauannya mempesona, menjadi magnet bagi hati yang bermagma. Yiha! Sebuah tangga panjang dan melingkar nampak sempit dilalui banyak orang. Dari rombongan kami, hanya saya yang berani mengacungkan jari. Ya, saya siap menerima tantangan. Setelah meniti tangga sempit yang menghubungkan ke tiang puncak yang setidaknya senilai 15.000 euro itu, setapak demi setapak saya menaiki tebing yang mengantar saya keatas. Remahan es batu dari salju yang disengat matahari menjadi sebuah sensasi alami pada sol sepatu olahraga yang saya pakai. Eit tet tettt ... hati-hati. Untuk mengelus palang pantek Gipfelkreuz, pendaki harus meniti sebuah tebing memanjang yang curam dan tipis. Sebuah kawat hitam membatasi wilayah puncak itu. Meski tidak sebahaya Himalaya, keseimbangan tetap perlu dijaga disini. Untung saja badan saya tak tambun. Setiap pendaki bisa berjalan tegak seperti didataran biasa, jika tak phobia ketinggian. Jika bermasalah, sah-sah saja mendaki dengan cara merambat dimana posisi tubuh selonjor dan kedua tangan bertumpu pada tebing. Deg deg deg ... Saat sedang traffic di tebing ini, sebaiknya tidak panik. Tinggal mengucapkan kata 'Hallo', 'Tag', atau 'Gruß Gott' saat berpapasan dengan sesama pendaki, bisa menetralisir suasana yang tak biasa diatas sana. Hiyyy ... serem. Memang para pendaki ingin mengelus tiang, jadi senyum dong biar PD ... tinggg.

[caption id="attachment_154757" align="aligncenter" width="553" caption="Melambai di Gipfelkreuz, simbol puncak Zugspitze"][/caption] Begitu sampai satu inch dari Gipfelkreuz, lambaian tangan saya disambut applause dari grup  kami diseberang sana. Jepret! Senyum terkembang, begitu dahsyat gemuruh dada merasakan ambang puncak ketinggian Zugspitze yang duaribuan meter itu. Hurraaa, ich war da!!! Mendaki di gunung bersalju, siapa takut??? Potong kompas saja, seru juga kok! He he he ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline