Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

'Pengemis' Kreatif dan Atap Berlapis Emas Anti Maling di Innsbruck, Austria

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_153690" align="aligncenter" width="640" caption="Atap berlapis emas yang legendaris"][/caption] Kota Innsbruck, Austria adalah kota bersejarah bagi saya, karena itu kali pertama saya menyetiri mobil bagi kami berempat hengkang dari tanah Jerman. Untung ko-pilot saya adalah suami dan si Lisa dari Tom Tom, program Navigasi yang menuntun saya bak lansia (kiri, kanan, bundaran kedua keluar dan seterusnya). Hiyyy ... terowongan terpanjang yang pernah saya lewati ada dalam rutenya, namanya Arlbergbahn yang hampir 14 km bak ular naga panjangnya. Suwi men rak tekan-tekan ...( red: lama amat tak sampai-sampai rasanya). Dag dig dug der ... Innsbruck dikepung tiga negara; kiri oleh Swiss, Jerman diutara, dan selatan oleh Italia. Boleh jadi itu sebabnya kota perbatasan ini memiliki daya pikat tersendiri. Statusnya sebagai kota sangat tua (Uhraltstadt) dijadikan pusat politik dan budaya, konon sangatlah unik. Mulai dari bangunannya yang khas, penganannya yang berbeda serta budayanya yang memiliki cita rasa tersendiri. *** Pengemis kreatif a la Innsbruck Begitu memarkir mobil, kami mulai berjalan di pusat kota. Deretan toko semacam perhiasan kerlap-kerlip Swarovski hingga pusat informasi pariwisata digelar di bangunan yang sangat eksotis dengan ornament gaya lama namun mempesona. Seorang lelaki berkemeja ungu duduk lesehan disebuah sudut. Ia menyunggi sebuah bola bal-balan, sementara tangannya mempermainkan tiga bola kecil. Stok perangkat akrobat lainnya ada di tas dorong disebelah kiri. Hidungnya memerah lantaran ia memasang hidung badut sebagai asesoris diri. Sebuah topi yang ditengadahkan ke langit, mengharap koin dari orang-orang yang lewat di depannya. Horeee ... hujan uang. Beberapa meter kemudian, kami jumpai lagi pengemis lainnya. Seorang perempuan berambut keriting dengan sebuah gaun mekar yang cantik berdiri disebuah pilar kecil. Ia tak bergerak. Sekujur tubuhnya terlumasi oleh warna perak, begitu pula gaunnya. Wahh ... nyucinya gimana nanti ya??? Kedua tangannya memegang erat sebuah Zauberstab (red: tongkat wasiat). Si wanita akan bergerak jika seseorang menjatuhkan koin pada sebuah keranjang kecil berwarna perak didepannya. Kami tersenyum dan memberikan Münzen (red: koin euro) kepada kedua anak kami yang ikut waktu itu. Benarlah, begitu keduanya memindahkan uang mereka ke kotak, boneka jadi-jadian itu bergerak. Cium jauhpun melayang. Si kecil lari terbirit-birit minta saya peluk, melihat gerakan tiba-tiba yang tak terduga oleh wanita kaku. Aih, sebuah seni mencari uang yang kreatif banget, yah? Silver Queen ...Anyway, kedua orang tersebut diatas ... disebut pengemis jalanan atau artis ya??? Hey der bimbam. Saya bandingkan dengan mereka yang ada di Indonesia, pengemis kita benar-benar didesain untuk menjadi sosok yang kotor, jelek, bau, polusi pandangan mata, tak berdaya dan jauh dari kesan seperti yang saya temukan di Innsbruck ini untuk mengais rejeki. Apakah ini trik demi menimbulkan rasa kasihan dan mendapat lebih banyak isi kantong? Atau itulah image pengemis? Saya rasa tidak, toh mereka yang bersih, berseni dan berkelaspun kebagian kue yang lezat di belahan dunia lain. Dengan mata kepala saya, terlihat orang dari berbagai ragam bangsa yang berlalu lalang dipusat kota, menjatuhkan uangnya karena perasaan terhibur dan merasa pantas jika orang yang telah menyenangkan hatinya itu disumbang. Deal! Atap berlapis emas itu tak dicuri Kota ini tak ubahnya sebuah lila setitik dalam sebelanga susu. Susu itu bernama jajaran gunung yang dihampari salju. Olala, indahnya menjajah bumi Innsbruck dengan pagar pemandangan alami yang mengitarinya. Perjalanan kami lanjutkan menjelajah pusat kota yang telah padat oleh para turis. Jeprat-jepret mereka memunculkan dugaan, pasti orang Jepang ya? Setelah barisan itu berbincang-bincang, kamipun manggut-manggut. Hi, desu yo. Sebentar kemudian seorang pemandu wisata dengan semangat menerangkan sesuatu dalam bahasa Italia. Dialeknya kental seperti yang saya sering dengar saat membeli/memakan pizza di restoran sekitar Jerman. Pico bello ... Beberapa orang nampak duduk-duduk di kafe yang menyediakan dudukan di teras luar pula. Payung-payung besar berwarna kuning menangkis teriknya mentari waktu itu. Ah, sruputan kopi atau teh mereka, ditemani kue atau biskuit juga. Sebuah tradisi yang tak jauh beda dengan budaya Jerman yang saya pelajari dan pahami. Gantungan bunga Geranien warna merah di beberapa balkonnya turut menyapa siapa saja. Burung-burung dara memunguti jatuhan remah makanan para turisnya. Maklum beberapa ada yang makan sambil jalan. Sebelum belok ke kiri ke arah gereja, kami berhenti. Kaki saya mendekat, kepala sedikit mendongak mengamati detil dari das Goldene Dach. Atap berlapis emas yang termasyur itu tak dimakan usia apalagi dicuri meski berusia ratusan tahun. Wow, ukiran dan warnanya begitu meraba jiwa. Tertulis disebuah dinding dibawahnya, menjelaskan bahwa dibangunan itu dahulu tinggal orang-orang dari dinasti Friedrich IV dan Sigmund. Atap berlapis emas yang legendarisTorehan sejarah tentang atap emas Pikiran saya waktu itu hanya satu, kagum akan kesadaran warganya bahwa begitu lamanya atap berlapis emas yang bisa saya panjati hanya dalam 3-5 kali raihan tangan dari balkon atau jendela kamar disebelah kanannya itu tak dimaling. Sebuah warisan anak. cucu, cicit, canggah, buyut ini telah dijaga bersama dari hobi usil pula. Saya ingat Monas Jakarta, letaknya yang 132 meter menjadi faktor kesulitan dalam pencurian campuran perunggu dan emas dipucuknya. Untung saja tak dipasang rendah-rendah ... Well ... sebanyak 2567 emas dilantakkan dalam seng atap oleh Niclas Türing dibawah kepemimpinan Kaisar Maximilillian I dan selesai pada tahun 1500. Tukang cat kaisar yang menyelesaikannya bernama Jörg Kölderer. Sejarah itu melekat dalam beragam simbol di sekeliling pusat kota. Langit-langit kota digantungi kabel trem (Straßenbahn), sebuah transportasi mirip kereta api mini berjalan bak siput. Teng ... teng ... teng ... siapa mau turut, silahkan menunggu di halte yang tersedia. Straßenbahn alias trem Jajaran rumah-rumah horizontal warna-warni menjadi saksi bisu kebersihan sungai yang membelah kota. Dibeberapa lorong, gang-gangnya yang sempit juga bebas dari serakan sampah. Rumah pelangi ditepi sungai Inn, berlayar pegunungan Dalam perjalanan menuju parkir, mata saya menatap penunjuk jalan. Kota ini menawarkan bukti sejarah yang terpendam ratusan tahun; museum pemda Tirol (Ferdinandium), museum klub Alpen dan museum seni rakyat Tirol (berikut 27 museum lainnya). Bis nachstes mal ... Ferdinandium

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline