Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Muslim Turki di Jerman Rayakan Lebaran Kemarin, Lho!

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak, ngaturaken sugeng riyadi … nyuwun pangapunten sadaya kalepatan. Mboten saged sowan … mbokmanawi tahun ngajeng” baru saja saya menelpon orang tua saya di Indonesia. Sedikit lirih menahan haru dan sedih tak bisa bersimpuh alias sungkem dihadapan kedua orang yang telah membesarkan saya itu. Tak lupa ucapan Iedul Fitri dan maaf, apalagi tak bisa hadir seperti kakak-kakak yang lain, menjadi rentetannya.

Ya, pada-pada … masak apa?Ibu saya yang mendapat giliran gagang telepon, menerima kalimat itu dengan ikhlas. Wanita idola saya itu menelisik masakan yang saya masak untuk hari istimewa itu. Lontong opor dan sambal goreng ati saya membuat ibu iri, beliau sendiri tidak repot memasak lantaran sudah banyak yang ngrantangi (red: mengirim makanan dalam rantang).

Bu, Jerman badane wingi …” saya bercerita bahwa Muslim di Jerman merayakan lebaran kemarin. Sengaja saya menelpon hari ini demi menghormati beliau yang merayakan hari ini, bukan kemarin.

Wooo Jerman ana bada barang, tho” ayah saya menimpali dari belakang. Beliau tidak menyangka bahwa Jerman yang negara Katolik dan dihuni beragam masyarakat seluruh dunia itu juga memberi ruang bagi acara akhir bulan puasa. Sejenak kedua anak perempuan saya menghadiahi eyang kakung dan eyang putri itu dengan lagu “Disini senang, disana senang”. Hadiah lebaran yang indah, bahwa entah di Indonesia atau di Jerman tetap happy. Hiks.

***

Beberapa hari lalu, salah seorang tokoh muslim Turki di Jerman, Aiman A Mazyek mengucapkan selamat hari Id Mubarak, Bayraminiz mubarek olsun dan Ramadan-Fest atas nama des Zentralrates der Muslime in Deutschland (red: Pusat Islam di Jerman). Dalam situs www.islam.de itu mengumumkan bahwa Bayram di Jerman dirayakan pada tanggal 1 Syawal 1432H atau 30 Agustus 2011.

Pada 29 Agustus 2011, redaksi Koran Islam Jerman di Berlin dan Köln, dalam situs resminya http://www.islamische-zeitung.de, memberikan dukungannya dengan mengucapkan selamat merayakan hari Idul Fitri. Koran Islam mandiri yang menguasai oplah di Eropa itu juga mengumumkan hal yang sama persis, 30 Agustus 2011. Sepertinya semua seragam, tidak seperti di Indonesia dengan dua kubunya, ada yang kemarin ada yang hari ini.

Fine. Saya sempat menelepon seorang teman asli Turki yang telah 12 tahun tinggal di Jerman, untuk menanyakan soal lebaran dan zakat. Ia yang baru saja datang dari Italia untuk berlibur, mulai bercerita. Keluarganya dari Stuttgart, yakni kedua orang tuanya dan saudara-saudara akan datang. Wanita berambut ikal itu telah siap dengan Sussigkeiten (red: penganan yang manis-manis seperti roti pudding) dan makanan yang ia sebut Dania atau Baynia (?).

Tradisi masyarakat Turki di Jerman sebelum hari terakhir Ramadan itu seperti halnya orang Indonesia. Orang-orang mulai membersihkan rumah, berbelanja, membeli hadiah, baju baru, mengirimkan kartu ucapan dan sejenisnya.

Pada hari pertama hari raya yang mereka sebut Seker (red: gula-gula) Bayrami. Mereka bangun pagi-pagi, membersihkan diri, memakai pewangi dan mengenakan baju baru. Disebut Seker sendiri karena mereka selalu memiliki tradisi berbagi gula-gula atau penganan manis kepada keluarga atau teman yang berkunjung.

Kebanyakan golongan lelaki bersama anak-anak lelaki mereka yang sudah bersekolah menuju masjid, jika tidak muat mereka gelar tikar didepan halaman atau hingga badan jalan. Dengan khusyuk mereka mengikuti sholat Ied berjamaah dan khotbah imam mulai jam 7.30 pagi waktu Jerman (red: tidak sepagi seperti di Indonesia) atau segelintir imam perempuan mengadakan siangnya sekitar jam 13.00. Biasanya inti ceramah adalah mengajak untuk menjaga kekeluargaan dan ber-amar makruf nahi munkar diantara umat.

Usai acara, semua berjabat tangan dan menuju rumah masing-masing untuk merayakannya bersama keluarga. Ada beberapa orang Turki di Jerman yang tidak sedang dalam hari cutinya. Terpaksa mereka merayakan pada sore harinya dan harus sabar mencium tangan kedua orang tua atau dicium tangannya oleh istri dan anak-anaknya. Saling memberi maaf atau verzeihen juga menjadi tradisi, agar tak ada lagi iri, dengki, sengketa, seteru atau semacamnya. Hari semakin indah menatap anak-anak bergembira atas gula-gula, coklat atau bahkan uang saku sebagai pengganti. Anyway, it’s not all about money.

Tempat yang tak akan sepi adalah kuburan dimana terbaring anggota keluarga yang telah meninggal. Bunga biasa diletakkan di atas makam, disirami. Al-Quran didengungkan untuk mendoakan arwah dalam kubur.

Si D, teman saya itu mengaku bahwa tahun ini ia dan keluarganya tidak menjalankan ibadah puasa satu haripun (red: keluarga ini bukan satu-satunya keluarga Turki di Jerman yang sudah tidak fanatik terhadap rukun Islam). Bagaimanapun, jelasnya, Bayram (red: hari libur sakral) ini adalah sebagai wadah yang penting untuk berkumpul bagi mereka. Meski berjauhan, festival ini adalah alasan yang tepat untuk mengadakan perjalanan jauh yang tak sia-sia.

Meski masyarakat Islam Turki mulai memenuhi populasi Jerman, acara mudik tidak serepot di Indonesia. Semua lancar seperti halnya hari biasa. Bisa jadi karena jalan tol yang benar-benar bebas hambatan, muslim yang minoritas dan penduduk Jerman yang tak sebanyak di tanah air. Lebaran terkesan tidak istimewa di negeri Angela Merkel ini. Hanya di beberapa Mosee (red: mushola), sudut kampung dimana orang Turki bermukim saja; nampak terlihat anak-anak bermain, orang-orang dewasa berkumpul dan mengobrol hingga malam tiba. Wajah ceria terpancar dari sebagian orang yang telah berpassport Jerman itu. Sebagai bagian dari keluarga Jerman, saya sangat iri dengan kekeluargaan orang Turki di Jerman. Disini, hubungan keluarga dan akar-akarnya sudah banyak teriritasi dan terkontaminasi. Saya yakin ini bukan ciri westernisasi atau modernisasi, melainkan tingginya hormon egoisasi. Richtig? (red: benarkah?). Semoga lebaran membawa petunjuk bagi semua masyarakat di Jerman bahwa hubungan silaturahim itu penting nan perlu, bukan hanya milik orang Islam di Indonesia atau orang Turki di Jerman saja. Warum nicht? (red: mengapa tidak?)


Selamat hari raya Iedul Fitri, 1 Syawal 1432 H bagi warga kompasiana yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin, semoga amal ibadah kita diterima-Nya dan membuka lembaran baru yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline