Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

‘Suwe Ora Jamu‘ Berkumandang di Balgheim, Jerman

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

131093397650309024

[caption id="attachment_123427" align="aligncenter" width="258" caption="Suwe ora jamu"][/caption]

Minggu ini adalah minggu terakhir masa sekolah anak Grundschule sampai Gymnasium (red: SD hingga SMA) Jerman sebelum liburan summer selama 6 minggu hingga awal September nanti. Biasanya dibeberapa sekolah digelar sebuah pentas perpisahan. Bulan Juli juga sebuah bulan yang selalu berkesan dimana saya bisa mengajarkan tarian Asia khususnya Indonesia pada anak-anak Jerman. Bangga rasanya kalau ada orang asing yang mau belajar budaya kita dan merasa bahwa saya bermanfaat bagi setidaknya segelintir orang di negeri perantauan. Bergetar rasanya saat lagu "Suwe Ora Jamu" berkumandang di aula dan gerakan anak-anak itu mempesona saya dan tamu yang hadir. Amboi! Sebuah pengalaman indah yang tak terlupakan, rasanya selangit! Saya senang menari sejak TK hingga SMA, ketika di universitas hingga sebelum menikah saya sempat menari di beberapa acara internasional LSM yang diadakan di Philipina, Jepang, Nepal, Denmark, Perancis dan Turki. Saya yakin darah itu mengalir dari kedua orang tua saya yang dahulu PNS dan memiliki talenta seni sebagai dalang dan sinden lumayan terkenal pada era beliau. Thanks God, I am their daughter. Hey, I miss them a lot. Hiks. Tinggal di Jerman, kesukaan itu tak ingin saya kubur. Budaya yang luhur itu layak saya tularkan, meski pada orang lokal di Jerman sekalipun. Kalau ada westernisasi pasti ada easternisasi. Tak perlu untuk menjadi seorang penari kondang macam Bagong Kusudiarjo atau Nini Thowok untuk memulainya, bukan? I can do it if I want to. Sejak tahun 2009 kami mendekorasi Keller (red: ruang bawah tanah) sebagai studio tari dan mengajarkan tarian pada anak-anak kampung di Jerman. Saya menerima 10 euro per anak untuk belajar satu tari. Tari Jawa ini bukan bisnis yang bagus karena mencari murid tak gampang, tapi saya senang memilikinya. Hingga akhirnya, saya diundang sebuah Grundschule (red: SD kelas 1-4) di kota Balgheim untuk didaulat sebagai guru tari pocokan (red: pinjaman). Jumlah siswa yang harus dididik adalah 9 orang yang semuanya laki-laki. Kelas kecil itu mempermudah saya untuk mengkoreografi tarian apa saja yang akan kami tampilkan dalam acara perpisahan sekolah pada bulan Juli; Bonodori dari Jepang, tari perut dari Turki, dan tari bambu yang saya pilih dengan iringan lagu 'Suwe ora jamu'. Yang terakhir tentunya, Jawa-Indonesia banget! Lagu itu saya temukan dari youtube yang saya edit kembali dalam sebuah cool edit pro.2. Iramanya saya pilih yang cepat untuk mengiringi rancaknya tari bambu. Karena bambu besar tak bisa ditemukan, saya menggunakan bahan lain dari karton berat nan tebal yang hentakan bunyinya relatif sama jika beradu dengan lantai. Kostum adalah poin yang harus diperhatikan sebagai faktor penunjang keberhasilan sebuah pentas tari. Untungnya saya impor kain batik dari Indonesia saat mudik tempo hari. Koleksi ibunda turut serta. Selendang warna-warni juga saya borong dari pasar Johar Semarang dan pasar Klewer Solo. Asesoris, saya buat sendiri dari bahan yang dibeli dari toko di Jerman. Semua saya sekatkan pada badan-badan anak-anak Jerman yang bongsor itu. I was really happy. Kostum tari saya atur sedemikian rupa karena keterbatasan yang ada. Hasilnya, tak jelek-jelek amat untuk ditonton sekitar 70 penonton  yang terdiri dari anak-anak hingga orang tua di Gemeindehalle (red: aula kota) Balgheim, Jerman. Acara perpisahan itu usai sudah. Sebelum pulang, saya didaulat untuk maju kedepan menerima sebuah pot bunga besar berujung bunga anggrek bulan. I felt like home. Tak lupa kepala sekolah menyalami saya dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Ia sungguh terpukau. Katanya, wanita berkacamata itu masih tak percaya bahwa anak-anak bimbingannya (keturunan Jerman, Rusia, Turki dan Asia) itu mau juga menari, yang biasanya banyak didominasi anak wanita. Frau Rieder dan Herr Wingert, guru kelas, ikut menyalami dan sudah booking untuk perpisahan tahun 2012 nanti. Yang ada dikepala saya bukan euro tetapi mereka-reka rencana tari apa yang akan saya ajarkan pada mereka: Kecak, Kelinci, Yapong dan atau Rampak Aceh.  Tarian itu harus yang simple, menyenangkan, rancak dan tak susah dipelajari untuk ukuran anak-anak Jerman. This might be great in the future, I can't wait. P.S: Saya bukan satu-satunya orang Indonesia di Jerman yang ikut memperkenalkan Indonesia lewat tarian, makanan atau budayanya, tetapi melakukannya adalah sebuah hal yang tidak mudah tetapi hasilnya amat terpatri dalam sanubari. Hey, I am an Indonesian one ... nie vergessen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline