[caption id="attachment_334389" align="aligncenter" width="240" caption="Matahari di sini, malu-malu ..."][/caption]
Tak terasa, sudah delapan tahun saya membantu suami di hutan. Oh, seperti negeri dongeng. Mengambil kayu di hutan Schwarzwald, hutan lebat Jerman di daerah selatan. Kami beli dari pemda setempat. Untuk 10 meter kubik, sekitar 500€. Untuk Reisveschlag, lebih murah, 15 € saja tapi seperti mencari jarum pada jerami. Maksudnya, mencari kayunya terpencar di satu area yang ditunjuk. Tidak terkumpul menjadi satu. Biasanya, kayunya pun kebanyakan adalah jenis Tannen, ringan seperti pohon cemara. Untuk memotongnya repot, harus digotong jauh sampai ke Anhänger, gerobak aluminium yang dikaitkan di belakang mobil. Makanya, kami memutuskan sejak tahun lalu, tidak membeli Reisverschlag lagi. Hanya Buchsbaum (Buch=buku, Baum=pohon), seperti kayu jati. Berat, besar dan panjaaaang.
Kayu-kayu itu setidaknya lima kali saya pegang. Pertama ketika suami sudah usai memotong di hutan, saya taruh di gerobak. Lalu dikirim dari hutan ke rumah, dari gerobak saya lempar-lempar ke kebun belakang rumah. Ketiga, setelah suami membaginya menjadi empat (spalten), saya tata di gudang kayu dan depan Keller (ruang bawah tanah) seperti puzzle. Selanjutnya, setelah kering, suatu hari saya ambil dari gudang atau tempat penyimpanan, ke Schubkarre, gerobak dorong beroda satu berkaki dua. Baru saya pegang untuk kelima kalinya, dimasukkan ke oven sepanjang satu meteran itu. Kalau ingin suasana romantis, saya biasa bawa ke lantai dua untuk dimasukkan ke perapian seperti jaman dahulu. Perapian terbuka, di ruang tamu.
[caption id="attachment_334390" align="aligncenter" width="320" caption="Gelondongan kayu sebelum dipotong"]
[/caption]
[caption id="attachment_334391" align="aligncenter" width="320" caption="Dipotong, lalu masuk gerobak, diangkut ke rumah."]
[/caption]
[caption id="attachment_334392" align="aligncenter" width="332" caption="Dibagi menjadi empat."]
[/caption]
[caption id="attachment_334393" align="aligncenter" width="320" caption="Ditata jadi puzzle."]
[/caption]
[caption id="attachment_334394" align="aligncenter" width="320" caption="Masuk oven besar, baru rumah hangat."]
[/caption]
***
„Kalau ibumu melihat kamu kerja jadi tukang kayu, pasti dia mengelus dada.“
„Iya, nangis barangkali ... hahahahhahahaa.“
Kami pun tertawa. Sungguh, saya tak pernah bermimpi menikah dengan orang Eropa dan tinggal di luar negeri. Ini takdir-Nya. Saya suka perjalanan ke luar negeri tapi sebentar saja danharus tetap kembali ke sarang, Indonesia. Tidak pula pernah berharap memiliki rumah tua dengan sistem pemanas bukan modern, dengan kayu bakar. Orang lain di daerah kami, sudah menggunakan solar, gas bumi dan minyak. Dari semuanya, kayu bakar yang paling murah. Kalau kayu hanya 500€ sekali beli (untuk memanasi tiga lantai), minyak harus disetor sebanyak satu tangki truk dengan minimal pembayaran 2000€ (juga untuk memanasi tiga lantai). Hanya saja, menurut saya, panasnya beda. Entah karena bahan bakarnya yang berbeda, atau karena di rumah kami, ada sistem Bodenheizung, di mana kalau oven menyala, lantai ikut hangat. Setahun, ambil kayu di hutan 1-2 kali. Dan mesin gergaji (yang harus ada SIM nya) yang kecil beratnya 3-5 kg, yang besar 10 kg. Untuk memegangnya saja saya sudah setengah mati, apalagi menyalakan dan memotong kayu tebal. Ini bagian suami, yang notabene berbadan lebih stabil. He he ... made in Germany.
Hmmm ... Saya mengerti mengapa suami saya bilang begitu. Sebelum menikahi saya, dia sudah melihat saya begitu menikmati hidup. Saya sudah meraih apa yang sudah saya inginkan; sekolah yang tinggi, pekerjaan yang menyenangkan, teman-teman dan kenalan yang baik dan keluarga yang merawat. Dan ia sadar, hidup di Jerman, bagi saya (orang asing) tidaklah mudah. Butuh perjuangan, kalau saya sampai betah dan bertahan di sini sampai hari ini.
***
„Wah, apa kalau kita tua juga masih seperti ini. Kuat tidak ya, pak? Jangan-jangan tulangnya patah ... hahahaha.“
„Barangkali harus menabung, bisa untuk membeli sistem pemanas modern, buk.“
„Kalau di Indonesia, matahari ramah. Rumah selalu hangat.“
„Hangat bagaimana, aku butuh AC sampai 15 derajat saja kamu sudah menggigil.“
„Lah iya, pak. Itu AC apa kulkas. Lima belas derajat. Bercanda ....“
„Waduh, kamu juga bercanda, bu. Kalau diajak berjemur di pantai, ngumpet di pondok, berteduh di bawah pohon atau pakai payuuuungggg ... hayoooo.“
„Ha ha ha... iya ya, Pak ... dulu takut panas matahari, sekarang mengejar matahari sampai kerja keras seperti ini ....“
„Makanya, jadi orang harus bersyukur. Takut gosong ya? Aku saja pengen kulitnya gelap. Eksotis, buk. Beruntung, aku sudah berjemur bertahun-tahun di negaramu.“
„Masalahnya, sebelum menikah, saya lupa tanya, rumah kita nanti di negerimu pakai bahan bakar apa?“ Kami pun tertawa lagi. Namanya juga jatuh cinta. Biasanya hanya bling-bling, blind, berbunga-bunga. Mana sempat tanya-tanya?
Oh, ya, eksotis? Betul. Ternyata panas matahari di tanah air tak hanya melahirkan wanita dengan kulit eksotis. Setelah pindah ke Jerman, matahari jarang mampir, kulit saya lebih terang atau ... pucat. Saya sering menghindar dari panasnya matahari. Krem saja dilulurkan ke tubuh berapa kali sehari. Payung selalu siap sedia. Di sini? Matahari? Mimpi. Musim panas saja tidak selalu setiap hari. Seminggu ini, musim semi, seminggu hujan tak ada matahari. Tak heran, banyak wanita Jerman beli mesin solar demi coklatnya kulit atau pergi ke Sonnen Studio, mandi matahari buatan biar hangat dan gelap kulitnya. Satu jam, barang 5€. Harusnya, kita-kita ini bangga, punya kulit dambaan orang Eropa. Tapinya, banyak wanita yang main suntik dan eksperimen krem untuk mengubahnya. Memang, hak pribadi, sih.
***
Saya kasihan? Benar. Bukan karena membuat kayu selama bertahun-tahun di negeri orang, demi mendapatkan kehangatan di rumah untuk mencapai temperatur ruangan sampai 20 derajat C ... Justru saya kasihan karena dahulu atau sekarangpun, kalau ke Indonesia, takut kepanasan. Panas, sumuk, gerahhh kiiii ... padahal kehangatan matahari seperti ini yang sejatinya, diidamkan banyak orang. Yang punya, menghindar .... Sungguh, saya tak pandai bersyukur.
Akhirnya, kalau ada yang takut panas matahari Indonesia seperti saya... bisa melihat apa yang harus saya lakukan untuk mengejar panas buatan yang agak mendekati panas alami matahari, sampai hari ini. Selamat pagi. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H