Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Kemiripan Orang Jerman dengan Orang Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1400016526531142157

Usai menulis artikel fakta tentang Jerman, ada seorang kompasianer (D) yang membeli buku saya "38 WIB (Wanita Indonesia Bisa)" dan meminta agar saya juga menulis tentang kesamaan orang kita dengan orang Jerman. Soalnya dengan tujuh belas fakta terdahulu, menjadikan Jerman lebih menonjol. Indonesia? Adakah hal-hal yang memiripkan kita dengan bangsa Jerman? Let me think.

Baiklah, saya coba menggambarkan persamaan orang dari dua negara ini, sebisa saya, sesuai dengan kacamata saya, kalau kacamata profesor saya tidak bisalah, karena beliau saja lupa di mana menaruh kacamatanya... padahal diletakkan di kepala!

[caption id="attachment_336108" align="aligncenter" width="530" caption="Bis kota-bis kota, Jerman Indonesia sama saja"][/caption]

1. Gemar kredit

Orang Jerman termasuk sudah sejahtera. Dengan gaji yang termasuk tinggi (meski semakin tinggi gaji bisa jadi semakin tinggi pajak), toh kehidupan di Jerman yang sudah tergolong murah dibanding negara tetangga seperti di Swiss misalnya, tetap saja bea hidup tinggi, jadinya manajemen keuangan keluarga harus diperhatikan.

Banyak orang Indonesia, termasuk orang tua saya, pernah kredit rumah (perumahan) dan kendaraan (motor dan mobil). Ya, kalau bayar langsung nanti makan apa? Jadinya, uang dibagi untuk sandang, pangan, papan, dan kebutuhan tambahan. Agar ini tidak menyebabkan lebih besar pajak daripada tiang.

Bagaimana dengan di Jerman? Sami mawon, sama saja. Banyak orang menyukai sistem kredit untuk mendapatkan barang yang dimilikinya. Mulai dari rumah, motor, mobil, sampai elektronik. Bahkan kami juga kredit dapur, menggantikan dapur yang sudah 30 tahun dibuat pemilik pertama. Iya, dapur yang harganya 10.000€ mana mungkin dibayar kontan? Dibayarlah 150€ per bulan. Haha itu saja membuat lantai dan dindingnya, saya sendiri, suami yang mengaduk bahannya. Coba kalau cari tukang, bisa-bisa utang lebih banyak lagi untuk bayar jasa mereka.

Selain kredit rumah dan mobil, seorang kawan suami, suka kredit barang elektronik. Mulai dari TV, radio, oven, mesin pencuci piring, mesin pencuci baju sampai komputer dan HP. Jadi, uangnya betul-betul habis dibabat cicilan. Mencicil sana-sini. Kalau suami saya, tidak suka kredit barang elektronik, suka cash. Biasanya, uang yang digunakan adalah uang bonus di luar gaji atau sambilan lainnya. Uang ekstra.

Oh, ya, untuk mendapatkan kredit rumah misalnya, memang tidak mudah. Biasanya ada inspeksi atau perbincangan dengan pihak bank yang akan meminjami. Dilihat struk gaji, masa depan pekerjaannya, penampilan dan pengalaman kredit terdahulu. Untuk keluarga muda (misalnya orang asing dan yang kekurangan) biasanya akan mendapat support dari pemerintah dalam meminjam bank, diperlunak, dipermudah, dan diringankan. Bagi yang sudah punya track record bagus dalam hal kredit, tetap bisa menaikkan uang pinjaman. Toh, nanti disiplin membayar. Jadi tak heran dari rakyat biasa sampai yang punya perusahaan di mana-mana, punya utang.

Berhutang juga bisa diberlakukan saat mereparasi hidung, gigi dan payudara. Rata-rata harganya ribuan euro, makanya, bisa dikredit.

2. Investasi menyewakan rumah.

Nah, tak cuma orang Indonesia yang gemar berinvestasi membeli rumah lalu menyewakannya. Entah untuk kos-kosan siswa/pekerja atau disewakan bagi keluarga (seperti bapak/ibu dan kakak saya). Caranya, seperti nomor satu tadi, utang bank. Tidak hanya di Indonesia, di Jerman juga. Misalnya, cicilan membeli rumah tiga lantai itu 1000€ sebulan (untuk rumah seharga 250.000€), yang dua lantai disewakan orang @600€, sudah dapat 1200€. Berarti untung 200€. Enak juga ya, sudah tak perlu bayar sendiri ke bank, karena terbayar dari Miete, masih ada simpanan. Tapi tentu saja tidak mudah mencari penyewa. Atau kalau sudah dapat orang, dalam bulan atau tahun pertama sudah rewel, cek-cok dan kejadian tak enak lainnya. Namanya juga masih satu atap. Menyewakan, persiapannya juga detil kalau tidak diomeli penyewa. Harus tip-top, pico bello, sempurna. Butuh dana yang tak sedikit kalau memperbaiki dan mempercantik rumah yang akan disewa. Untuk perkara rumah berjamur, akan menjadi perhatian nomor satu, tidak layak huni!

3. Menganggap rambut blonde, pirang itu menarik dan seksi.

Dahulu, waktu di Indonesia, saya kira hanya orang Indonesia saja yang matanya bling-bling melihat wanita berambut pirang. Ternyata, selama tinggal di Jerman. Saya jadi tahu, ketertarikan orang lokal Jerman sendiri, masih pada rambut emas ini. So, tak usah heran kalau orang berambut coklat, banyak yang mengecat dengan warna pirang. Kalau tidak tanya apa warna rambut sebenarnya, atau tak melihat batas rambut dua warna saat tumbuh (setelah sekian bulan), orang tidak akan tahu. Ingat, malu bertanya sesat di Jerman.

Meskipun demikian, sudah terlihat tanda-tanda menghargai anugerah lain; rambut coklat, kulit gelap, mata hitam... Ini terlihat dari penentuan Germany next top model atau pemilihan model untuk beragam iklan. Tak melulu blond yang mendapat tempat di hati orang Jerman. Salah-salah malah rambutnya barodol, rontok dan rusak tingkat tinggi kalau cat rambut ganti pirang. Stay the way you are and you still feel good.

4.Kenal peribahasa; air tenang menghanyutkan.

Orang Indonesia mengenal peribahasa ini. Dan ternyata, ini juga melekat di sanubari orang Jerman. Jika ada orang yang kelihatannya pendiam, tiba-tiba membuat geger karena mengucapkan umpatan tidak senonoh saat hatinya bergejolak, orang sontak kaget dan mengatakan, "Still Wasser grunden tief." Air tenang menghanyutkan.

5. Mengumpat.

Di Indonesia, banyak umpatan atau kata-kata kasar yang diproduksi saat jengkel. Maaf; danc*k (Parakan), as*m (Semarang), b*syet (Jakarta), as* (Surabaya) ....

Di Jerman, membunyi-bunyikan, juga ada dan tetap sering saya dengar di dalam kehidupan nyata atau media. Maaf; schw*in, arschl*ch, lands*ck, bl*de Kuh, Kük*n, *lter, nas*nböhrer ...

Namanya juga manusia, punya perasaan dan mempengaruhi kerja otak untuk mengompori emosi. Saya yakin setiap keluarga, sebenarnya telah mendidik anak-anak untuk tidak terbiasa memproduksinya.

6.Sayang anak, sayang anaaak

Nampaknya, ini universal. Mengingatkan saya pada peribahasa cinta orang tua pada anak sepanjang masa, cinta anak pada orang tua sepanjang galah. Bahwa kapan pun dan di mana pun, cinta dan kasih sayang orang tua anak itu nomor satu. Orang tua akan ikhlas melakukan banyak hal untuk masa depan anak-anaknya yang lebih baik.

Hanya saja yang berbeda, di Jerman hubungan anak dengan orang tua kadang tidak harmonis ketika mereka sudah mandiri. Lupa dan memutus tali silaturahim. Kalau di Indonesia, masih ada budaya mengirim uang kepada orang tua dan saudara, banyak orang Jerman yang saya kenal tidak melakukannya. Pensiunan justru uangnya lebih dari cukup daripada anak-anaknya. Sesekali orang tualah yang tetap memberikan kucuran dana segar untuk membantu anak-anaknya. Seperti di Tanah Air, ya?

Bedanya, Jerman sangat Kinderfreundlich, negara ramah anak yang memperjuangkan hak anak dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Kita sudah ada UU-nya, tapi kenyataannya sulit.

7.Keamerika-amerikaan.

Meski sekarang sedang booming Korea-Koreaan, tetap saja. Amerika menjadi kiblat bagi Indonesia dan Jerman. Amerika Serikat itu kesannya besar, wah, tren dan powerful. Apa yang ada di sana, dikopi paste. Banyak anak remaja yang bermimpi untuk ke sana; kuliah, kerja, atau sekedar hidup. Saya jadi ingat saat seorang kepala keluarga berbadan cebol, nekat mengajak keluarganya pindahan ke USA, tanpa paham bahasa Inggris dan tak juga punya kemampuan khusus atau berarti sebagai bekal di Jerman. Lucu kejadiannya, saat ia melamar jadi tukang taksi dan penumpang cerewet karena si sopir no English dan tak paham seluk-beluk kota. Akhirnya penumpanglah yang jadi navigator. Saking cerewetnya, lelaki Jerman itu memaksa penumpang keluar dari taksi, membayar dan ditinggalkannya. Bermimpi tinggal di USA tanpa bekal yang cukup, bagai pungguk merindu bulan. Nekat.

8.Suka bermimpi ke luar negeri

Lahhh siapa yang tidak ingin ke luar negeri. Dari orang Indonesia sampai orang Jerman adalah salah duanya. Mengetahui perbedaan dan persamaan di negara yang dikunjungi, menikmati pemandangan dan budaya serta kulinarisnya. Wow. Jalan-jalan itu asyik.

Bedanya, orang Jerman senang menabung untuk mewujudkannya. Entah itu remaja atau lansia. Setidaknya, setahun sekali dalam musim panas, orang Jerman berlibur. Jika ingin murah, mencari jadwal yang tidak peak season atau mencari peruntungan di informasi last minute. Di mana tiket dibanting murah meriah.

9.Suka menggosip, menggosok makin sip

Gosip tak hanya bisa didengar pada saat arisan. Ketika dua orang bertemu saja, gosip bisa saja terjadi. "Eh, anu... si X rumahnya mau dijual lho...“ jawabannya, "Ah, mosok, lah mau tinggal di mana?“ Dan pembahasannya jadi merembet ke mana-mana.

Saya kira, orang Jerman tidak suka menggosip. Saya baru tahu ketika diundang kawan-kawan Jerman untuk Frauenfrühstuck, makan pagi khusus wanita saja. Salah satu topiknya adalah membicarakan salah satu anak nakal di kampung, anak ibu X. Satu orang mengutarakannya, dibumbui dengan ibu lainnya. Gayeng. Yang dirasani, dibicarakan, pasti matanya kedhuten. Gerak-gerak.

Atau dalam klub aerobik yang saya ikuti tiga tahun ini. Kami sering membicarakan salah satu member yang kalau datang baunya seperti amoniak, bar atau toilet. Sampai-sampai instruktur aerobik kami mengatakan bahwa kalau ia datang, harus berdiri paling pojok, tak boleh dekat-dekat. Mengapa ia begitu bau? Ia tinggal di perumahan kumuh. Orang menyebutnya Assi. Barangkali tidak mandi, mungkin saja tidak pernah mengganti baju bahkan tak mencuci bajunya, atau karena banyak minum alkohol plus perokok berat. Jadilah! Ketika dia ulang tahun, kami menghadiahinya... parfum! Bukan bermaksud jahat, kami berharap, itu akan jadi obat mujarabnya merubah penampilan. Wangiiiii.

Jadi, menggosip, ngrasani... bukan saja monopoli ibu-ibu Indonesia, bukan? Ibu-ibu Jerman juga doyan.

***

Nah, dari kesamaan ini, saya yakin akan menyemangati kita yang orang Indonesia. Bahwa orang Jerman juga manusia, mereka memiliki banyak keunggulan tapi juga beberapa kekurangan atau kebiasaan yang sama dilakukan orang kita, Indonesia. So, semangat! Mari tetap menjadi diri sendiri, meskipun mau mencontoh kebaikan/keunggulan orang lain. Selamat malam.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline