Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Ajaibnya Printer Canon Saya!

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14001420781186847773

Canon adalah merk printer pertama saya. Printer yang saya beli dari hasil keringat sendiri. Jos gandos! Makanya, meski sampai hari ini sudah mencoba beragam merk printer lainnya klangenan, kesukaan suami, pernah memiliki printer canon dalam hidup, ternyata seru ... sesuatuuuu banget!

[caption id="attachment_336316" align="aligncenter" width="601" caption="Canon, delighting you always! (Dok.G76)"][/caption]

***

Suatu hari, saya bertanya kepada seorang teman yang jago utak-utik komputer. Dodi namanya;

“Dod, butuh printer nih. Yang murah tapi bagus, ya?“

Halah, kamu ini opo ... maunya yang bagus-bagus tapi tak punya duit. Ayu-ayu kok, pelit ... ya, sudah ... ikut.“ Kami ngakak bendera. Mentertawakan saya. Merdeka, bung! Kalau jaman dulu itu, belum ada suami, tidak bisa asal minta. Kalau mandiri, keuangan harus dijaga hati-hati sekali. Maklum, mahasiswi.

Kami pun menuju dealer komputer yang dia kenal di daerah Tanah Mas. Kami naik motor, pakai helm cakil. Pelan tapi pasti, kami menuju wilayah pantai Semarang. Waduuuh, jalannya gronjal-gronjal, tidak merata. Sudah begitu, ya, ampuuuun puanaaaaseee, berdebuuu ... tapi demi mendapatkan barang idaman, saya rawe-rawe rantas. Nekat. Kalau nanti mau putih, mandi tepung gandum saja, deh. Dijamin putih memplak. Mau suntik, selain takut juga tidak punya wang. Hehe!

Lima belas menit sampai sudah. OK. Printer canon yang model bubble jet cocok untuk rumahan, home-used printer dan laser jet untuk kantor. Saya pilih bubble jet (BJC, lupa nomornya). Dari sekian banyak merk, dealer memang menyarankan saya untuk membeli canon saja daripada yang lain. Beragam alasan, antara lain; selain kualitas, juga harga terjangkau bagi saya mahasiswi (waktu itu). Setelah berembug dengan si empunya rumah, deal! Sekian ratus ribu. Wah, mau ... mauuuuu! Lebih murah dari plaza Matahari waktu itu. Baiklah, beli dari dealer langsung. Ora popo. Ora wedi!

Si Dodi mengantar saya yang memangku box printer segede gaban itu sampai rumah. Duuuh, Dod, baik betul. Semoga terbalas kebaikanmu. Allah memang Mahabaik. Mengirimkan malaikat-malaikat kecil dalam kehidupan ini. Terima kasih, Tuhan.

***

Begitulah. Printer canon saya itu amat berjasa. Mulai dari menyelesaikan PR, tugas-tugas sampai skripsi S1, menulis tiga buah naskah buku yang saya cetak di kedai foto kopi kampus, tidak ketinggalan tugas lemburan dari organisasi. Wis, pokoknya, mesin cetak tanpa tanda jasalah!

Sebagai informasi, selama di Jerman, saya diajari sebuah budaya; kalau sudah habis tintanya, printer dibuang dan lebih baik beli yang baru. Mengapa? Karena tinta aslinya mahal, beli yang palsu takut merusakkan printer. Nah, kalau beli baru sudah dapat tinta, printer nya gress pula. Makanya, saya kangen printer canon warna abu-abu saya yang paling tidak telah melampui masa garansi, sempat juga lima tahun bertahan. Sayang, akhirnya ... cling, hilang! Saya diajari si Dodi cara menyuntik printer canon dengan tinta isi ulang. Hasilnya tetap prima. Dan printer canon pun tidak pernah ngambek atau rusak meski di jas jus-jas jus, suntik tinta terus. Mungkin tahu kalau saya menyayanginya .... Suit-suiiiiiit (ikon singsot, bersiul gaya kampung).

***

OK. Tahun pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima pemakaian printer:

“Buk, printer di kamar mana? Kok, tidak ada?“

Lha embuh, kuwi ... mbok kek ndi?“ Ibu menanyakan kepada saya, di mana saya menaruhnya, kok sampai hilang tidak ketahuan wadagnya.

“Ya, sebelah komputer. Tapi tidak ada.“ Saya usap-usap meja berkali-kali bukan karena ingin memanggil jin dari guci wasiat. Tidak ada, ahhhh, barangkali saya salah lihat. PC komputer dan CPU masih di sana, mosok tempat parkir printer canon, kosonggggg! Ya ampuuuun, di mana engkau berada printer canon?!

“Wooo ... biasanya, ya dipakai kakakmu nomor empat. Sesekali adik bungsu. Sempat juga adik lanang, bapak juga ...“ Ibu menghampiri saya lagi dan mencoba mengingat-ingat kembali, siapa-siapa saja yang terakhir kali memegang printer canon saya yang keramat itu. Selama tiga minggu, saya memang sedang ke luar negeri, ada meeting LSM. Tidak bisa mengawasi pemakaiannya. Balik-balik, dikageti, printer canon hilang! Ihhhhh ... kesal. Rasanya nano-nano.

Dan sedihnya, kami ini bersembilan (7 anak dan 2 orang tua), mosok tidak ada yang melihat di mana printer saya. Sudah saya kelilingi setiap detil rumah kami, tetap saja tidak ketemu. Semua anggota keluarga kami menjawab, “Lha mbuh, rak ngerti“ Yaaaaa ... waktu ditanya satu-per satu, semua menjawab tidak tahu menahu. Tidak ada sisik melik di mana printer canon saya bersembunyi. Sedihnya setengah mati.

***

Kejadiannya memang sudah puluhan tahun, namun tetap membekas di hati. Printer canon bubble jet ... dimanakah sebenarnya engkau berada kini? Diumpetin? Dijual? Digadai? Atau ada yang maling? Tak mungkin lah, meski rumah orang tua kami tak pernah sepi dari kunjungan tamu dari pagi sampai malam hari, mana mungkin ada orang masuk ke kamar saya dan mengambilnya tanpa ijin? Misteri ini tidak terpecahkan sampai hari ini. Ada ide?

Hmmmm! Betul-betul printer canon saya sungguh ajaib, bisa menghilang alias raib. Berubah!!!Jadi kamera canon DSLR? Mengapa tidak? Bermimpi boleh saja, asal tidak pakai ngiler. Selamat pagi. (G76)

PS: Ditulis dalam rangka mengikuti lomba blog competition “Mencetak lebih banyak dengan harga terjangkau“ bersama Canon Pixma Ink Efficient E400. Canon, delighting you always! Selamat berlomba, sampai penutupan 24 Mei 2014. Jangan ketinggalan, ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline