Pukul 12 kurang 5 menit. Saya sudah menjemput anak ragil. Biasanya, setiap anak sudah bisa dijemput setengah jam sebelumnya, tapi saya pikir lebih bagus kalau dia tinggal lebih lama dengan teman sebayanya daripada sama ibunya. Sampai pukul 12.00. Teng!
Kaki pendek saya cekatan memasuki ruangan. Di pintu utama taman kanak-kanak, tertera banyak tulisan. Salah satunya “Wir haben Scharlach“ (red: Awas, ada skarlatina).
[caption id="attachment_337961" align="aligncenter" width="512" caption="Awas, ada skarlatina di TK"][/caption]
[caption id="attachment_337962" align="aligncenter" width="512" caption="Peringatan selalu ditempel di jendela pintu utama TK."]
[/caption]
Scharlach, scarlet fever atau skarlatina adalah penyakit menular yang sering terjadi di Jerman daerah tempat saya tinggal di Schwarzwald. Katanya, gejalanya yang paling kentara adalah bintik merah di sekujur tubuh, lidah berwarna merah, sakit kerongkongan, agak demam dan pipi kadang merah (meski kebanyakan anak Jerman mudah berpipi merah terkena sinar matahari atau kalau capek ... itu pipi apa tomaaaat?). Tidak tahu, anak-anak kami belum pernah terkena scharlach, semoga ojo ngasi ... tidak. Sebab sudah rajin diimunisasi? Komplit-plit dan runtut.
Entah apakah ini sama dengan Angina, penyakit yang sering diderita orang di Jerman. Barangkali bedanya tanpa bintik dan dengan bintik merah. Saya ini hanya dokter cinta (khusus untuk suami dan anak-anak saja).
OK. Dari sini, saya menangkap bagaimana pihak sekolah mengantisipasi penularan penyakit. Peringatan yang dipasang di pintu dan jendela utama sekolah ini untuk memberikan informasi kepada orang tua murid yang bersekolah di sana; agar berhati-hati, memutuskan apakah anak dikirim ke sekolah atau tinggal di rumah sampai kertas itu diturunkan dari jendela kaca TK, memperhatikan anak yang sehat dengan sungguh-sungguh supaya tak terkena penyakit ini dan anak yang sakit segera diantar ke dokter dan diberi obat sesuai resep.
Saya ingat bahwa anak yang terkena penyakit (sekalipun kutuan) dilarang datang sampai benar-benar sembuh. Demi kebaikan bersama.
Seingat saya, sewaktu duduk di TK atau ketika anak kami ada yang masuk TK di tanah air, belum pernah ada peringatan seperti itu. Barangkali sekarang berbeda? Dimana pihak sekolah dan orang tua lebih terbuka? Pihak sekolah memberi informasi. Orang tua yang menemukan anaknya sakit, segera lapor pada pihak sekolah dan seterusnya.
Saya pikir ada baiknya juga, informasi seperti itu diteruskan di sekolah manapun itu. Sebelum tulisan tentang Scharlach, sebelumnya adalah “Wir haben Noro virus.“ Dan minggu ini? Tulisan berganti menjadi „Wir haben Kopfläuse“! Hedehhhh ... di taman kanak-kanak sudah menyebar penyakit jaman saya kecil, tumonen alias berkutu rambut! Setiba di rumah, segera saya periksa rambut anak-anak. Alhamdulillah tidak ada lingso (telur kutu rambut) menggantung di rambut bagian bawah atau dekat unyeng-unyeng, Kor (anak kutu rambut) atau tumo (kutu rambut yang besar) yang jalan-jalan. Horeee, bebas! Tuh, kan, ndhuk ... rambut harus selalu bersih, dicuci, diikat (dikepang atau kucir kuda) agar tidak tertular dan atau jadi sarang hewan penghisap darah yang lebih kejam dari drakuli. Bagaimana tidak seram? Tidak di Indonesia tidak di Jerman, jaman dulu itu ya, kalau berkutu, rambut harus digundul lho! Selamat sore. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H