Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Jangan Pernah Menyerah Pada Keadaan

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14020038351917883800

Keadaan terjepit, kembali ke titik nol atau entah kondisi lain yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia ... pastilah ada, pernah terjadi pada siapa dan kapan saja.

Begitu pula dengan saya. Pasca kepindahan kami ke Jerman, langit serasa runtuh. Di Jerman? Saya bisa apa? Saya dapat apa? Mulanya, untuk bicara bahasa mereka saja sulit. Buat beradaptasi dengan empat musim yang gonta-ganti saja sudah setengah mati. Mau makan masakan ala barat saja dahulu pernah lidahnya nggak karuwan. Dan seterusnya, dan sebagainya ....

Itu dulu ... duluuuu sekali. Sekarang, saya merasa lebih baik. Saya bisa nekat dengan cara yang masuk akal.

Banyak hal yang sudah saya lakukan untuk survive di negeri orang. Meski negeri ini milik suami (dan anak-anak saya juga), saya belum merasa Jerman negeri saya. Saya selalu memanggilnya sebagai tanah rantau. Makanya saya selalu ingin pulang ke sarang, Indonesia. Meskipun saya menyukai tempat tinggal kami, tetap selalu ada singgahan yang saya rindukan untuk dijenguk sesekali. Indah dan romantis, ya?

***

Nah, apakah saya menyerah dengan keadaan? Tentu saja tidak. Kalau orang Jerman tidak mendatangi saya, saya datangi mereka. Kalau cuaca negeri sosis tidak bersahabat, saya lindungi badan dengan baju yang tepat. Intinya, akuorapopo. Akuorawedi.

Beruntung bahwa saya senang menulis. Hobi yang baik dan bermanfaat. Dahulu di kampung halaman, rasanya gampang sekali memasukkan artikel di media cetak karena banyak teman atau kenalan yang bisa membantu membukakan pintu. Sekarang? Agak susaaaaah. Paling banter dari Freez terdahulu. Sudah. Thanks to Kompasiana. Karenamu, tulisan Gana ada (dan dibaca).

Lantas, apa yang harus saya lakukan? Tetap semangat menulis! Entah itu dibaca orang atau dibaca saya sendiri. Yang penting nulis, nulis saja terus. Sampai tangan saya lelah dan berganti dengan pekerjaan rumah yang selalu tumpah-ruah (duh, biyuuuuung). Beberapa kawan dekat saya di Jerman geleng-geleng kepala. Satu hari ada berapa jam, Gana? Entahlah, silakan menghitung sendiri. Daripada stress. I don’t like to be a desperate house wife. Enjoy saja.

Setelah menulis, lalu? Iya, dibuat buku. Kalau buku terbit, banyak orang bilang afdolnya di launching. Laaah ... saya di Jerman pijimana? Ingin dilakukan di Indonesia, jelas mahal dan repot. Terus, tiga anak, siapa yang urus? Emangnya Indonesia, bisa titip ibu atau pembantu? Di sini, no, way ... mimpi di siang bolong itu. Harus mandiri. Teriak tulung-tulung juga nothing’s happened.

Jederrrr, saya kumpulkan saja orang Jerman; tetangga, kenalan, teman, saudara ... sembari minum kopi/teh dan mencicipi kue yang saya buat sendiri (kalau di Indonesia tinggal beli, habis perkara). Yang penting tujuannya, kumpul dan berbagi. Itu saja. Saya ingin membuktikan kepada mereka, orang lokal. Saya memang orang asing (red: Ausländerin) tapi saya tidak akan menyerah pada keadaan. Harus di rumah, titik (?). Oh, nö. Bukan Gana banget. Saya harus berbuat sesuatu. Saya ingin selalu aktif dan menjadi bermanfaat tak hanya untuk diri sendiri. Mimpi? Boleh, dong!

Saya memutar otak. Saya kan pernah siaran. Pasti radio tempat saya pernah mengabdi, mendukung saya untuk maju, membolehkan saya untuk siaran bedah buku langsung dari Jerman. Tak perlu terbang, lewat telepon saja. Mungkinkah? Mungkin! Saya meyakinkan kepada crew bahwa semua akan berjalan lancar. Dan alhamdulillah memang. Sedikit dengan mengorganisir keadaan yang tersudut karena saya ada di Jerman, siaran harus live di Jakarta. Saya pun meminta bantuan editor, pak Thamrin untuk mewakili. Taraaaa ... sukses! Banyak teman-teman mengira saya ada di tanah air. Oh, tidak. Itu hanya suara saya saja. Saya jalan-jalan ke Indonesia lewat suara.

Selain launching kecil-kecilan di Jerman itu, saya hubungi sebuah universitas dekat tempat tinggal saya. Saya dapatkan dari mbah google. Matur nuwun, mbaaaah. Universitas Konstanz yang memiliki kelas di mana mahasiswanya, ada yang mempelajari bahasa Indonesia. Luar biasa! Bangga sebagai bangsa Indonesia yang bahasanya dicintai dan didalami orang Jerman.

Tak puas bedah buku di dunia nyata, saya ingin merambah lagi dunia maya. Saya hubungi radio lain, selain Smart FM Jakarta (yang networknya seluruh Indonesia). Barangkali mereka minat mengangkat buku saya dalam acara bedah buku. Walaaaah, kok seperti penerbit mayor yang itu ... harus bayaaaar. Enggak deh. Beberapa bulan kemudian, manajemen ganti. Wow. Saya boleh siaran bedah buku dengan gratis. Saya akan bagi buku di sana buat promosi. Kesimpulannya: jangan pernah menyerah pada keadaan. Menata hati dan memutar otak untuk menemukan jalan yang bisa dilalui. Kalau saya bisa, kompasianer yang ada di tanah air ... tambah bisa! Hayuuuk.

***

[caption id="attachment_340712" align="aligncenter" width="343" caption="Jangan lupa dengarkan siaran bedah buku "38 WIB" (dok.Gana)"][/caption]

Please, jangan lupa untuk mendengarkan siaran bedah buku “38 Wanita Indonesia Bisa“ di radio Edutop FM, 89,4 FM Semarang. Besok, hari Jumat tanggal 6 Juni 2014 pukul 17.00 WIB (Jerman, sama dengan pukul 12.00 siang). Yang ingin mendapatkan hadiah buku saya itu, silahkan bergabung. Saya akan berada di Jerman dan akan menghubungkan diri lewat saluran langsung internasional (Hallo? Bisa bicara dengan salah sambung?). See you on the air. Jangan pernah menyerah. Tuhan ada di mana-mana. Gott sei dank.(G76)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline