Nomor peserta: 60, Gaganawati
[caption id="attachment_342511" align="aligncenter" width="550" caption="Area Simpang Lima Semarang (dok.G76)"][/caption]
Aku baru mengenalnya setahun ini. Ada yang menarik dari dia. Bukan. Bukan dari tampangnya yang ganteng seperti Ari Wibowo. Bukan pula dari hidungnya yang seperti Pinokio, saking panjangnya. Bukaaan.
Dia tahu lebih banyak dariku tentang kota Semarang. Kota di mana aku dilahirkan. Kota di mana aku selalu rindu dan aku bangga-banggakan selalu. Tempat di mana sebagian kenangan hidupku tertinggal. Huuuuh, sebel banget kaaann?!
Bahkan kadang-kadang, aku malu sendiri. Meski aku pura-pura perhatikan kalau dia sedang bercerita tentang kotaku, ada rasa iri dan gemes kusimpan karenanya. Huuuuh. Ini orang kok bisa ngerti, yaaaa??? Yang orang Semarang itu siapa? Aku apa dia, siiiih?
***
Betul ... betul sekali. Makin lama, kebencianku yangdahulu mengendap pada awal-awal perkenalan, berubah jadi rindu. Kangen celotehnya tentang kotaku. Seperti hari ini;
“Na, ayo, kita jalan-jalan cari darah cobra.“ Wajahnya tak berekspresi. Dingin.
“What? Darah ular cobra, man? Kamu doyan?“ Dasar sangat ekspresif, wajahku berubah.
“Obat kuat. Pasti-pasti!“ Dia pamer jempol yang segedhe gaban. Dan diapun bersemangat menceritakan kelezatan kuliner Semarang ini. Oh, Tak hanya tentang itu. Ia cerita panjang lebar di mana bisa menemukan makanan lain seperti Sego kucing, mie ayam cakar pak Kawit, bakso kumis dan nasi pecel bu Sri di Simpang Lima, gurami bakar di Kampung Laut, cafe es krim buatan rumahan atau kalau mau ikan segar dari hasil laut di daerah utara. Waduh, aku tahunya dari tukang sayur atau tukang jualan keliling depan rumah sajaaaaa. Belum lagi jalan tikus yang dilaluinya untuk menuju ke sana. Tak terduga!
Hmmm ... Aku pandangi wajahnya yang tampak serius mendongeng. Dasar Bugil. Mosok darah cobra bikin candu dia? Jijik. Akhirnya, ia tak jadi mencicipi darah dan daging Cobra, setelah aku terangkan; ini bukan pilihanku. Aku tak setuju. Dia pun menurut, tak pernah pergi ke sana lagi.
Dia banting setir, ke tempat makan asyik lainnya saja. Daerah atas, Bukit Stupa. Duh, masuknya harus mengeluarkan KTP, ya? Resto mini di daerah perbukitan itu memang tak begitu luas, namun suasananya romantis. Pemain musik memanjakan telinga kami dengan alunan jazz dan suara serak-serak basah mbak penyanyi. Habis makan, kami sedikit jalan-jalan memandang bintang dan kerlap-kerlip kota Semarang bawah. Oh. Tak pernah aku nikmati sebelumnya. Biasanya, aku kerap pandangi kerlap-kerlip lampu kota atas, dari kota bawah. Titik.
Tangannya masih santai pegang setir, satu tangan! Yang satu menggantung di jendela yang kacanya terbuka. Sesekali, ia menyeka keringat dari panasnya hawa kota pantai ini. Rambutnya yang lupa diberi gel, makin menantang matahari yang tak berapa lama tenggelam. Wih, gayanyaaaa ... lelaki itu memang tak pernah mati gaya. Ihhh ... gemes! Pokoknya, aku gemes sama kamu!
***
Dan kini, kini setelah bertahun-tahun berlalu, aku jadi tahu bahwa pria yang berhasil menikahiku bukan dari Semarang. Dia ... suamiku, pria yang tahu banyak tentang kotaku itu! (G76)
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kota Kelahiran. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H