Bulan Januari, aku akan berangkat ke Hongkong, Risna. Bukan untuk mengunjungimu. Ada tugas penting yang harus aku kerjakan di sana. Dan tak pernah kusangka kalau akhirnya, aku tak kan pernah kembali. Aku ada di negerimu untuk jangka waktu yang sangat lama. Bahkan terlalu lama menurutku.
Ris, aku masih ingat sekali perbincangan dengan suamiku sebelum berangkat ke Hongkong:
“Jadi ke Hongkong bulan depan?“ Suamiku yang ganteng itu melepas kaos kakinya yang bau. Ia lemparkan ke keranjang yang tersudut.
“Ya. Tapi belum yakin mau tinggal di mana.“ Aku seduh kopi kesukaannya ’Unser Bester.’
“Tinggal saja di apartemen Ling-Ling. Pasti dia suka ada yang mengunjunginya.“ Tak berapa lama, hanya celana dalam motif koran yang melekat di tubuhnya yang macho. Tanpa baju, tak membuatku birahi. Tidak seperti biasanya. Barangkali karena sebuah nama yang ia sebut, membuatku berpikir berkali-kali tapi tetap gagal paham.
“Ling-Ling???“ Dahiku berkerut. Perasaan tak pernah sekalipun ia bercerita punya teman perempuan di Hongkong bernama Ling-Ling. Fantasiku mulai mengembara. Batinku berkecamuk. Sayangnya, ini sama sekali tak menarik perhatian kekasih hatiku. Ia malah menuju shower, lalu mandi. Setelahnya, ia memainkan Ipad di kasur dan aku? Pura-pura tidur bersama curiga yang makin mengiris dada.
***
Selama sebulan, aku seperti orang gila. Kugali semua informasi di internet. Kubuka semua gadget milik suamiku. Semua data yang berhubungan dengan Ling-Ling, Hongkong harus aku dapatkan. Hasilnya? Aku geram, geram sekali! Fakta itu menyakitkan. Aku berusaha untuk tetap diam. Diam bersama angin yang menamparku bertubi-tubi di dekat jendela. Kususun kekuatan dan rencana untuk menyelesaikannya.
Akhirnya aku berangkat, Risna. Sekali lagi bukan untuk mengunjungimu. Aku mendatangi Ling-Ling. Kuiyakan usulan suamiku. Aku akan tinggal bersama Ling-Ling. Suamiku sudah menghubunginya untuk meminta ijin, membolehkan aku menginap barang seminggu.
***
Awal perkenalan kami sungguh tak kaku. Mungkin saja karena aku ini pemain watak amatiran yang bisa menyembunyikan perasaan. Dan Ling-Ling? Wanita berkacamata itu tak pernah menaruh curigasedikit pun, Ris. Baru sehari, kami tak ubahnya teman lama.
Hari demi hari, batinku tersiksa. Aneh, sudah hampir seminggu di rumahnya, tak kulihat selembar pun foto suamiku. Hanya foto Ling-Ling dan putri tunggalnya, Mey-Mey. Apa aku salah sangka? Aku harus temukan bukti!
Sampai pada hari terakhir, Ling-Ling pamit sebentar mengantar anaknya ke sekolah, aku mengepak koperku. Kulihat sebuah kalung tergeletak di dapur. Aku memang penyuka perhiasan. Kuhampiri dan perhatikan detilnya yang unik. Oh, bisa dibuka! Di sanalah kutemukan foto mereka bertiga; Ling-Ling, Mey-Mey waktu masih bayi dan ... suamiku! Mesra sekali.
Langit serasa runtuh. Aku mengerti, aku tak akan bisa mendapatkan keturunan karena rahimku sudah diangkat, belum lagi kanker ganas yang kata dokter akan segera merenggut nyawaku. Teganya suamiku!
Satu jam kemudian, Ling-Ling kembali. Aku tolak jasanya untuk mengantarku ke bandara. “Pakai taksi saja.“ Aku pun pergi. Pergi meninggalkan Ling-Ling yang telah siap dengan susu dan roti untuk sarapan pagi. Lambaian tanganku sungguh flamboyan. Senyumku bagai sebuah pesan.
***
Aku maju ke meja check-in. Tiba-tiba, datang petugas bandara yang merangketku. Aku tak boleh pergi, ada yang harus aku pertanggungjawabkan. Ling-Ling meminum susu yang kutaburi racun tadi dan mati.
Aku? Siap dihukum seumur hidup! (G76)
[caption id="attachment_375263" align="aligncenter" width="410" caption="Surat saya untuk Risna di Hongkong (dok.Risna&FC)"][/caption]
[caption id="attachment_375267" align="aligncenter" width="360" caption="Surat Novi di Belanda untuk saya di Jerman (dok.Gana)"]
[/caption]
Ps: Isi surat sederhana ini saya kirimkan ke Risna aka Sinna Hermanto di Hongkong (dan saya mendapatkan surat dari kompasianer Domesiana Novi Handayani di Belanda). Acara ini terselenggara atas prakarsa Fiksiana Community dalam even surat menyurat. Cerita khayal di atas, akhirnya terpilih sebagai salah satu dari tiga surat dengan isi cerpen/cermin terbaik. Semoga dengan even sejenis ini masih mampu memotivasi kita untuk menggunakan tangan dalam menulis pesan (surat/kartu pos) lewat pos, di jamannya dunia maya ini. It's fun!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H