Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Pernah Ditraktir Makan Si Bos?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14208984591934858126

Tanggal 8 Desember. Tanggal itu saya ingat-ingat setiap hari, sejak seminggu sebelumnya, ditelpon sekretaris bimbel:

“Tanggal 8 Januari bisa datang kan? Si bos mengundang kita semua untuk berkumpul di restoran Vietnam di Villingen.“ Suara perempuan yang menikah dengan orang Belanda itu menyodok dari jauh.

“Sebentar, saya buka HP, lihat kalender ...“ Layar pun terbuka. Di sana, saya tidak melihat tanggal itu ada acara. Bebas, saya bisa datang! Tapi saya agak mengkeret karena acaranya di pusat kota. Tahu sendiri kota besar, cari parkir susah dan memang harus agak jauh dari pusat kota, jalan 10 menit. Mana malem, winter lagi! Gak enak minta tolong suami anterin, apalagi anak-anak gimana ya. Pakai bus juga repot karena jalur langsung dari rumah kami tidak ada. Halah.

Untungnya, saya minta tolong sekretaris itu untuk menanyakan kepada kawan-kawan lainnya yang searah, apa saya boleh ikut nebeng. Boleeeeh! Akhirnya, disepakati, kami berlima berkumpul di bimbel dan berangkat barengan! Yuhuuu ... tadinya sudah pusing duluan bawa truk kesayangan saya ke kota, parkirnya susah! Takut nyenggol lagi. Senggolan depan saja belom dikenteng. Sepertinya, itu bekas gesekan dari tong sampah yang gedhenya segaban. Bisa jadi nyenggol saat mau masuk garasi depan rumah.Sayang, saya tak ingat. Tahu-tahu sudah mblaret begitu .... Bisa diklaim ke asuransi, tapi siap-siap bea premi per bulannya juga naik ... ya, sudah, dibiarin.

Memang saya sangat ingin datang. Apalagi bu bos yang ketemu waktu saya habis mengajar, bertanya lagi:

“Datang kan? Tempatnya di pusat kota.“ Perempuan itu memandangi saya. Dari perbincangan dengan sekretarisnya, saya tahu sebabnya mengapa si bos pilih resto itu. Karena yang punya adalah teman sekolah dahulu! Apalagi resto ini sudah lama berdiri, dikenal dengan masakan Vietnam yang patut direkomendasi. Tidak besar-besar amat dibandingkan resto “all you can eat“ ala resto China yang bertebaran seperti jamur di musim hujan.

Bos saya ini orangnya tinggi, besar, lembut. Kalau berbicara, selalu ada senyum dan renyah nadanya bukan temperamental seperti saya. Matanya selalu memandang lurus kepada lawan bicara. Ohhh ... Pernah-pernik perhiasan juga menjadi koleksinya, samaaa.

[caption id="attachment_389885" align="aligncenter" width="240" caption="Pengajar laki perempuan, tua muda."][/caption]

[caption id="attachment_389886" align="aligncenter" width="240" caption="Komunikatif"]

14208985181983584584

[/caption]

[caption id="attachment_389889" align="aligncenter" width="320" caption="Bos membagi minuman untuk kami ..."]

1420898620798093824

[/caption]

[caption id="attachment_389887" align="aligncenter" width="384" caption="Dari mata turun ke perut."]

14208985672215510

[/caption]

Ia pun saya kagumi karena dekat dengan para pengajar. Ia memiliki setidaknya 30 pengajar, saya paling muda yang bertahan lama di sana. Lainnya yang lebih muda dari saya sudah pada kabur tidak betah. Murid bimbel per kelas memang tak banyak namun prinsip berbagi dan membantu anak-anak serta siapapun yang butuh bimbel, biasanya saya iyakan. Uang bukan segalanya meski tak dipungkiri, semua butuh uang di dunia ini ... mati saja mahal beanya di sini!

Dan kekaguman saya bertambah setelah acara makan malam bersama. Pelukan hangat, cium pipi tiga kali ... tidak sembarang orang melakukannya bukan? Semua melakukannya. Saya kira mereka berhubungan dekat, tak hanya antara pengajar dan bos ... Dan ibu itu, memperlihatkannya dengan tulus, begitu pula dengan yang datang (rekan-rekan saya). Bahkan saya yang tadinya sungkan untuk memeluk beliau (sebenarnya, saya lebih suka mencium tangannya karena beliau atasan saya) jadi terhanyut ikut peluk-peluk. Usianya baru 50 an.

Bos saya ini pula yang memesankan makanan dan minuman halal untuk saya, jauh-jauh hari.

Yak. Acara makan-makan dengan menu pembuka, utama dan penutup itu memang luar biasa. Bukan saja dari makanan Vietnam yang hampir mirip Indonesia, tetapi suasana yang ada di dalamnya. Hangat nggak garing! Banyak orang berbincang dengan saya. Seru.

Endingnya, saya geli sendiri lantaran sebagai satu-satunya tamu dari grup bimbel yang orang Asia, bahkan satu-satunya pengunjung dari Asia di resto (kecuali pemilik dan pelayan) ... pelayan memberi saya cocolan sambal, sedangkan lainnya tidak. Padahal saya tidak pesan. Hahahah ... tahu aja kalau orang Indonesia atau Asia suka sambal dan orang Jerman biasanya kebanyakan gak doyan sambal pedas. Teman-teman meringis melihat saya melahap lumpia hangat dengan warna yang merah, mangar-mangar! Sudah panas, pedas pulak.

***

Itu tadi cerita saya ditraktir bos bimbel tempat saya mengajar sejak 2012. Memang kelas wajib saya tak banyak, hanya bahasa Inggris seminggu sekali. Tujuan saya bukan cari uang tapi bersosialisasi dan mengasah ilmu yang sempat saya timba dahulu.

Bagaimana dengan bos tempat Kompasianer mengabdi atau bekerja? Sedekat itukah si bos dengan bawahannya? Apa yang menarik dan simpatik darinya? Kapan terakhir kali memanfaatkan waktu santai bersamanya? Selamat sore. (G76)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline