Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Perkembangan Fantasi Penulis Buku Anak Jerman

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1424445451876126512

“Senang lho, anak-anak tinggal di Jerman dan baca buku di sini. Buku anak-anak di Indonesia gak mendidik. Serem, sadis ....“ Seorang ibu yang sudah lama tinggal di Jerman bercerita. Waktu itu, ia baru saja kembali dari Indonesia bersama anak-anaknya untuk berlibur. Seperti biasa, mampir toko buku di kampung halaman, mumpung banyak yang berbahasa Indonesia. Tapi rupanya susah menemukan buku yang tepat untuk anak-anaknya.

Saya diam saja. Memang benar sih, katanya. Saya ingat betul cerita Timun Mas yang akhirnya si raksasa mati kena tebaran garam yang jadi laut, tebaran jarum yang jadi jarum raksasa dan seterusnya. Atau kisah Malin Kundang yang tidak tahu diuntung dan mendapat musibah kapalnya karam. Kekerasan lainnya juga ada di buku anak lainnya?

Dan hari ini, secara kebetulan, saya terlibat perbincangan dengan suami saya. Ia menunjukkan tentang sebuah buku lama yang pernah jadi miliknya waktu kanak-kanak. Waktu kecil, cerita model serupa juga sudah ada, banyak. Cuma sekarang memang jarang ditulis oleh penulis buku Jerman yang baru, yang kebanyakan memang lebih simple, natural dan educated. Anti kekerasan.

Hmmm .... Saya pandangi buku tua yang masih dalam kondisi bagus itu. Orang Jerman memang pandai merawat barang-barang. Masih ingat sekali, handuk suami saya waktu bayi masih ada. Kondisi masih bagus meskipun warnanya kian buram. Atau mainannya yang masih juga utuh dan terawat. Sekarang jadi warisan untuk anak-anak. Belum juga dewasa, mainan sudah rusak! Duh, biyung.

Sebenarnya, apa saja cerita anak yang serem dari Jerman itu? Antara lain ada empat dari sekian banyak contohnya yang saya baca:

1.“Der Geschichte vom wilden Jäger“(cerita tentang pemburu liar)

Seorang pemburu kelinci yang bangga akan kepiawaiannya menembaki hewan. Pada suatu hari saat berburu dan sedang istirahat di bawah terik matahari, senapan dan kacamatanya dicuri kelinci. Giliran kelinci yang memburu pemburu. Hingga sang lelaki masuk sumur dan mati. Inti cerita; kalau tidak mau diburu jangan memburu!

[caption id="attachment_398327" align="aligncenter" width="410" caption="Jangan memburu kalau tak mau diburu"][/caption]

2."Die gar traurige Geschichte mit dem Feuerzeug“ (cerita tentang korek api)

Ceritanya seorang anak gadis dinasehati ibunya untuk tidak bermain korek api. Suatu hari ketika ibunya pergi, ia berniat bermain api dan diingatkan dua kucing peliharaan mereka. Dasar anak nekad, tidak mendengarkan nasehat ibu dan para kucing. Akhirnya? Ia terbakar hidup-hidup dan mati.Inti dari cerita ini adalah di manapun di dunia ini, anak harus mendengarkan nasehat orang tua.

[caption id="attachment_398329" align="aligncenter" width="410" caption="Siapa bermain api, hangus!"]

14244455011045843140

[/caption]

3.“Die Geschichte vom Daumenlutscher“ (cerita tentang penghisap jempol)

Setiap anak kecil pasti memiliki kebiasaan buruk yang kadang membuat orang tua was-was. Kalau dibiarkan takut kebablasan kalau dewasa nanti. Salah satunya adalah menghisap jempol. Suatu ketika, seorang ibu hendak bepergian dan memesan anak lelakinya, Konrad untuk baik-baik di rumah, tidak boleh menghisap jempol. Kalau nekat, si ibu menakut-nakuti akan datang tukang cukur yang bakal memotong jempolnya. Saat Konrad sendirian, ia tetap menghisap jempolnya dan datang lelaki membawa gunting dan memotong jempolnya. Ia menangis, menyesali perbuatannya tapi semua sudah terlanjur. Inti cerita: tidak boleh menghisap jempol.

[caption id="attachment_398332" align="aligncenter" width="410" caption="Jangan biasakan diri menghisap jempol!"]

14244455751069541031

[/caption]

4.“Die Geschichte vom Suppen-Kaspar“ (cerita tentang sup)

Seorang anak laki-laki sehat bernama Bob. Ia ini gembul, pipinya merah dan segar. Ia selalu makan sup di meja makan. Entah mengapa suatu hari, ia bosan dan berteriak “Aku tak mau makan sup lagi.“ Begitu terus sampai hari-hari berikutnya. Bob makin kurusan, lama-lama seperti lidi. Tepat pada hari kelima, Bob pun mati. Inti cerita: bersyukur dengan rejeki, apa saja yang ada di meja.

[caption id="attachment_398333" align="aligncenter" width="410" caption="Bersyukurlah, makan apa yang ada di meja."]

14244456251351000039

[/caption]

****

Bagaimana? Orang Jerman jaman dahulu, sama kan? Bisa sadis ceritanya? Sekarang mungkin saja berbeda seiring dengan perkembangan cara masyarakat dan pemerintah dalam melindungi anak-anak. Meski tidak ada pelajaran tata krama anak kepada orang tua, apalagi bakti anak kepada orang tua seperti di Jawa misalnya, ada sisi positifnya bahwa anak-anak Jerman tidak boleh jadi korban KDRT, kekerasan lewat pukulan, teriakan, intimidasi dan sejenisnya. Kalau di kita sepertinya masih banyak terjadi, ya?

Ah, iya, ingat, ingat sekali. Kalau bapak ibu saya menasehati, “Kalau makannya tidak habis, ayamnya mati“, “Jika tidak bersih menyapu lantai atau halaman, suaminya nanti brewokan“ ... dan entah cerita apalagi. Ughhhh serem juga kalau anak-anak diberi fantasi orang dewasa seperti itu, ya?

Sebaliknya, orang tua Jerman akan senang memberikan fantasi kepada anak-anaknya pada hari gini,“Kalau hari ini makannya dihabiskan, besok hari akan cerah ....“ atau ketika ada anak pecahkan piring tanggapan orang tua, “Nggak papa, ini bawa keberuntungan; Scherbe bringt Glück“ lalu bersama-sama membersihkannya. Indah kannnn? Anak gak jadi nangis selain kaget karena takut mecahin. Apalagi piring mahal, hayooo?

Aww. Saya memang baru gabung Fiksiana Community. Senang sekali bahwa di sana, saya banyak dapat teman baru, pelajaran bagaimana menulis fiksi (cermin, puisi, cerpen) yang baik. Memang tidak ada bakat tapi saya yakin tak ada salahnya mencoba dan terus mencoba. Kadang fantasi saya memang terlalu liar, sad ending ... soalnya kalau lempeng, monoton ... saya yang nulis saja bosen, apalagi yang baca. Hahaha. Akibatnya, pembaca kecewa karena bukan happy ending yang saya tulis. Nggak papa ya, kan sudah cukup umur pembacanya bukan anak-anak.

Semoga perkembangan fantasi penulis buku anak di Jerman dari serem-serem tadi menjadi lebih sederhana, alami, edukatif meskipun masih ada fantasinya (seperti kisah “Laura Stern“, serial “Prinzessin“, “Charlotte“, “Lola“, “Das Magische Baum Haus“) juga terjadi di tanah air. Selamat menulis. Guten Tag. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline