Ketika saya masih kecil, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau yang biasa disebut ‘17-an, selalu dirayakan dengan meriah. Rangkaian kebahagiaan ‘17-an itu selalu dimulai dari rumah. Mengecat pagar kayu depan rumah adalah wajib hukumnya dan dilanjutkan dengan kerja bakti membersihkan got. Hanya saja pekerjaan ini boleh dilakukan orang dewasa saja, kakak dan sepupu saya yang biasa melakukan pekerjaan itu.
Sore hari tepat tanggal 15 Agustus, anak – anak usia 5 sampai 10 tahun, termasuk saya, dikumpulkan di lapangan sebuah sekolah dasar (SD) untuk mengikuti lomba – lomba khas ‘17-an, makan kerupuk, balap kelereng, lari karung dan sepak bola sarung. Berbeda dengan Jakarta atau tempat – tempat lain, di tempat kelahiran saya pada saat itu tidak ada lomba panjat pinang. Hampir semua keluarga di RT tempat saya tinggal ikut hadir dalam acara itu hingga suasana menjadi meriah dan acara lomba ‘17-anbiasanya berakhir ketika maghrib tiba. Tapi itu dulu, sekarang perayaan itu hanya berlangsung di “hand phone, blackberry, face book dan jejaring sosial lain.” Perayaan itu dilakukan dengan mengirim nada dering lagu – lagu perjuangan, gambar gambar pahlawan atau bentuk lain yang hanya bisa dibaca di dunia maya dan setelah itu hilang. Kemerdekaan dalam dunia maya dan media massa lain seolah – olah adalah realitas kemerdekaan yang sesungguhnya, padahal itu hanya hiperealitas.
Lomba makan kerupuk merupakan satu dari sejumlah perlombaan yang paling saya sukai, entahlah mengapa saya suka lomba itu karena yang paling masuk akal adalah kerupuk merupakan makanan favorit saya. Meski terlalu mengada – ada, saya kadang berpikir apakah karena senang makan kerupuk hingga saat ini pikiran dan mental saya menjadi seperti kerupuk. Saat itu tidak pernah berpikir berapa harga kerupuk, bagaimana membuatnya dan darimana orang tua saya mendapatkan uang untuk membeli kerupuk.
Kerupuk, khususnya kerupuk udang, rupanya juga menjadi makanan favorit sebagian teman saya saat masih menjadi mahasiswa. Saking favoritnya makanan ini maka tidak ada satu orang pun yang rela kalau kerupuknya hilang. Keterbatasan jatah inilah yang membuat beberapa teman, khususnya kaum “kerupuk maniak” dengan terpaksa harus menjilati kerupuk udang mereka masing – masing sebelum doa makan malam, dengan harapan agar pada saat berdoa tidak ada tangan – tangan jahil yang bergerilya mengambil kerupuk dari piring makan. Kami juga harus rapat – rapat menutup piring dengan telapak tangan yang terbuka lebar karena seringkali tidak hanya kerupuk yang hilang tetapi juga lauk yang lain. Meskipun upaya penjagaan sudah dilakukan dengan sangat ketat, tetap saja ada teriakan “maling” dari salah satu teman yang kehilangan kerupuk favorit atau lauk lain ketika doa makan ditutup dengan Amen.
Waktu terus berjalan hingga suatu saat saya terpaksa harus mengurangi kebiasaan makan kerupuk, khususnya kerupuk yang berwarna setelah mengetahui kalau warna yang dipakai dalam kerupuk ternyata adalah pewarna tekstil. Sampai saat ini setiap kali bulan Agustus datang, saya selalu teringat akan dua hal, kerupuk dan masa kecil.
Saya memang tidak lagi merayakan ‘17-an dengan menyiapkan cat untuk kakak saya, berlari dengan sendok di mulut dengan sebutir kelereng di atasnya atau bersusah payah menggapai kerupuk yang digantung dengan seutas tali rafia. Peristiwa indah masa kecil itu hanya menjadi kenangan karena saat ini saya harus merayakan Hari Kemerdekaan di tengah – tengah suasana duka yang mendalam ketika dengan sangat terpaksa saya harus melihat wajah Indonesia yang sesungguhnya.
Apa yang terjadi mengingatkan pengalaman saya di Republik Tikus saat menjadi penasehat bidang bencana alam. Ketika bencana alam terjadi di Republik Tikus bersamaan dengan hari kemerdekaan mereka. Belum lagi luka di kota Tulukus (sebuah kota di Republik tikus) sembuh di hati, kedua bola mata rakyat tikus sudah harus berurai air mata merasakan gempa besar di pantai Parakus (sebuah pantai di Republik Tikus). Pada hari kemerdekaan Republik Tikus ini juga saya membaca koran Harian Warta Tikus yang menyuguhkan berita mengenai pembunuhan, perampokan, kekeringan, kelaparan dan segudang persoalan lain, termasuk diantaranya kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang tidak kunjung tuntas. Kejadian demi kejadian tersebut datang silih berganti dan seperti sudah menjadi wajah asli Republik Tikus yang merdeka dan berdaulat. Mata hati dan pikiran rakyat tikus juga harus tertuju dengan berjuta persoalan yang sedang terjadi. “Beginikah hasil kemerdekaan?, gerutu teman saya, seekor tikus. Rasanya tidak ada seekor tikus pun yang mampu menjawab.
Ketika jawaban itu tidak kunjung datang saya kemudian berpikir tentang kerupuk yang saya makan saat hari kemerdekaan di republik tempat saya tinggal, dan ternyata kerupuk inilah yang akhirnya mampu menjawab pertanyaan saya. Setelah 70 hunta Republik Tikus merasakan hari kemerdekaan, kerupuk rupanya tidak lagi menjadi sekedar makanan atau bagian dari perlombaan, melainkan sudah menjelma menjadi sebuah ideologi. Betapa tidak, karakter kerupuk yang garing, enteng dan tak berisi itu telah menjadi bagian dari cara berpikir dan bersikap tidak hanya penguasa tapi juga rakyat tikus, dan bahkan ideologi kerupuk ini ternyata telah terlalu dalam mengejawantah hingga mampu memerintahkan seluruh syaraf yang ada di otak seluruh rakyat di negeri tikus. Hal itu terlihat dari cara menyingkapi dunia realitas. Ambil sebuah contoh bagaimana ideologi kerupuk mampu menggerakkan syaraf - syaraf hypoglossal hingga terlontar pernyataan dari sebagian rakyat tikusbahwa kehidupan pada jaman penjajahan pemerintahan Buaya jauh lebih enak daripada saat ini, khususnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan dan menjalani hidup pada masa kolonial Buaya. Sebagian dari mereka bahkan berpendapat, hidup pada jaman Suhartus (nama presiden Republik Tikus yang berkuasa selama beberapa dasa warsa) jauh lebih nikmat daripada jaman sekarang. Namun yang lebih parah dan konyol adalah sekelompok tikus yang berkomentar, “Ya dijual saja republik ini pada bangsa Buaya atau Singa dan kita mengabdi pada mereka.”Astafirullah, ingin saya menyumbat mulut tikus itu atau menamparnya tapi kemudian saya sadar bukankah saya tidak memiliki hak apa-apa, saya juga bukan warga negara tikus, warga Republik Indonesia yang harus selalu mengasihi. Saya hanya bisa berdoa, “Ya Tuhan, ampunilah para tikus itu karena mereka tidak tahu apa yang mereka katakan.”
Begitulah rupanya penguasa dan rakyat tikus bereksistensi dengan keseharian. Mereka adalah tikus - tikus berideologi kerupuk, ramai dalam wacana, enteng dalam isi dan ciut dalam nyali ketika menghadapi masalah, sama persis seperti kerupuk yang dicelupkan ke dalam kuah semangkuk soto. Rasanya memang benar kalau saat ini rakyat tikus belum merdeka meskipun sudah menginjak usia ke-69. Saya kemudian teringat apa yang dikatakan Edward W. Said seorang profesor bahasa Inggris dan sastra komparatif dari Universitas Columbia, yang terkenal dengan kajian - kajiannya mengenai persepsi Barat mengenai Asia. Dalam bukunya berjudul Culture and Imperialism dia mempertanyakan apakah masa lalu itu benar - benar telah berlalu, selesai dan ditutup atau masih tetap berlanjut, meskipun dalam bentuk yang berbeda?
Berdasarkan tesis Said, kiranya dapat dimengerti apabila kemerdekaan tidak bisa diberi makna hanya berdasarkan pada pemahaman akan masa kini. Tentu saja hal ini tidak hanya berlaku dalam konteks Republik Tikus, Kerajaan Buaya dan Negeri Cicak melainkan juga tentunya konteks negeri saya, Republik Indonesia. Memberikan definisi atas makna kemerdekaan adalah dengan melihat catatan sejarah perjalanan sebuah negeri dan kemudian memposisikannya dalam kesejarahan dunia secara lengkap, termasuk posisi Republik Indonesia, Republik Tikus dan Negeri Cicak dalam konstelasi negara – negara bekas jajahan, begitulah kira – kira inti pemikiran Said.
Seandainya dikatakan bahwa Republik Tikus saat ini sudah merdeka, de jure dan de facto pernyataan itu benar namun sebaliknya apabila dikatakan bahwa Republik Tikus masih terjajah dan belum merdeka maka pernyataan itu juga benar namun dalam arti nasion. Namun demikian kemerdekaan itu sebenarnya tidak identik dengan kemerdekaan bagi manusia – manusianya. Kemerdekaan Republik Tikus hanya sebuah alat bagi kemerdekaan tikus-tikus di Republik Tikus. Persoalannya sekarang apakah rakyat tikus sudah benar - benar merdeka?
Menjadi jelas sekarang mengapa ideologi kerupuk, sebagaimana ideologi itu juga berkembang di Republik Tikus, dapat bergerak dengan sangat cepat merasuki pikiran karena sebenarnya rakyat tikus memang belum merdeka dan justru mereka sangat menikmati menjadi tikus terjajah. Sebagai sebuah contoh adalah cara rakyat tikus menempatkan masa lalu, mereka tidak perlu repot – repot dan pusing memikirkan apakah tempat mereka bekerja itu mempunyai organisasi yang baik, sedang sekarat dan mampu melayani dengan baik pada tikus jelata, yang penting gaji dan proyek jalan terus. Repotnya, masa lalu itu kemudian ditempatkan dalam realitas kekinian termasuk di dalamnya cara bersikap dan berperilaku.
Ada dua faktor yang menyebabkan ideologi kerupuk hangat menyelimuti rakyat tikus hingga tidak ada celah untuk bergerak dalam memerdekakan diri. Pertama, tumbuh suburnya sikap primordial, feodal dan penolakan terhadap evolusi historis dalam pemikiran dan perilaku rakyat tikus. Contoh kongkretnya ya itu tadi, tikus-tikus yang tidak pernah peduli dengan apa yang ada dihadapannya dan bersikap, berpikir serta berperilaku seperti pada masa lalu. Sedangkan contoh primordial dan feodal misalnya, suatu departemen yang dipimpin oleh seorang menteri dari alumnus universitas tikus anu, organisasi tikus anu, partai tikus anu dan jenis tikus tertentu, maka otomatis pos – pos penting yang ada di bawahnya akan diisi oleh mereka yang sealmamater, separtai, dan sejenis. Perilaku semacam itu tentu saja mengesampingkan aspek - aspek profesionalisme dan rasionalitas yang pada gilirannya akan menumbuh kembangkan budaya KKN di Republik Tikus.
Seperti di republik manusia, di Republik Tikus juga sedang gencar-gencarnya menyuarakan semangat otonomi daerah. Distorsi implementasi otonomi daerah menjadi sebuah tontonan menjijikan dari pementasan teater bangsa tikus terjajah. Terbentuknya “raja - raja tikus kecil” yang sangat otoritatif bernama Patibu, Taliwa dan Guberkus (sebutan untuk para pemimpin pemerintahan di Republik Tikus setingkat Bupati, Walikota dan Gubernur) merupakan fakta anti kemerdekaan. Sikap primordial dan feodal semacam ini tentu kontra produktif dengan upaya memerdekaan bangsa tikus dan itu tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh raja – raja yang ada di wilayah Republik Tikus jauh sebelum kemerdekaan mereka. Dengan kekuasaannya para Patibu, Taliwa dan Guberkus bebas menggunduli hutan, melumpuri tanah tikus jelata, dan “menjarah” harta tikus-tikus lemah. Dalam skala yang lebih besar, dicontohkan dengan sikap semau gue dan asal omong para pimpinan pemerintahan tikus.
Kedua, tikus dengan ideologi kerupuk selalu ketakutan akan posisi – posisinya hingga mencoba sekuat tenaga untuk terus mempertahankan status quo. Perubahan dan kemerdekaan berarti identik dengan ancaman. Ada dua mekanisme pertahanan diri tikus berideologi kerupuk, diam mencari aman atau berteriak. Teriakannya memang lantang tapi kosong tanpa isi hingga terdengar renyah di telinga seperti suara kerupuk. Dalam beberapa hal tikus berideologi kerupuk juga sudah kehilangan urat malu sampai kadang dia sendiri tidak sadar dengan keadaan dirinya, apakah dia sedang berpakaian atau telanjang. Salah satunya menimpa seorang anggota parlemen yang melakukan perampokan ABRT. Saya jadi ingat pada satu perampok itu seorang perempuan cantik yang pernah menjadi Putri Kecantikan negeri tikus bernama Jiejiek Soedah yang saat ini sedang berlibur di tahanan Republik Tikus. Ironisnya dia adalah bintang iklan layanan masyarakat sebuah partai di Republik Tikus. Dalam tayangan itu terlihat Jiejiek Soedah membalikan jempol kanannya ke bawah sembari berkata TIDAK sebagai simbol penolakan atas semua bentuk korupsi di Republik Tikus. Sayangnya karena iklan layanan masyarakat itu dibuat tergesa-gesa proses editing-nya maka ketika ditayangkan menjadi tidak lengkap, padahal seharusnya Jiejiek Soedah mengacungkan jempol sambil teriak TIDAK,.....(jeda) KALAU SEDIKIT, dengan suara perlahan.
Menjadi tikus merdeka memang tidak mudah karena harus mampu membebaskan diri untuk tidak menempatkan mentah – mentah masa lalu dalam praksis kehidupan kekinian serta tidak terbelenggu dalam simbol – simbol. Lucunya, hingga saat ini saya juga tidak tahu apakah saya sudah benar – benar merdeka atau belum karena terlalu sibuk mengurusi kehidupan para tikus sambil mengunyah kerupuk kiriman seorang teman dari Palembang yang memang terkenal renyah dan gurih.Kerupuk, kerupuk! *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H