Lihat ke Halaman Asli

Ustad Hariri: Dilema Negara Bekas Jajahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari terakhir, nama Kang Entis menjadi buah bibir di Indonesia. Hal ini terjadi apalagi kalau bukan posisinya sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh Ustad Hariri yang bernama lengkap Hariri Abdul Aziz Azmatkhan. Ustad Hariri sendiri menjadi perbincangan masyarakat Indonesia bukan karena substansi dakwahnya melainkan tindakannya menginjak kepala si Entis sang petugas soud system. Sebagai seorang ustad dia pun telah berbohong melalui pembelaan-pembelaannya di media massa dan justru berbalik menyalahkan Entis. Tragisnya lagi dia telah “menyalahkan Allah” dengan mengatakan, “Ini teguran Allah.” Apa benar teguran Allah, atau pernyataan ini sekedar pembenaran atas tindakan tidak terpujinya? Cibiran dan kecaman kemudian merebak, mulai dari masyarakat awam sampai pimpinan lembaga keagamaan, karena alasan itu kemudian banyak orang mepertanyakan “ke-ustad-an” Hariri.

Dalam bukunya berjudul Lisan Al-Arab,Ibn Mandhoor(1986) mengatakan bahwa kata ustad secara etimologi (asal usul kata) berasal dari bahasa Persia, Ostād, yang dalam bahasa Arab disebut ustadh, guru dalam bahasa Indonesia atau master dalam bahasa Inggris. Namun demikian kata itu tidak sama persis dengan pengertian guru, teacher (bahasa Inggris), dosen atau docent (bahasa Latin) karena seorang ustad tidak hanya menjadi mudarris atau mu’allim yang menyampaikan pelajaran (dirasah) untuk menjadikan para murid tahu. Ustad juga harus bertindak sebagai muaddib,musyrif atau murrabi yang mengajarkan etika dan moral sehingga umat menjadi benar-benar syarif (mulia). Itulah sejatinya sosok seorang ustad, menjadi tuntunan umat dan panutan dalam bersikap dan berilaku.

Meskipun banyak orang mengelus dada dan mempertanyakan perilaku Ustad Hariri, tindakan kekerasan tersebut dalam perspektif kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang mengagetkan. Mengapa? Hal ini tidak terlepas dari realitas masyarakat kita sebagai bangsa pascakolonial. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai bangsa bekas jajahan yang kemudian dikekang dalam tindakan represif kekuasaan Suharto pada masa Orde Baru, masyarakat kita pada dasarnya belum benar-benar siap menerima kebebasan dan bertanggung jawab terhadap kebebasan yang dimilikinya. Setidaknya apabila itu dimaknai sebagai oposisi diskursif de-territorialisasi terhadap teritorial imperialisme. Disinilah persoalannya, bahwa akibat penjajahan dan tindakan represif ini maka terbentuk sebuah sintesis protes dan sebuah tiruan (Darko, 2000). Cara pandang, sikap dan metodologi pikirnya merupakan hasil peniruan, pertukaran dan hibriditas yakni menjadi “Indonesia” pada satu sisi tapi sekaligus menikmati “produk-produk” asing secara membabi buta. Wajar saja seringkali terjadi standar ganda dalam menafsirkan sesuatu dengan muara pada penumpukan modal/uang.

Akibat lain pasca penjajahan, bangsa ini mengalami disorientasi akibat ketidakmampuan untuk menemukan jati dirinya dalam kerangka kehidupan berbangsa. Hal ini diperparah dengan pemerintahan yang tidak menempatkan strategi kebudayaan sebagai dasar bagi konsep pembangunannya.Masyarakat seperti menjadi anak bangsa yang seringkali hilang dari tekssehingga dirinya sendiri tidak dikenali atau bahkan menghilangkan dirinya sendiri dalam satu filosofi yang mengindonesia. Lebih dari itu, yang paling memiriskan hati adalah ketidakmampuan menafsirkan dan memaknai teks tersebut. Teks-teks itu adalah cita-cita luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan Pembukaan UUD’45. Disorientasi seperti ini mengakibatkan masyarakat mudah sekali terombang-ambing oleh tangan-tangan pemilik modal dalam kerangka kerja kapitalisme.

Ustad Hariri bukan satu-satunya orang yang melakukan hal itu karena kekerasan juga dilakukan oleh dokter dan pendidik, dua profesi yang juga telah lama dikangkangi kapitalisme. Ustad Hariri adalah produk ustad yang lahir dari sebuah acara bertajuk Kontes Dai TPI¸ sebuah peniruan (ciri khas masyarakat pascakolonial) atas ajang Indonesian Idol, yang merupakan franchise (waralaba) American Idol yang hak siarnya dimiliki oleh Simor Fuller. Secara substantif tentu saja kedua acara itu berbeda, yang pertama harapannya tentu adalah menghasilkan “manusia unggul” dan yang kedua adalah “tontonan unggul”. Namun demikian dimata pemilik modal, kedua acara itu tetaplah sama, menghadirkan sponsor dan menghasilkan uang. Nama besar sebagai pemenang kontes ini tentu sangat menggiurkan bagi pemilik modal, hingga menjadikan Ustad Hariri sebagai bonanza (lumbung uang yang tidak diduga-duga) di mata mereka, khususnya para pemilik stasiun televisi. Ustad Hariri dimanjakan karena ia adalah aset, dan kemanjaan inilah yang berpengaruh secara psikologis terhadap kehidupan Hariri karena dirinya merasa dibutuhkan.

Kontrak-kontrak untuk tampil di televisi kemudian datang mengalir seperti air, hingga sosoknya akrab di mata masyarakat dan menjadi dicintai karena televisi sebagai media yang menampilkan hiperealitas, sebuah realitas semu yang telah menghipnotis pemirsanya. Repotnya sikap masyarakat yang irasional seperti ini telah membutakan mata dan menyumbat akal sehat, hingga masyarakat menjadi begitu permisif terhadap tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh tokoh yang diidolakannya, termasuk Ustad Hariri. Kapitalisme mengeksploitasi apapun, sehingga yang muncul tidak lagi “tuntunan” melainkan “tontonan”. Tidak menjadi penting bagi pemilik modal apakah tayangannya mendidik atau tidak yang penting rating terus tinggi. Pada titik ketika mesin uangnya tidak lagi berfungsi dengan baik, maka dengan cepat ia akan dicampakan. Pertanyaan seperti, apakah Ustad Hariri memiliki ilmu agama yang mumpuni serta akhlak yang baik, tidak menjadi penting dalam kerangka ini. Tidak heran apabila kapitalisme melalui media massa, dengan enteng memberi penyebutan Ustadz Selebritis, Ustadz Gaul, Ustadz Entertainis, Ustadz Komersil dan istilah lainnya yang sebenarnya bertujuan mendongkrak “penjualan” bukan pada substansi dan esensi dakwahnya yang berguna bagi peningkatan kualitas umat.

Mekanisme kerja kapitalis seperti ini membuat manusia tidak lagi menjadi manusia tapi mesin-mesin penghasil uang. Sebagai contoh acara di banyak stasiun tv swasta yang menampilkan wajah-wajah yang sama dari pagi sampai malam. Lantas kapan mereka memutakhirkan diri lewat bacaan, diskusi dan perenungan. Bukankah seorang ustad perlu melakukan hal itu, tidak hanya bagi peningkatan kualitas dirinya sendiri melainkan juga bagi kepentingan umat? Sejujurnya penulis menjadi sangat rindu dengan sosok macam K.H Mustofa Bisri, atau biasa disapa Gus Mus.

Semua serba semu dan dengan mudah orang menafsirkan terminologi seperti agama, pendidikan, ekonomi, demokrasi dan budaya secara asal-asalan dan tidak mencapai titik yang paling mendasar yang berakibat pada tereduksinya makna filosofis terminologi-terminologi itu. Misalnya saja ekonomi dimaknasi sebagai jual beli tidak peduli seperti apa barang dan jasa yang didapatkan dan dijual, atau demokrasi yang dimaknai sebagai “pemilu” saja. Lebih parah lagi pemaknaan atas definisi pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai pembangunan gedung sekolah dan tingginya nilai ujian para peserta didik. Padahal sejatinya pendidikan benar-benar sedang mengalami krisis di dalam kelas, di mana terlalu banyak hal yang tidak pernah dipertanyakan dan diuji kebenarannya karena peserta didik,apa pun model pendidikannya, hanya disuruh menghafal sebagaimana terjadi pada masa lalu dan mendapatkan nilai bagus. Pendidikan juga bukan semata-mata masalah kesejahteraan. Banyak guru-guru yang sudah memiliki pendapatan yang cukup tidak menginvestasikan uangnya untuk memutakhirkan pemikirannya melalui pembelian buku-buku misalnya, tapi malah sibuk membeli barang-barang konsumtif atau menginvestasi dalam bentuk lain yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

Realitas seperti ini kemudian melahirkan manusia-manusia instan dan peniru, yang meniru apa sikap dan perilaku yang pernah dilakukan oleh penjajah seperti kekerasan, pemerasan, dominasi atas kedaulatan orang lain dan penghinaan atas keberadaan manusia. Itulah sejatinya wajah masyarakat kita, dan bisa dibayangkan apabila manusia-manusia berwatak seperti itu diberi kekuasaan yang lebih besar. “Ngeri bah!”(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline