Lihat ke Halaman Asli

Herawati Suryanegara

Penyuka Langit, penyuka senja.

Menyimak Buku Kompasianer Muhammad Arsyad Rahman “Pendidikan Remaja dan Seks”

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DSCN0679.jpg

By. Herawati Suryanegara

Saya tertarik dengan buku yang baru tadi sore saya terima ,tgl14 maret 2013  kiriman dari teman kompasiana, Muhammad Arsyad Rahman.  Isi bacaan buku ini ditulis dengan bahasa yang cukup sederhana dengan topik menarik sehingga saya tidak mendapat kesulitan dalam memahami isi bukunya mengenai “Pendidikan Remaja dan Seks”.

Baru satu bab yang saya baca,namun  membuat saya tidak tahan untuk menulis postingan ini. Muhammad Armand yang saya ketahui selain sebagai penulis ,ia juga  seorang dosen pada sebuah universitas . Penulis dengan bukunya ini  telah mengajak saya sebagai pendidik dan semoga juga para pendidik yang lainnya yang membaca buku ini,  untuk merenung dan semakin menyadari bahwa menilai pelajar/mahasiswa janganlah kaku  dan tidak menabukan adanya pemikiran baru dari  mereka karena dari mereka mungkin saja lahir sebuah teori-teori lain yang lebih inovatif  . Selayaknya memang seorang pendidik guru maupun dosen  menyadari bahwa  ilmu itu berkembang dari waktu ke waktu.

Banyak uraian dalam bukunya yang sejalan dengan pemikiran saya saat  mengajar mahasiswa di sebuah Akademi di Bandung  yang  juga  relevan diterapkan saat mengajar di sebuah SMP di kampung yaitu keterbukaan dan kemauan untuk menerima

Siswa/mahasiswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya juga kemauan untuk menyadari kekeliruan!

Dalam bukunya  pak Armand pada  pada bab 1, mengungkapkan pengalamannya dalam  hubungan Mahasiswa dengan Dosen. Dengan jujur penulis buku ini  mengungkapkan rasa  salut terhadap seorang mahasiswa yang berani mengungkapkan isi pikiran dan mengkritisi materi kuliah yang diberikannya. Hal ini tidak membuatnya marah atau merasa sok benar, malah  mengundang kepenasaran beliau untuk lebih mengenal sosok mahasiswa tersebut. Ternyata, mahasiswa tersebut pernah tidak lulus dalam mata kuliah yang diampunya dan sang dosenpun merasa layak untuk merubah nilai mahasiswa tersebut setelah mendengar argumennya yang tidak mau menjawab pertanyaan sang dosen untuk relevan dengan text book.  Mahasiswa ini tidak menyukai bentuk pertanyaan tertutup yang hanya cukup dijawab sesuai dengan teks yang ada di buku. Dengan kebesaran hatinya sebagai seorang pendidik, sang dosen ini mau menerima argumen mahasiswa tersebut.

Akhirnya mahasiswa tersebut  dinyatakan lulus..!

Hal diatas bukan perkara mudah karena umumnya dosen atau guru kerap tidak mau mengakui kritikan atau saran dari murid atau mahasiswanya.

Saya menjadi teringat saat menjadi mahasiswa sebuah Universitas Negeri di Bandung.

Saya pernah mendapat nilai D untuk mata kuliah bahasa Inggris, saya merasa ada ketidak adilan dalam penilaian meski saya sudah protes. Saya mengabaikan saran dosen wali dan teman-teman untuk memperbaikinya. Saya malah  mengontrak kembali  mata kuliah HTN/Hukum Tata Negara pada semester berikutnya padahal nilai saya sudah B.  Dosennya waktu itu memang bertanya mengapa saya mengontrak kembali mata kuliah tersebut , saya jawab saya menyukai mata kuliah ini dan memintanya untuk bisa mengikuti kembali perkuliahannya, bahkan saat ia mengajar di kelas yang berbeda. Akhirnya saya diperbolehkan. Senang benar mendapat dosen yang mau mengerti mahasiswanya.

Teringat juga saya dengan Prof. DR Idrus Affandi, waktu itu mengajar ilmu politik. Nyaris banyak mahasiswa segan dengannya. Sebaliknya dengan mereka, saya sangat suka dengan cara beliau mengajar . Saat  ujian akhir semester  semua mahasiswa di kelas saya mengikuti ujian secara tertulis. Saya mengikutinya dengan setengah hati  karena tidak puas menjawab soal secara tertulis. Banyak pemikiran saya mengenai politik yang ingin saya ungkapkan secara lisan. Akhirnya dengan rasa deg-degan saya memberanikan diri memintanya untuk menguji juga  secara lisan, dosen yang terkenal galak ini ternyata diluar dugaan ,ia tertawa  dan mengabulkan permintaan saya dengan senang hati.

Ada lagi yang menarik dari buku ini tentang hak mahasiswa untuk menolak dosen pembimbing. Semoga buku ini terbaca oleh banyak dosen dimanapun berada. Bagaimana mahasiswa dapat menyelesaikan skripsi ataupun tesis dengan baik bila tidak ada kerjasama antara keduanya?

Bukan mengada-ada, hal ini pun pernah dialami saya saat bimbingan skripsi dahulu. Saya mendapat pembimbing dua orang dosen. Saya berusaha untuk tidak dibimbing oleh salah satunya yang terkenal  sulit ditemui dan juga saya merasa tidak cocok dengan karakter dosen tersebut. Alasaan saya ditolak, saya pindah pembimbing tanpa persetujuan jurusan. Hingga suatu hari saya membaca tulisan dipapan pengumuman mahasiswa yang menyebutkan nama saya untuk menghadap ketua jurusan. Hebohlah mahasiswa satu jurusan dengan kelakuan saya.Tapi saya tak perduli, saya menghadap sekretaris jurusan dan saya ungkapkan alasan saya.  Alasan tidak diterima. Dosen senior wanita itu tersinggung. Saya diminta datang untuk meminta maap....! alamaaak... sampai segitunya!

Sayapun datang menjumpai kerumahnya untuk meminta maap namun tetap tidak mau dibimbing olehnya. Hingga keluar nada sinis yang intinya sidang saya nanti akan dipersulit . Akhirnya saya memilih jalur tuntas dalam menyelesaikan kuliah.

Saya berharap buku ini dapat membuka hati para pendidik untuk mau menerima siswa/mahasiswa dengan semua keunikannya, dengan seluruh potensi dan ide-idenya agar mereka nyaman saat belajar dan merasa dihargai keberadaanya.

Tak lupa, saya ucapkan terima kasih Pak Armand. Semoga bertambah sukses... amin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline