Lihat ke Halaman Asli

Herawati Suryanegara

Penyuka Langit, penyuka senja.

Pemilu : Saat Rakyat Memilih Setengah Hati

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Herawati Suryanegara

Fenomena yang berkembang di masyarakat dewasa ini dalam menanggapi Pemilu yang tinggal beberapa hari adalah “ Memilih daripada tidak memilih “ . Keputusan yang penuh keterpaksaan. Tidak ada keterkaitan rasa antara pemilih dan caleg yang hendak dipilh sebagai  akibat partisanship yang tidak terbina secara mendalam. Partai politik beserta caleg-calegnya hanya mendekat saat menjelang Pemilu setelah pemilu usai maka usai pula kemesraan diantara  mereka.

Komunikasi antar caleg dan pemilih yang  terbentuk sesaat  tidak meninggalkan kesan yang mendalam maka, jangan salahkan bila mereka memilihnyapun setengah hati . Partai politik   gagal membina komunikasi yang baik dengan masyarakat,  tidak memiliki Ikatan emosi  yang kuat dengan simpatisan yang menjadi sasaran pemberi suara, begitupun sebaliknya.

Seharusnya  partai politik beserta para calegnya  melakukan pendekatan-pendekatan kepada rakyat tidak hanya pada saat  menjelang pemilihan umum saja tetapi harus terjalin sepanjang masa selama partai tersebut menginginkan keberadaannya  tidak seumur jagung.

Masyarakat  semenjak era reformasi umumnya mulai melek politik. Pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elite politik sering meninggalkan mereka menjadi pemikiran yang  berlanjut. Fakta bagaimana inspirasi  yang dikehendaki masyarakat telah banyak dikhianati. Perilaku   para elite politik yang terpilih tidak sesuai harapan. Mereka  tidak menunjukan prestasi yang memuaskan selain menunjukan arogansi , manipulasi dan berkelompok dalam pemerintahan yang korup.

Kekuasaan yang diberikan rakyat seharusnya menjadi  aura positif bagi parpol pemenang pemilu untuk lebih mengerti apa kehendak rakyat  lalu menerapkannya dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat bukan menjadi  pendorong bagi napsu arogansi  dan manipulasi.Pada akhirnya  masyarakat  beranggapan  apa yang para calon elite politik butuhkan  dari mereka hanyalah  “persoalan mengejar jumlah suara “  untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan yang ditujukan untuk kepentingan dan kepuasaan segelintir orang atau kelompoknya masing-masing.

Para caleg yang mewakili partai politik tersebutpun,  dirasa kurang greget dihati masyarakat. Terbukti, semakin banyak jumlah partai politik, semakin banyak caleg yang mendaftar nyatanya dari beberapa Pemilu  tidak meningkatkan animo masyarkat untuk memilih karena jumlah Golput terus meningkat. Seperti yang dinyatakan Husni Ketua KPU Pusat pada Republika, 01 Desember 2013   tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 92,74%, Pemilu 2004 sebesar 84,07% dan Pemilu 2009 sebesar 71% .

Bila Golput pada Pemilu 2014 ini semakin bertambah maka itu jelas menunjukan kegagalan partai politik. Menurut UU no 2 th.2008 tujuan berdirinya Partai politik diantaranya adalah untuk  meningkatkan partisipasi anggota dan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

Pemilu mendatang ada baiknya , pemerintah tidak mudah dalam pemberian izin pendirian partai politik . toh, terbukti  banyaknya partai tidak mendongkrak jumlah partisipasi rakyat dalam Pemilu. Begitupun untuk Parpol agar  memiliki criteria yang tidak “ngasal” dalam menetapkan caleg-calegnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline