Oleh Herawati Suryanegara
Fenomena yang berkembang di masyarakat dewasa ini dalam menanggapi Pemilu yang tinggal beberapa hari adalah “ Memilih daripada tidak memilih “ . Keputusan yang penuh keterpaksaan. Tidak ada keterkaitan rasa antara pemilih dan caleg yang hendak dipilh sebagai akibat partisanship yang tidak terbina secara mendalam. Partai politik beserta caleg-calegnya hanya mendekat saat menjelang Pemilu setelah pemilu usai maka usai pula kemesraan diantara mereka.
Komunikasi antar caleg dan pemilih yang terbentuk sesaat tidak meninggalkan kesan yang mendalam maka, jangan salahkan bila mereka memilihnyapun setengah hati . Partai politik gagal membina komunikasi yang baik dengan masyarakat, tidak memiliki Ikatan emosi yang kuat dengan simpatisan yang menjadi sasaran pemberi suara, begitupun sebaliknya.
Seharusnya partai politik beserta para calegnya melakukan pendekatan-pendekatan kepada rakyat tidak hanya pada saat menjelang pemilihan umum saja tetapi harus terjalin sepanjang masa selama partai tersebut menginginkan keberadaannya tidak seumur jagung.
Masyarakat semenjak era reformasi umumnya mulai melek politik. Pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elite politik sering meninggalkan mereka menjadi pemikiran yang berlanjut. Fakta bagaimana inspirasi yang dikehendaki masyarakat telah banyak dikhianati. Perilaku para elite politik yang terpilih tidak sesuai harapan. Mereka tidak menunjukan prestasi yang memuaskan selain menunjukan arogansi , manipulasi dan berkelompok dalam pemerintahan yang korup.
Kekuasaan yang diberikan rakyat seharusnya menjadi aura positif bagi parpol pemenang pemilu untuk lebih mengerti apa kehendak rakyat lalu menerapkannya dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat bukan menjadi pendorong bagi napsu arogansi dan manipulasi.Pada akhirnya masyarakat beranggapan apa yang para calon elite politik butuhkan dari mereka hanyalah “persoalan mengejar jumlah suara “ untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan yang ditujukan untuk kepentingan dan kepuasaan segelintir orang atau kelompoknya masing-masing.
Para caleg yang mewakili partai politik tersebutpun, dirasa kurang greget dihati masyarakat. Terbukti, semakin banyak jumlah partai politik, semakin banyak caleg yang mendaftar nyatanya dari beberapa Pemilu tidak meningkatkan animo masyarkat untuk memilih karena jumlah Golput terus meningkat. Seperti yang dinyatakan Husni Ketua KPU Pusat pada Republika, 01 Desember 2013 tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 92,74%, Pemilu 2004 sebesar 84,07% dan Pemilu 2009 sebesar 71% .
Bila Golput pada Pemilu 2014 ini semakin bertambah maka itu jelas menunjukan kegagalan partai politik. Menurut UU no 2 th.2008 tujuan berdirinya Partai politik diantaranya adalah untuk meningkatkan partisipasi anggota dan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
Pemilu mendatang ada baiknya , pemerintah tidak mudah dalam pemberian izin pendirian partai politik . toh, terbukti banyaknya partai tidak mendongkrak jumlah partisipasi rakyat dalam Pemilu. Begitupun untuk Parpol agar memiliki criteria yang tidak “ngasal” dalam menetapkan caleg-calegnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H