Mau berangkat haji, semenjak renovasi Masjidil Haram pada tahun 2013 pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan pemotongan kuota haji sebesar 20% kepada setiap negara, tak terkecuali Indonesia. Kuota jemaah haji Indonesia sebelum pemotongan 20% berjumlah 211.000 orang, terbagi dalam dua katagori, 194.000 jemaah haji reguler, sisanya 17.000 haji khusus. Setelah kebijakan pengurangan 20% menjadi 168.800 orang terbagi dalam dua sesi, 155.200 jemaah haji reguler, sisanya 13.600 haji khusus.
Dengan pengurangan kuota tersebut, akibat dari perbaikan Masjidil Haram, banyak calon jemaah haji Indonesia yang harus menunggu puluhan tahun untuk bisa berangkat ketanah suci. Begitu lamanya waktu tunggu untuk berhaji tersebut, berseliweran cara cara bagai mana bisa berangkat untuk tidak menunggu terlalu lama. Apakah dari si calon itu sendiri mencari celah, atau bisa jadi dari oknum intansi terkait menawarkan celah untuk bisa berangkat dengan waktu sesuai tawaran. Wallahualam.
Namun paktanya, tidak sedikit oknum ataupun agen perjalanan haji yang memanpaatkan situasi ini guna mencari keuntungan semata. Tanpa sedikitpun mencari ibadah, yang ada dibenaknya ... uang, uang....untung. Dimana kuota negara lain diolah dan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan semata, tanpa memikirkan dampak dan resiko yang begitu besar terhadap jemaah haji yang diberangkatkan. Beruntung negara tersebut begitu tinggi toleransinya, dan perjuangan yang gigih dari pemerintah, sehingga jemaah haji yang menggunakan paspor negara lain terbebas dari sanksi hukum keimigrasian yang berlaku dinegara tersebut. Dan yang lebih bersyukur jemaah tersebut pulang dengan selamat dalam lindungan Tuhan. Maaf..... bila terjadi sesuatu kecelakaan ( maaf) terbayang, betapa sulit dan rumit mengurus data guna keperluan investigasi ataupun asuransi, karena orang Indonesia datanya kok orang negara lain. Rasa sedih kecewa pastinya dirasakan juga bagi jemaah yang tertahan dinegara lain dan harus kembali sebelum menginjak tanah suci.
Berhaji.... merupakan tahapan tertinggi bagi umat Islam yang memiliki kemampuan, baik financial, mental, dan jasmani. Dan sebahagian orang tentunya suatau kebanggan tersendiri pula begitu pulang diberi lebel pak haji ataupun bu hajah oleh tetangga dan kerabatnya. Tak jarang pula sebahagian orang bangga lebel hajinya tertulis di depan namanya. Namun tidak jarang pula sebahagian orang yang berhaji begitu risih bila harus dikaitkan dengan lebel pak atau ibu haji terhadap dirinya, bisa berangkat haji dan pulang dengan selamat sudah suatu nikmat syukur yang tak terhingga. Karena hanya Iman, ketaqwaan dan perbuatannya lebel haji tersemat sempurna tanpa harus disebut atau tertulis didepan namanya. Namun orang-orang menyebutnya atau menyematkan lebel haji tak lain suatu penghargaan buat yang bersangkutan. Bahwa orang tersebut telah melewati tahapan rukun Islam yang akhir, yang belum tentu orang bisa melewatinya, sekalipun dia mampu dan cukup dalam syarat haji.
Bagi yang sudah menjalankan haji, katanya itu adalah suatu yang menyenangkan dan menggembirakan, dan hasrat untuk menginjak tanah suci kembali sangatlah tinggi. Namun dalam menjalankan berhaji, ada ada saja jemaah yang terkadang membuat orang geleng kepala, apakah ini tradsisi, kebiasaan atau memang dari pada susah nanti disana ( Tanah Suci ). Yaitu tidak sedikit jemaah haji membawa perbekalan yang sebetulnya malah bikin repot dan bisa bikin suasah nantinya. Dari perbekalan yang membludak dengan isi yang terkadang aneh, panci, wajan, juga beras, walau tidak banyak, ulekan cabe sampai ada yang membawa jimat segala, sampai harus berurusan dengan aparat setempat. Bahkan ada yang membawa obat kuat berupa alkohol dari hasil permentasi beras ketan hitam yang dimasukan dalam botol. Begitu ditanya petugas haji, alasan membawa minuman ini untuk obat kuat supaya badan segar dan energik. Belum lagi lauk kering sampai sambal terasi hingga rice cooker agar bisa masak secara instan pada saat perut tidak bisa diajak kompromi diluar jam tertentu. Nah... akhirnya tak jarang pula barang bawaan tersebut disita atau diamankan oleh awak pesawat atau petugas haji karena berlebih bobot dari yang seharusnya, atau bisa jadi takut membahayakan didalam pesawat. Bukankah ini mubajir dan buang buang percuma. Tapi inilah uniknya jemaah haji kita, sesuatu yang menjadi kebiasaan berbekal kemanapun pergi, menjadi kahurusan juga pada saat berhaji, padahal itu sudah dihimbau dan dilarang, untuk membawa perbekalan sesuai aturan dan yang diperlukan saja. Bukankah ini tradisi/kebiasaan yang bikin repot,.....
Dan yang menghebohkan lagi, tradisi yang selama ini berjalan. Tradisi antar jemput haji, dari keluarga ataupun kerabat, tetangga. Berpuluh orang dengan berbagai tumpangan atau kendaraan. Bahkan ada yang seolah bedah desa hanya sekedar mengantar sicalon haji yang hanya satu atau dua orang, apalagi bila calon haji tersebut adalah tokoh masyarakat yang disegani. Akibatnya... banyaknya para pengantar, sudah diduga macet, semerawut, bahkan bisa mungkin terjadi kisruh, karena para pengantar berebut ingin yang dahulu berada ditempat pada tempat yang tidak mencukupi menampung orang sebanyak itu, selain jemaah haji.
Tradisi antar jemput haji sampai seperti bedah desa, dipertahankan atau memang harus seperti ini ....... tidak sedikit kejadian antar penjemput akibat saling dorong berebut posisi menjadi ribut, aparat sendiri kewalahan untuk mengambil tindakan. Sesungguhnya mungkin si calon haji dibenaknya biasa saja, bahkan tidak mau diantar yang berlebihan seperti menunjukan kesombongannya, tetapi dari sisi keluarga yang lain yang memaksa harus diantar sesuai tradisi yang sudah turun temurun. Apakah jika memang ini tradisi yang harus di jalankan.... ?
Betul....seorang berangkat haji tetap butuh dukungan moral, doa, itu sudah pasti. tetapi apakah harus dengan gaya bedah desa ... Sungguh memang, seseorang yang berangkat haji, adalah berperang, perang dalam kemenangan bisa menjalankan rukun Islam yang tertinggi. Perang melawan iman yang tetap harus dimenagkan ketika pulang berhaji. Perang terhadap kepasrahan dalam keikhlasan yang hakiki. Dan perang untuk tetap harus tawakal dalam iman dan perbuatan. Dan perang apakah bisa kembali dengan selamat atau harus menerima ajal, meninggal ditanah suci. Mungkin apakah ini salah satunya yang menjadikan tradisi antar jemput yang berlebihan.
Mungkin masih perlu waktu panjang untuk dapat meminimalisir tradisi antar jemput ini. Siapa tahu tahun berikutnya, keberangkatan haji lebih efisien dan bagi si calon haji tidak direpotkan, dari keluarga si calon hajipun tidak perlu repot-repot. Calon haji tidak perlu diantar jemput oleh keluarga, panitia haji apakah dari agen perjalan ataupun intansi terkait yang akan mengantar jemput. Calon haji dan keluarga cukup menunggu dirumah, dan mungkin akan lebih leluasa untuk melepas beban dan doa kepada sicalon haji, sambil menunggu petugas haji yang menjemput. Dan segala perbekalan yang tidak memenuhi aturan bisa langsung di tinggalkan. Sehingga tidak mubajir, bisa dimanpaatkan oleh keluarganya.
Semoga para jemaah haji yang baru pulang, mendapatkan apa yang menjadi doanya... yaitu MABRUR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H