Lihat ke Halaman Asli

Aku Begini Lantaran Aku Janda Beranak Satu

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sesunguhnya aku tak mau kerja begini lantaran aku orang melarat aku terpaksa menjual diri. Sebut saja namaku Tarilem, umurku 40 tahun asal Jogjakarta. Aku telah puluhan tahun berada di perkampungan rembulan malam. Kerjaku setiap hari berprofesi sebagai wanita pekerja seks (WPS), menjual kenikmatan kepada lelaki hidung belang. Walau aku sudah tak muda lagi tapi aku masih punya pelanggan setia.

Memang ini rejeki macan kadang dapat kadang tidak, mungkin lantaran aku sudah tua dan kalah saingan dengan yang muda tapi ada saja yang datang menemuiku untuk meminta kenikmatan dariku yang sudah di ubun-ubun. Kerja begini bagiku gampang sekali mendapatkan uang sehingga aku mampu membiayai sekolah anakku yang sengaja aku tinggalkan di Jawa.

Aku tak mau menceritakan sejarah hidupku yang kelam apalagi menceritakan gagalnya aku membina rumah tangga, aku pisah dan memiliki satu anak. Hidupkku terkekang bersama mantan suamiku pemarah dan sering memukul, tak enak rasanya hidup begitu, sudah melarat ditambah dengan perilaku suami yang bengis. Dan akhirnya aku memutuskan pisah dengannya dan tinggal dirumah orang tuaku.

Menjadi janda itu tak enak sering mendapat gunjingan dan fitnah yang terus menerpaiku setiap harinya. Sehingga hal ini menjadi badai yang tak kunjung selesai bagi ketenangan hidupkku. Hal ini membuatku tak betah ada di tanah kelahiranku. Sementara hidupku telah melarat ditambah dengan gunjingan-gunjingan disekelilingi rumahku.

Aku tak tahan, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kampungku dan meninggalkan anakku satu-satunya dan tinggal bersama orangtuaku. Pada awalnya Aku bekerja di Kalimantan di sebuah pabril playwood, tapi disana aku tak bertahan lama lantaran sangat jauh dari anakku dan penghasilannya jauh dari cukup untukku dan anakku. Aku berhenti dan mulai uring-uringan, entah kenapa tak lama kemudian aku bertemu dengan seorang teman yang mengajakku kerja di luar kota, aku ikut lantaran penghasilannya yang begitu menggoda imanku.

Sejak saat itulah aku memulai profesi sebagai wanita pekerja seks, Aku merantau dan siap digerayangi para pencari kenikmatan, pikirku aku juga janda jadi aku sudah paham caranya. Seharinya aku mampu melayani lima pria, tergantung daya tahan mereka. Aku tak pernah mendapat perlakuan buruk dari pelangganku. Cuma yang sering terjadi mereka menggerutu lantaran ‘tak tahan lama’. “Rugi aku mbak sudah bayar tapi mainnya bentar, begitulah tutur beberapa konseumenku”. Tak perlu aku ceritakan detailnya, hari demi hari aku lalui seperti ini dan syukurlah aku mampu mencukupi keperluan anakku walau aku jarang pulang lantaran jauh dari kampungku. Sehingga memasuki masa sepuluh tahun aku disini.

Betapa beratnya menjadi seorang ibu, walau batinku tertekan tapi aku harus menjalani profesi ini buat anakku tercinta, biarlah dia tinggal bersama ibuku disana sampai aku telah benar-benar menetap di tanah kelahirankku melihat anakku tumbuh dewasa, cerdas, sukses dan hidup berumah tangga yang utuh dan tak melarat. Harapan seperti inilah yang membuatku tetap menjalani profesi ini, sungguh aku benar-benar terpaksa karena aku tak ingin melihat anakku melarat seperti ibunya.

Keluarga dan anakku tidak mengetahui profesiku sesungguhnya taunya aku kerja di sebuah pabrik. Memang banyak orang kampungku ingin ikut merantau bersamaku, tapi tak pernah aku izinkan. Karena pikirku cukuplah diriku yang merasakan kenistaan, tak sanggup aku menjerumuskan mereka ke dalam dunia hitam ini. Biarlah-biarlah diriku saja dan jangan mengajak orang lain.

Suatu saat aku akan meninggalkan pekerjaan ini dan buka usaha, tapi tak tahu kapan. Entah kenapa aku masih setia dengan pekerjaan nista ini. Mungkin karena terbiasa atau hawa imanku sudah tertutup rapat. Ah! aku tak mau memikirkan itu malah membuatku tambah pusing sementara anakku butuh biaya buat sekolah dan keperluannya. Anakku sekarang kelas dua SMP manis dan pakai jilbab namanya Umilatifa, aku telah meninggalkannya sewaktu masih usia SD kelas satu. Sekarang aku sudah tidak muda lagi melihat umurku 40 tahun. Aku tak ingin jadi mami atau germo yang menjebak orang-orang dalam kenistaan dan menetap disini selamanya.

Sejak tahun lalu aku sering pulang setiap setiap tiga bulan sekali untuk melepas rasa rindu kepada keluarga dan anakku serta menitipkan sejumlah uang kepada orangtuaku untuk bekal hidup anakku setiap harinya serta biaya sekolahnya. Ia begitu manis dan pintar sayang kalau ia tahu kalau ibunya berprofesi sebagai WPS.

Aku ingin ia menjadi orang sukses tak seperti ibunya yang mengais rejeki di dunia kelam. Aku ingin masa depannya jelas dan membangun rumah tangga yang sejahtera tidak melarat seperti keluargaku dulu.

Biarlah dia tinggal bersama ibuku disana sampai aku telah benar-benar menetap di tanah kelahirankku melihat anakku tumbuh dewasa, cerdas, sukses dan hidup berumah tangga yang utuh dan tak melarat. Harapan seperti inilah yang membuatku tetap menjalani profesi ini, sungguh aku terpaksa benar-benar terpaksa karena aku tak ingin melihat anakku melarat seperti ibunya.

Aku tidak gila dan sadar apa yang aku lakukan. Aku jadi janda dan seolah dunia menertawai hidupku hingga terasa hina. Sebenarnya aku senang tinggal diperkampungan rembulan malam ini mereka tak usil seperti di kampungku dulu, tak ada yang menggunjing dan tak ada yang fitnah. Ini caraku mencari nafkah hidup, kalau ada yang bilang nista dan sebagainyasemuanya itu tiada arti bagiku, cuma bisa tersenyum. (and)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline