Lihat ke Halaman Asli

Opini Seorang Anak Tentang Freeport

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disclaimer: Ini adalah murni opini saya, tidak ada masukan apapun dari pihak lain tentang ini. Semua yang akan saya tulis berdasarkan dari pengalaman pribadi dan observasi saya. Ya, saya ingin menyajikan opini PT Freeport Indonesia dari sisi koin yang berbeda. Tahan dulu amarah dan sikap skeptikal Anda terhadap perusahaan ini, simak dulu baik-baik. Saya tidak ingin memperkeruh suasana, tapi saya ingin melemparkan pendapat saya. Saya harap ini bisa memberikan persepsi yang sedikit berbeda. Selamat Membaca.

Sebagai Perusahaan yang telah berinvestasi di Indonesia selama lebih dari 30 tahun, PTFI telah melalui banyak asam garam dunia pertambangan di Indonesia. Hujatan, Sanjungan, Caci maki, Harapan, semua sudah ditelan baik-baik oleh PTFI. Bukan hanya dari pihak luar dan media saja, tetapi dari dalam juga. Kehadiran PTFI, boleh menjadi salah satu contoh dimana manusia tidak pernah merasa puas. Dimana sebagai karyawan, selalu ada yang tidak mengena, selalu merasa ketidak adilan itu ada, dan dimana sebagai seorang pengamat dari media dan sebagai rakyat awam, kehadiran PTFI dilihat sebagai pemeras kekayaan alam Indonesia yang tidak ada habis-habisnya.

Setelah belajar lebih lanjut, satu hal yang perlu saya tekankan, PTFI tidak dibangun semudah apa yang kita bisa lihat sekarang. Bertahun-tahun digunakan untuk eksplorasi, mengumpulkan dana, meminta ijin resmi Pemerintah Indonesia dan juga untuk membangun tahap awal pertambangan. Dengan medan yang cukup sulit, saya salut kepada pionir-pionir PTFI yang rela bekerja dalam medan yang tidak menentu. 30 tahun dari saat itu? Keadaan dalam lingkungan area kerja terlihat lebih bersahabat.

Saya tumbuh besar di lingkungan kerja PTFI. Baik di Tembagapura maupun Kuala Kencana. Suka dan duka  saya lalui dan untuk melihat kembali ke belakang, I am blessed. Dalam masa lima tahun di Kuala Kencana, saya mendapat sahabat-sahabat yang sudah saya anggap saudara sendiri. Bagi setiap anak-anak YPJ (sekolah untuk WNI di area jobsite), kelas 9 bukan hanya kelas yang paling susah karena UAN, tetapi kelas yang paling emosional karena selepas kelas 9, semua akan melanjutkan pendidikan masing-masing ke tempat lain. Kalau masih bertemu dengan sahabat-sahabat yang lain, syukur. Kalau tidak, apa boleh buat. Rata-rata kami semua mengenal satu sama lain dari Taman Kanak-Kanak. Suka duka dilalui bersama. Masa-masa genting beranjak puber dilewati bersama.

Sudah menjadi 'tradisi' bagi anak-anak kelas 9 untuk mengunjungi area tambang setelah UAN  selesai. Study Tour untuk mengenal lebih dekat dimana area kerja dan apa sebenarnya yang Ayah kami kerjakan memberikan pengetahuan lebih lagi tentang PTFI. Enam tahun lalu, saya beruntung karena dari pihak Environmental dan dari pihak Safety Department sangat berantusias dalam memberikan kegiatan pasca UAN. Tidak hanya kunjungan ke Grasberg, kami mendapat tambahan kegiatan berkunjung ke area reklamasi dan juga Port Site, area pelabuhan untuk melihat lebih lanjut bagaimana PTFI berusahan memperbaiki dan meningkatkan keadaan lingkungan sekitar. Kami diajak melihat bagaimana mereka mengolah tailing untuk berkebun, hasilnya ada dua petak yang harus kami olah dan tanami Cabai dan Tomat. Kami juga diajak untuk melihat habitat ekosistem di area hutan bakau dan bereksplorasi di area Hutan Bakau. Sebagai kejutan terakhir, kami mendapat kesempatan untuk menjadi angkatan pertama di sekolah dan di area kerja untuk Out Bond, dan berkemah di sekolah beberapa hari, benar-benar terisolasi dari dunia luar.

Tidak hanya bertujuan untuk membekali kami dengan pengetahuan tentang perusahaan yang 'membesarkan' kami, pihak-pihak penyelenggara juga bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan persahabatan antara anak-anak di Tembagapura dan Kuala Kencana. Saya pribadi merasa ini kesempatan reuni dengan kawan-kawan SD saya yang masih tinggal di Tembagapura. Persahabatan terjalin, pengetahuan bertambah, semua senang dan tersenyum.

Saat keluar dari lingkungan kerja, saya menyadari bahwa area tempat tinggal saya merupakan area tempat tinggal ideal yang sebenarnya cukup mengagumkan karena pada akhirnya, area ini nyata dan ada di Indonesia. Saya makin terekspos dengan segala macam berita negatif tentang PTFI. Naluri pertama saya tentu saja untuk memihak kepada PTFI. Saya sadar bahwa sebagai anak yang bertumbuh di tempat terpencil, pengalaman saya tidak semenarik anak-anak lain yang tumbuh di Jakarta, Surabaya, Makassar dan lain sebagainya. Tetapi saya bersyukur karena kami diberikan pendidikan yang layak, saya mendapat guru Bahasa Inggris yang tahu betul bagaimana cara mendidik anak-anak Indonesia untuk mengetahui dan mengenal bahasa ini dengan baik. Saya mendapat kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak expatriat yang tinggal di area kerja, saya dapat bergabung dalam grup 'Tap and Jazz'  mereka. Bangun pagi dengan sambutan sinar mentari yang cerah dan siulan riang burung-burung di hutan. Burung Kakatua dan Ranggong? Hiburan lokal setiap hari.

Saya pernah dicemooh melalui seseorang dalam dunia maya karena menurut beliau saya terlalu naif dan sudah 'dicuci otaknya'. Well, say what you wanna say Sir, tapi saya ingin tahu pendapat beliau kalau beliau mengunjungi Kuala Kencana. Saya beruntung dapat melanjutkan SMA saya di luar negeri. Disana, saya bertemu dengan kawan-kawan dari Tembagapura, yang notabene adalah anak-anak 7 Suku yang berhasil mendapatkan beasiswa dari PTFI. Tidak tanggung-tanggung, beasiswa penuh ditanggung, uang saku diberikan, tiket pulang-pergi dua kali setahun diberikan. Bagi mereka yang belajar dengan baik dan berusaha optimal masih ada di Australia sampai sekarang, masih dalam beasiswa dan masih belajar untuk nantinya pulang dan membangun Papua.

Banyak yang selalu bilang kekayaan orang Indonesia direngguk orang asing. Ok, mereka datang dan membuka lahan pekerjaan. Karyawan Indonesia banyak dan bisa dibilang kebanyakan dari mereka, yang tahu mengolah pendapatan dengan baik, sekarang hidup makmur. Non-staff maupun staff.  Pendapatan yang diterima sudah bersih dipotong pajak. Dana 1% yang PTFI janjikan untuk masyarakat disalurkan kepada lembaga-lembaga yang berwenang.

Saya ingat dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Pemerintah Indonesia bertanya, kemana pajak yang dibayar dari PTFI? dan kenapa PTFI terkesan selalu berusaha sepihak dalam membangun masyarakat lokal. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Juru Bicara PTFI dengan bijaksana. Tetapi ini jawaban mentah yang akan saya berikan. Semua urusan pajak dan semua urusan dana bagi masyarakat lokal telah PTFI berikan kepada instansi-instansi terkait. Seharusnya, yang disorot disini bukan PTFI, tetapi Pemerintah Indonesia dan oknum-oknumnya yang mungkin dalam proses penerimaan dana menjadi 'lapar' saat melihat banyaknya angka '0' dalam cek.

Setiap kali pulang ke Papua, saya selalu menemani Ibu saya dalam membantu anak-anak asrama sekitar. Hati saya selalu terenyuh jika melihat Asrama Putra untuk anak-anak 7 suku yang anggarannya sebenarnya lebih dari cukup untuk menyokong biaya hidup, memperbaiki kondisi asrama, dan juga menyediakan gizi yang lebih memadai. Tetapi sayang, anggarannya tidak tahu bersembunyi dimana. Anak-anak ini harus tinggal di kamar yang panasnya minta ampun, kamar mandinya 'ijo butek', makan pun seadanya. Asal bisa makan nasi dan indomie saja sudah syukur. Ibu saya membantu ibu-ibu expatriat yang tinggal di Tembagapura untuk menyalurkan bantuan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline