Lihat ke Halaman Asli

Gabryella Sianturi

Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Mbah Kemih, 50 Tahun Berjualan Nasi di Sudut Pasar Demangan Yogyakarta

Diperbarui: 29 Juli 2020   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Kemih saat berjualan nasi di Pasar Demangan, Yogyakarta. Sumber: dok.pribadi

Berdagang adalah kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Tetapi, sering kali ketika keuntungan itu tidak hadir, banyak orang yang perlahan mundur dan berhenti. 

Berbeda dengan Kemih (79) yang kerap disapa Mbah Kemih, beliau memiliki prinsip yang unik. Baginya, berdagang tidak perlu terlalu mempermasalahkan untung dan rugi. Selama masih bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, disiplinlah yang menjadi kunci utamanya. Mbah Kemih adalah seorang pedagang nasi di Pasar Demangan, Yogyakarta. 

Beliau sudah berjualan nasi sejak 50 tahun yang lalu di sudut Pasar Demangan tersebut. Bermodalkan kursi lipat dan meja pendek, beliau selalu menata dagangannya dengan rapi. Sejak 50 tahun lalu, hingga kini beliau selalu berdagang seorang diri sekalipun ketika suaminya masih hidup 20 tahun silam.

Usia Mbah Kemih yang sudah tergolong tua tidak melunturkan semangatnya untuk tetap berjualan. Setiap pukul tiga pagi, beliau bangun untuk memasak makanan yang akan didagangkan. Anaknya mengambil alih untuk urusan memasak karena Mbah Kemih merasa sudah tidak terlalu kuat lagi. Mbah Kemih hanya dapat membantu meracik bumbu-bumbu yang akan direbus dan digoreng. 

Setelah masakan selesai, Mbah Kemih menggunakan becak untuk mengantarkannya ke Pasar Demangan. Beliau berangkat pukul lima pagi menuju Pasar Demangan, dan setibanya di sana Mbah Kemih akan dibantu oleh tukang becak untuk mengangkat dagangannya.

Mbah Kemih berdagang setiap hari dari pukul lima pagi sampai pukul satu siang. Beliau juga mengeluarkan uang Rp25.000 untuk menyewa lapak per hari. Makanan yang didagangkan oleh Mbah Kemih bermacam-macam, mulai dari semur jengkol, ceker ayam, perkedel, tempe dan tahu bacem, serta bakmi. 

Khusus untuk nasi, pembeli bebas ingin membeli dengan harga berapa dan Mbah Kemih yang akan menentukan porsinya. “Nek punya lima ribu aja ya nda apa-apa, mbah kasih yang penting orang bisa makan,” ujar Mbah Kemih saat diwawancara di Pasar Demangan pada Kamis (28/11/2019). Menurut Mbah Kemih, cara dagang seperti itulah yang membuat para pembeli gemar membeli dagangannya.

Mbah Kemih juga mengaku hampir semua pedagang di Pasar Demangan mengenal baik dirinya. Selain karena sudah sejak lama di sana, beliau senang berbagi makanan ketika dagangannya tinggal sedikit. “Mbah nih baik banget e, Mbak, kalau tempe bacemnnya tinggal tiga lagi pasti dikasih ke aku,” ujar Surni (28), pedagang telur ayam yang berlapak di seberang lapak Mbah Kemih.

Tetapi, kebaikan dari Mbah Kemih tersebut tidak membuatnya justru merasa merugi. Baginya, ketika berdagang tidak perlu mempermasalahkan untung dan rugi. Selama masih dapat dipakai untuk makan dan kebutuhan yang lain, hal tersebut tidak menjadi masalah selama tetap disiplin berjualan. Oleh sebab itu, Mbah Kemih tidak tahu menahu soal berapa pendapatannya per hari karena beliau tidak ingin menghitungnya. 

Ketika mbah Kemih sakit, beliau juga tidak pernah mempermasalahkan biaya pengobatan. "Nek ada ya udah berbobat, nek ndak ada ya tinggal kerok di rumah," ujar Mbah Kemih. Prinsip disiplin dalam berjualan seperti itulah yang selalu ditanamkan mbah Kemih, pedagang nasi kelahiran 1940  yang masih bertahan hingga kini di sudut pasar Demangan, Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline