Terdapat sekitar satu setengah jam pada hari ini ditemani oleh jalanan yang hiruk pikuk, bertemu dengan banyak pejalan kaki, asap kendaraan, panasnya terik matahari, berhenti di berbagai shelter, hingga berjumpa dengan ganggangan trans jogja akibat banyaknya penumpang di jalur 1 A.
Inilah yang saya alami pada hari ini, di tengah perjuanganku melawan segala arus kemalasan dan memutuskan untuk melangkah pada jalur yang penuh dengan asa yang gilang gemilang. Aku telah melihat perjuangan mereka pula, berbagai kendaraan yang saya temui membuat saya merasa bahwa kejamnya para masyarakat yang turut berkontribusi dalam memanaskan bumi. Tapi ini pemikiran saya ketika saya menjadi pejalan kaki, tatkala saya menjadi pengendara motor, saya merasakan, saya dan mereka berjuang setengah mati untuk dapat menerobos di tengah keramaian agar dapat cepat kilat tiba di tempat tujuan.
Pemikiran itu telah membawa saya tiba di sebuah shelter, tempat saya menanti bus dengan jalur 4A, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, baiklah, mari bersabar. Sesaat kemudian, gaungan suara khas bus/trans jogja tersebut meneriakiku, dengan segera saya dapat mendapatkan tempat duduk dengan amat mudah.
Setelah ini, saya harus berpindah bus dengan jalur 1A, pikirku. Ya, di 1A itulah saya berjumpa kembali dengan ganggang2 yang memaksaku untuk berdiri sejenak. Baik, inilah perjuangan itu, mari pulang!
Ketika melihat orang2 di sekeliling, rasanya ajaib sekali, mereka ini mungkin adalah orang pertama yang saya jumpai, setelah 1A ini berhenti di shelter janti utara, setelah saya meninggalkan para ganggang ini, entah kapan lagi saya berjumpa kembali dengan mereka. Ketika suatu hari berjumpa kembali, mungkin perasaan ini kembali muncul, mungkin saya merasa mereka adalah orang baru bagi saya, padahal sangat memungkinkan mereka pernah saya temui sebelumnya.
Dan... tiba2 seorang pria bertubuh besar dengan senyuman khas di bibirnya, membuat saya tersentak. Aha, saya kenal pria ini, saya kenal postur tubuhnya, saya kenal senyuman manisnya. Dia dosen ku, tepatnya dosen kewarganegaraan, dosen yang dahulu sering membandingkan mahasiswa satu dengan yang lain. Dosen yang suka memberikan bahan belajar berlembar-lembar yang bagi kami telah menelan banyak kayu Indonesia.
Saya lupa namanya, lama berpikir sambil berharap ia dapat menoleh padaku dan memberikan senyum manisnya kembali, ah.... Sayang... dia pasti lupa dengan wajahku.
Janti utara, tiba! Saatnya pulang dan memikirkan kasur yang telah menanti, namun sesekali, melirik ke arah si dosen, dan.. dia menengok juga, terbelalak juga dengan kehadiranku, sama-sama menebarkan senyum yang diiringi tawa, saya melambai-lambai tangan saya, dan dia menepuk tangan saya seperti dahulu kala. Saya masih berusaha mengingat namanya. Perjumpaanku dengannya, entah kapan kita berjumpa lagi, akankah itu perjumpaan terakhir? Dan hingga sekarang tidak pula saya menanyakan namanya kepada teman lain, mungkin besok, saya juga sudah melupakan perjumpaan itu, dan selamanya melupakan namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H