Minggu lalu saya diberi kesempatan untuk menapakkan kaki di negara tetangga yaitu Singapura dalam rangka Studi Ekskursi. Kebetulan tiap kali travelling biasanya saya selalu menggopoh kamera DSLR kemana-mana. Berhubung di sana saya diharuskan untuk banyak berjalan kaki, mengingat Singapura merupakan negara yang sangat melestarikan pedestrian dalam konsep urban design-nya, akhirnya niat untuk membuat bawaan praktis pun terlintas. Dan salah satunya saya memutuskan untuk tidak membawa tas kamera DSLR saya beserta sebuah lensa yang cukup berat di dalamnya. Namun hanya membawa kameranya saja lalu saya kalungkan di leher, sesekali digantungkan di pundak. Sehingga pada saat saya ingin mengambil foto, tidak perlu repot-repot membuka-tutup tas kamera. Alhasil, jadilah saya yang asik berjalan-jalan dengan membawa kamera tak berbusana.
Pada hari terakhir, saya dan beberapa teman menyempatkan diri mengunjungi satu area di Singapura yaitu Kampung Malay atau biasa dikenal dengan Kampong Glam. Kampung tersebut menyuguhkan kami sebuah pemandangan pusat warisan Melayu dan Heritage yang melestarikan bangunan-bangunan budaya lama, namun penataan ruang terbukanya sudah dirancang dengan sangat menarik dan nyaman, sehingga mengundang para wisatawan untuk tidak sekedar datang dan berkunjung namun juga berfoto-ria.
[caption id="attachment_300616" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana salah satu koridor di Kampong Glam (dok.pribadi)"][/caption]
Yang tidak dapat dilewatkan ketika berjalan di area tersebut adalah pemandangan arsitektur sebuah kubah emas megah Masjid Sultan di Muscat Street yang juga menjadi objek foto terlaris. Tak jauh dari Masjid Sultan tadi, kami menemukan sebuah koridor jalan dengan pengaruh Arab paling kuat. Jalan ini digunakan sebagai area komersil yang menjual dagangan-dagangan seperti pakaian atau tekstil, syal, gantungan kunci sampai replika miniatur artefak Melayu.
Tak terasa setelah beberapa lama berkeliling, lelah dan rasa lapar pun menghampiri. Tak perlu mencari-cari, tepat di depan Masjid tadi terdapat deretan wisata kuliner yang dapat kami pilih. Dari makanan khas Arab sampai yang sangat sudah biasa, restoran padang khas Indonesia. Berhubung teman-teman agak kurang cocok dengan makanan-makanan khas Arab tersebut, akhirnya kami memilih makanan Padang.
Di resto padang kali ini sistemnya seperti prasmanan. Jadi kita memilih makanan dan langsung membayar di kasir. Karena itu saya belum meletakkan bawaan saya termasuk tas dan kamera. Kamera masih saya gantungkan di pundak kiri. Suasana di sana tidak terlalu ramai namun tepat di sebelah kiri saya terdapat sepasang suami-istri paruh baya asal Indonesia yang hendak ke kasir. Yang saya ingat dari ibu itu hanya mengenakan blouse merah, dan Bapak itu berkacamata, rambut tebal setengah beruban dan mengalungkan kamera DSLR juga.
Ketika saya sedang sibuk memilih menu makanan, tiba-tiba saya merasa hentakan dari kamera yang saya bawa. Seperti ada yang mendorong atau terbentur sesuatu. Lalu saya melihat kamera saya, dan saya tahu betul bahwa tutup lensa saya tidak ada. Saya reflek melihat ke lantai untuk mencari tutup lensa saya, namun Bapak yang membawa DSLR tadi juga sudah lebih dulu membungkuk dan langsung mengambil tutup lensa dekat kakinya dan memasang di kameranya.
Aku memandang ke arah bapak tadi dengan aneh. “Ah, ini tidak benar, itu milikku,” fikirku. Lalu saya dengan berani bilang, “Maaf Pak, itu kayaknya tutup lensa saya, Pak.” tanyaku penasaran. “Oh ya? Sebentar saya lihat punya saya dulu ya.” jawab bapak tadi dengan kikuk dan berlaga merogoh-rogoh isi tas kameranya. Sebelum sempat iya berbicara lagi, istri bapak itu bertanya heran, “Lohh, punya bapak mana??” Bapak itu mengabaikan pertanyaan istrinya dan kembali berkata padaku. “Wah, punya saya tidak ada,” katanya. Tak berapa lama, tiba-tiba datang seorang wanita berkerudung juga sekitar umur 30 tahun, tak lain dan tak bukan Ia adalah putri bapak ibu tadi. Dengan suara lantang iya berkata, “Ada apa ini? Ada apa sih???” tanyanya penasaran melihat kedua ortunya berbincang dengan orang asing.
Mendengar bapak itu mengatakan kalau lensa itu miliknya, akhirnya saya menjawab “Oh, iya pak.” dengan pasrah. Lalu saya pergi dan menyudahi perbincangan itu. Saya yang terputus ketika memilih makanan, kembali memesan dan segera ke kasir. Sesampainya di meja makan, saya diiringi oleh rasa penasaran dan keyakinan kalau tutup lensa itu benar milik saya. Hendak makan, namun tak selera. Sesuatu mengganjal di pikiran dan hati saya. Saya menceritakannya pada teman-teman di meja dengan meluap-luap. Saya yakin betul itu milik saya. Pada saat itu di otak saya terjadi adu mulut. Apakah saya harus relakan dan menyisihkan beberapa ratus ribu untuk tutup lensa itu, atau kembali lagi pada bapak tadi. Apalah arti nominal tadi disbanding kebenaran yang mengganjal.
Belum sempat saya menyendok sesuap nasi, saya berdiri berjalan hendak menghampiri meja bapak tadi. Mejanya cukup jauh dan kami terhalang tembok. Dia di ujung kanan, saya di kiri. Saya berjalan dengan yakin ke meja dengan isi 3 orang namun tidak ada anak perempuannya. Saya melihat bapak itu sedang asik makan dan dua ibu-ibu yang sedang mengobrol. Saya yang penasaran akhirnya berdiri di sebelah meja bapak itu. “Maaf pak, tutup lensa tadi itu punya saya Pak bukan punya bapak.” kataku tegas dan yakin tanpa memedulikan dua ibu yang menatap aneh pada saya. Tanpa melirik sedikit pun ke arah saya, bapak itu menjawab sambil mengambil tutup lensa. “Oh, iya ya.” sambil memberikan tutup itu kepada saya dengan sedikit kasar dan hentakan keras ke meja. Bapak tadi tidak melihat ke arah saya sama sekali. Tanpa berucap terimakasih, setelah saya berhasil mengambil tutup itu, saya pergi meninggalkannya.
Hati saya lumayan tenang, walau masih tidak habis pikir dengan bapak tadi. Kalau bapak tadi yakin itu miliknya, tidak mungkin Ia akan mengembalikan tutup tersebut. Lucunya, Ia mengembalikan tanpa berani sedikit pun menatap saya. Ya, begitulah. Kesempatan gak melulu dalam kesempitan. Di tempat umum dan terang-terangan saja bapak itu masih berpikiran picik untuk merencanakan mengambil milik orang lain. Ya, toh? Aku berfikir bahwa bapak tadi sengaja mencolek pembuka lensa saya dan mengarahkan ke dekatnya ketika saya sedang sibuk tadi. “Ah, sudahlah. Mungkin saya harus lebih berhati-hati dengan sekitar dan barang bawaan.” fikirku. Lebih baik berfikir positif daripada harus memikirkan strategi bapak tadi kurang jitu. He-he. Namun saya tak menyangka saja, di negara yang super aman ini saya nyaris dibohongi oleh sesama orang Indonesia. Haha, saya jadi geli sendiri. Memang kita dituntut untuk selalu waspada dan berhati-hati walau dalam hal kecil, di mana pun, kapan pun.
Surabaya, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H