Sama seperti seni, politik tidak punya hukum pasti. Pasti A, pasti B atau bukan A dan B. Itu semua adalah seni mengolah kekuatan, baik pihak sendiri orang lain atau lawan. Bagaimana mempertahankan atau merebut posisi dalam gelanggang politik. Maka politik juga tak ubahnya seperti permainan. Tahu kapan harus lari, menghindar, bertahan atau menyerang untuk bisa mencapai tujuan yang diharapkan pada waktu yang ditentukan.
Dalam game bernama politik, senjata yang dipakai adalah diplomasi dan persepsi. Kemampuan berdiplomasi dibutuhkan untuk hubungan-hubungan yang sifatnya horizontal, sementara permainan persepsi ditujukan untuk relasi vertical. Dalam diplomasi dan persepsi Bahasa menjadi kunci. Komunikasi politik yang baik akan menunjang terwujudnya kehendak seseorang atau sekelompok orang. Bukan Cuma komunikasi verbal lewat kata-kata dan Bahasa lisan, gerak-gerik dan tingkah laku/kebiasaan juga dihitung sebagai cara komunikasi dengan cara nonverbal. Maka tidak heran jika politisi sering merepetisi kata-kata kunci, tergantung pada sisi mana mereka sedang memihak.
Politik memang seluwes itu. Sudah banyak contoh yang dilakukan politisi negeri ini. Sebrang menyebrang partai, oposisi atau pemerintah atau dukung mendukung satu figure. Politik memang masalah keberpihakan dan kepentingan. Dan kala komunikasi politik satu pihak terasa lebih pas atau sebaliknya sudah tak lagi pas dengan kepentingan, disitulah fenomena bongkar pasang, datang dan pergi terjadi. Disinilah letak adigium tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Maka seharusnya setiap orang yang bergelut didalamnya sadar bahwa hal yang mereka perjuangkan atau jegal habis-habisan bisa jadi berbalik. Maka sungguh disayangkan bila banyak orang yang terlarut dan terlalu terbawa pada satu kubu tertentu. Fanatisme yang dimasa ini bisa berujung pada hal buruk : perpecahan, kecurigaan, negativitas. Padahal jika dirunut kembali, semua itu adalah hasil pemainan persepsi yang digunakan untuk mewujudkan kepentingan. Perlu diingat juga kepentingan itu bisa berubah sewaktu-waktu.
Bicara kepentingan tidak adil nampaknya bila public selalu mengidentifikasi hal itu menjadi sesuatu yang melulu buruk. Memang betul dibalik anggota dewan ada partai politik yang menjadi bayang-bayang, namun apakah melulu kepentingan mereka hanya untuk kelompok sendiri? Mari berfikir positif bahwa masih ada banyak anggota dewan yang berjuang habis-habisan demi kepentingan rakyat. Salah satu harapan akan hadirnya pemerintah bersih adalah dari DPD. Meski Namanya kalah tenar dibanding Lembaga-lembaga negara lain, DPD adalah perwakilah daerah di tingkat pusat yang anggotanya tidak berasal dari partai politik. Mereka yang tergabung dengan parpol tertentu mesti berhenti lebih dulu.
Atas dasar ini juga Bambang Soepijanto maju menjadi calon anggota DPD DIY dengan nomor urut 24. Bambang telah kenyang makan asam garam jabatan. Ia pernah menjadi staff khusus mentri PAN-RB dan kepala DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN. Kesuksesannya itu tidak ia dapat dengan instant. Si "anak kolong" ini mengawali semuanya dengan jabatan kecil selepas lulus dari Fakultas Pertanian UPN Yogya, yaitu petugas penghijauan di Kabupaten Gunung Kidul. Berkat kerja kerasnya kariernya terus melesat. Baru-baru ini Bambang Soepijanto yang juga ketua umum APKINDO mendapatkan Anugerah Indonesia 2018-2019 dengan kategori motor: " Membangkitkan Industri Kayu Indonesia" dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Maju menjadi calon anggota DPD adalah pengabdian Bambang bagi masyarakat DIY yang telah turut membesarkannya. Terkait dengan panasnya gelanggang Pemilu Bambang berpesan untuk menjaga agar tetap bersih, jauh dari kecurangan dan politik uang dan tak kalah penting damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H