Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Bioskop Lokal, Hiburan Murah Meriah Wong Cilik

Diperbarui: 5 April 2019   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://today.line.me/ 

Tiap akhir Maret, tepatnya tanggal 30 negara ini merayakan Hari Film Nasional. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan hari pertama pengambilan gambar untuk film Darah dan Doa arahan sutradara Umar Ismail tahun 1950. Film ini juga rilis dengan judul internasional The Long March of Siliwangi. Dari judulnya dapat ditebak jika film ini menggambarkan peristiwa kembalinya pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pasca kemerdekaan.

 Kehadiran film di Nusantara dibawa oleh orang-orang kulit putih yang telah lebih dulu mengenal teknologi pembuatan serta pemutaran film. Sementara para pribumi punya hiburan pertunjukkan rakyat seperti tonil, ludruk, kethoprak, wayang wong, dan berbagai sandiwara lain yang bersifat "live" atau langsung. Film dimasa itu amat sederhana. Jauh dari beragam efek CGI. Jangankan itu, gambarnya masih hitam putih tanpa suara (film bisu). Charlie Chaplin sang raja film bisu jadi actor favorite dimasa itu. Untuk mengikuti jalan cerita, penonton mesti jeli mengikuti gerakan pemain dan tulisan kredit. Biasanya pemutaran diiringi musik orkes.

Sebelum diputar di Gedung-gedung mewah berpendingin udara, mula-mula film "bioskop" dibawa berkeliling untuk mangkal disuatu tempat. Situs Jakartakita.com menyebutkan seorang Belanda bernama Talbot membuat "bioskop" keliling dari gedeg atau anyaman bamboo dan beratap seng. Ia mangkal di Lapangan Gambir. Cara lain adalah menggelar pertunjukan film di lapangan terbuka a la open-air cinema. Sebuah layar lebar ditancapkan untuk ditembak sinar proyektor. Oleh masyarakat pertunjukan ini disebut layar tancap atau misbar alias gerimis bubar.

Baru pada Desember 1900 seorang Belanda bernama Schwarz mendirikan bioskop pertama di Indonesia, di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, dengan harga karcis kelas I harganya dua gulden (perak) sedangkan kelas dua setengah perak. Setelah gedung bioskop itu terbakar, bioskop pindah di kawasan Pasar Baru. Di Jogjakarta, bioskop baru muncul setengah abad kemudian. Mulai tahun 1960an sampai 1970an berdiri puluhan bioskop seperti Permata, Indra, Senopati, Rahayu, Ratih, Soboharsono, Arjuna, Widya dan lain-lain. Film Indonesia dimasa itu juga Berjaya. Selain Umar Ismail yang disebut bapak perfilman nasional atas usahanya mendirikan Perfini, banyak sineas Indonesia yang produktif menelurkan karya. Dekade selanjutnya muncul bioskop-bioskop yang lebih modern sesuai perkembangan zaman. Sebut saja Regent, Mataram, Yogya teater, sampai Empire lawas. Sayangnya kejayaan industry perfiman Indonesia yang dirintis sejak tahun 50an mesti kolaps dihajar televisi dan film-film Hollywood. Seiring tragedy itu, puluhan bioskop local di Jogja satu persatu padam. Raganya dibongkar, digusur, atau disulap jadi bangunan baru. Yang bertahan hingga akhir seperti Permata dan Mataram pun akhirnya gulung tikar. Bioskop Permata menyambung nafas dengan memutar film-film kelas 2 dari dalam dan luar negeri hingga tahun 2010. Sementara diakhir perjalanannya Bioskop Mataram masih memutar film-film box office Indonesia seperti AADC. Sayangnya gempa bumi Jogja tahun 2006 menutup usia bioskop ini.

Tutupnya bioskop-bioskop local di Jogja turut memusnahkan hiburan murah bagi wong cilik. Harga tiket yang murah bila dibandingkan bioskop berjejaring menjadi alasan utama wong cilik masih datang ke sisa-sisa biokop ini. Padahal wong cilik juga berhak berbahagia lewat hiburan. Dalam pembangunan, wong cilik yang terbatas akses dan kemampuan ekonominya memang jadi pihak yang paling lemah. Ini juga yang dipikirkan calon anggota DPD DIY nomer 24, Bambang Soepijanto.

Orang-orang kecil kerap terpinggirkan dalam peradaban. Harus ada perubahan dalam kebijakan dan arah pembangunan agar DIY tetap istimewa dan berpihak bagi wong cilik. Bambang merasa saatnya DPD bergerak dan berubah. Menggandeng terus rakyat yang telah menggotong politikus ke tahta yang nyaman. Para kandidat mestinya sadar bahwa posisi mereka saat ini adalah sebagai pelayan masyarakat. Berbagai fasilitas yang diberikan negara hanyalah alat yang dipinjamkan rakyat dan negara agar tugas-tugas legislative terselesaikan lebih mudah. Sebab bagi Bambang, pemimpin yang berpihak pada rakyat pasti mampu mensejahterakan.

IG bambangsoepijanto_DPD24




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline