Insiden amblesnya makam raja-raja Imogiri akibat tanah longsor memang mengagetkan. Tanah longsor dan banjir sempat melanda DIY pekan lalu hingga memakan korban jiwa. Mengenai hal ini calon DPD DIY Bambang Soepijanto menyampaikan rasa duka dan simpati. Caleg bernomor 24 ini adalah calon DPD yang peduli dengan masalah lingkungan. Sehingga kehadiran Bambang Soepijanto pada PILEG April mendatang menjadi angin segar bagi kondisi lingkungan dan alam DIY.
Kasus amblesnya makam Imogiri menjadi peristiwa kesekian. Sudah banyak kasus rusak atau hancurnya bangunan-bangunan bersejarah oleh kuasa alam. Sehebat-hebatnya keterampilan tangan manusia, semuanya bisa musnah ditangan alam. Fenomena yang begitu masuk akal terjadi mengingat posisi geografis Indonesia.
Alam yang subur dan kaya raya adalah hanyalah satu sisi dari ancaman amukan alam. Istilah ring of fire atau cincin api kerap digaungkan media dan para pakar untuk sabuk seismik aktif berbentuk tapal kuda dimana menjadi pusat gempa bumi, gunung berapi, dan lempeng batas tektonik yang membatasi lembah Pasifik. Panjangnya 40.000 km dan melingkari pulau-pulau seperti Tonga dan New Hebrides, kepulauan Indonesia, Filipina, Jepang, Kepulauan Kuril, dan Aleutians, serta busur lainnya - fitur geomorfik berbentuk, seperti pantai barat Amerika Utara dan Pegunungan Andes.
Gunung berapi dikaitkan dengan sabuk sepanjang panjangnya; untuk alasan ini lah istilah "Cincin Api." Serangkaian palung laut dalam adalah sabuk di sisi samudera, dan daratan benua terletak di belakang. Sebagian besar gempa bumi dunia, sebagian besar gempa bumi terkuat di dunia, dan sekitar 75 persen gunung berapi dunia terjadi di dalam Ring of Fire.
Di DIY, Gunung Merapi dan sederet "ulahnya" menjadi pengalaman lazim bagi warga. Sepanjang hidupnya, Merapi telah berjuta kali melemparkan isi perut bumi. Mulai dari awan panas hingga lahar. Jika sudah begitu, manusia hanya menjadi satu pihak yang terdampak. Sejarawan Van Bemmelen mengajukan teori bahwa terkuburnya candi-candi di DIY dan Jateng selama berabad-abad akibat letusan Merapi tahun 1600. Candi Sambisari misalnya.
Di masa ini, Candi Sambisari berada didasar cekungan alias tanah disekitarnya lebih tinggi dari badan candi. Padahal sebuah penelitian mengatakan bahwa permukaan tanah di sekeliling Candi Sambisari sebelumnya diduga tidak lebih tinggi dari tempat candi dibangun.
Namun, gelombang lahar dingin dari letusan Gunung Merapi tahun 1006, yang berupa batu, tanah, dan pasir, telah menimbun kompleks percandian tersebut. Di sekitar candi juga masih banyak ditemukan batu-batu material vulkanik.
Berabad kemudian, ganti gempa bumi yang melanda DIY. Dini hari tanggal 4 bulan Sapar tahun 1796, atau 10 Juni 1867 tanah Mataram bergetar dahsyat. Rupanya gempa tektonik dengan kekuatan besar menghantam. Guncangan hebat itu membikin panic seisi kota. Seakan ingin menorehkan bukti, gempa tahun itu mematahkan Tugu Golog Gilig. Tugu lambang persatuan raja dan warga bikinan HB I itu patah sepertiga bagiannya.
Baru bertahun-tahun kemudian, dimasa HB VII berkuasa Tugu Golog Gilig direkonstruksi. Diubah ujungnya dari bulat (gilig) menjadi runcing. Tingginya pun berkurang, dari 25 meter menjadi 15 meter saja. Pengubahan bentuk ini ditengarai upaya politik Belanda untuk mengurai ikatan antara Sultan dengan rakyat.
Malapetaka terakhir yang jelas masih basah adalah gempa Mei 2006. Goncangan berkekuatan 5.9 SC itu meluluh lantakkan DIY. Korban jiwa berjatuhan, melumpuhkan perekonomian, pendidikan, dan segala aktivitas lain. Banyak pula bangunan cagar budaya yang jadi korban. Rumah-rumah lawas dan joglo di Kotagede, beberapa bagian kompleks makam Imogiri, Candi Prambanan menjadi beberapa contoh. Namun tekad kuat warga Jogja untuk bangkit menjadi modal sosial yang berhasil menegakkan kembali kehidupan. Bangunan boleh runtuh, namun tidak bisa menghancurkan harapan.