Tahun 2019 belum juga berjalan setengah, publik digemparkan dengan berita kekerasan yang terjadi di sebuah SMP di Gresik. Dalam laporan yang diturunkan Tribun, pertikaian antara seorang siswa dan guru itu terjadi saat sang guru ditantang berkelahi usai menegur seorang muridnya yang kedapatan merokok.
Lain waktu, masih di tahun ini seorang siswa Taruna Akademi Penerbangan tewas. Ia diduga mendapat penganiyaan dari kakak tingkatnya. Tak melulu fisik, perhatian masyarakat juga belum surut dari peristiwan kekerasan seksual yang dialami seorang mahasiswi di sebuah kampus ternama. Kasus ini hanya menggenapi dari bermacam tindak kekerasan yang terjadi di dunia Pendidikan, dunia yang seharusnya membawa peradaban kasih, kesetaraan, dan menjunjung tinggi intelektualitas.
Padahal seratus tahun lalu, di Yogyakarta lahir sebuah gerakan Pendidikan yang berhasil merumuskan filosofi dari pendidikan. Ia adalah seorang bangasawan Keraton Pakualaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir pada Mei 1889. Gelar Raden Mas menyiratkan status sosialnya yang tinggi untuk ukuran masyarakat Yogyakarta masa itu. Wajar saja, ia cucu Paku Alam III.
Selain mendapat pendidikan di lingkungan Istana Paku Alam, Ki. Hajar Dewantara juga mendapatkan pendidikan agama dari pesantren Kalasan di bawah asuhan KH. Abdurahman.14 Setelah itu tersebut, Ki Hadjar Dewantara juga mendapat pendidikan formal antara lain:15 ELS (Europeesche Legere School). Sekolah Dasar Belanda III. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hadjar Dewantara sakit selama 4 bulan. Europeesche Akte, Belanda 1914.
Sebelum akhirnya mengerucutkan perjuangannya lewat Perguruan Tamansiswa Bersama Sarmidi Mangoensarkoro, Soewardi aktif di beberapa organisasi: Nationaal Indische Partij (NIP)---organisasi pengganti IP juga Boedi Oetomo. Soewardi melawan kolonialisme lewat tulisan di kolom-kolom media massa, mendidihkan emosi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Atas militansinya pada dunia aktifisme, Soewardi kerap dibui dan diboikot pemerintah Kolonial hingga jauh ke negeri Belanda.
Menariknya, di sinilah Soewardi menemukakan ide dan kawan baru di dunia pendidikan yang nantinya ia adopsi dalam Taman Siswa. Titik perubahan Soewardi seperti yang ditulis Tirto ada saat istrinya, Soetartinah jatuh sakit. Soewardi pun membelokkan perjuangan melalui Pendidikan.
Perguruan Sekolah Taman Siswa didirikan di Yogyakarta pada 1922. Sebuah jalan di muka bangunan pendopo Taman Ibu Pawiyatan dinamai Jalan Taman Siswa. Sebelumnya di Yogyakarta sudah lebih dahulu berdiri gerakan Muhammadiyah yang juga punya perhatian besar pada dunia Pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menjadi nama dewasa yang dipakai Soewardi. Kata Hadjar mengacu pada kata adjar atau mendidik. Panggilan Ki dan Nyi pun dipakai kemudian oleh para pamong di Taman Siswa.
Dalam sekolahnya, Soewardi tak melulu mengejar hasil akademik Orang Jawa punya kebiasaan untuk mengganti nama timur atau nama kecil dengan nama dewasa, pasca pernikahan.yang baik, namun juga karakter dan moral. Tamansiswa juga dirancang layaknya keluarga, dengan murid sebagai anak dari bapak-ibu pamong. Sesama siswa adalah kakak dan adik.
Ia banyak belajar filsafat Pendidikan dari Maria Montessori dan Tagore tentang Pendidikan progresif. Bahwa untuk membangun karakter: sifat kritis, kreatifitas juga adab, perlu ada keseimbangan antara bacaan juga aktivitas dunia nyata. Idealisme Soewardi tidak Cuma berhenti disitu, ia juga menolak bantuan atau subsidi dari pemerintah Kolonial. Pada tahun-tahun selanjutnya Tamansiswa berkembang ke beberapa daerah di Indonesia.
Perguruan Taman Siswa mendidik anak dari usia dini (Taman Indria), Sekolah Dasar (Taman Muda), Sekolah Menengah Pertama (Taman Madya), Sekolah Menengah Atas (Taman Dewasa) dan tingkat universitas (Taman Guru). Peran guru menjadi amat sentral dari ideologi pendidikan Tamansiswa. Untuk mewujudkan pendidikan progresif, guru dan pamong menjadi contoh pertama. Hubungan antara pamong/guru dengan siswa didasari pada cinta dan kepercayaan satu sama lain.
Jauh dari otoriatisme yang menakutkan, namun juga tidak lembek. Dewantara juga meletakkan filosofi bagi para pendidik di Indonesia khususnya, dan dunia pendidikan secara umum lewat tiga ungkapan : ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sebagai pendidik ia memimpin di depan memberi contoh dan suri tauladan. Di tengah memberi semangat dan memantik kemauan, dan di belakang siswa guru mendukung tiap langkah.