Lihat ke Halaman Asli

"Underpass" Kentungan, Jalur Laju Menuju Kota Metropolis Jogjakarta

Diperbarui: 16 Januari 2019   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

jogja.co

Kota ibarat manusia yang terus tumbuh. Ia menampung jiwa-jiwa yang menghidupkan. Masa yang terus berjalan, perrubahan demi perubahan terjadi. Rasa-rasanya baru kemarin sore saya berkunjung dan menyaksikan Jogja City Mall berdiri (JCM).

Dibangun sejak tahun 2013, JCM mulai beroperasi hampir lima tahun lalu. Menyusul kemudian "Adik-adik"nya yang lebih muda, Lippo Plaza dan J Walk. Jika kurang puas menikmati suguhan hiburan dan berbisnis, Sleman City Hall baru saja dibuka pada akhir tahun 2018.

Jika sudah begini, rasanya belum juga sempat berkunjung ke mall baru, lalu tiba-tiba tumbuh lagi. Mall hanya satu dari sekian bangunan raksasa yang dibangun di kota Gudeg Yogyakarta.

Sederet apartmen, ruko, toko-toko juga hotel begitu massive menyerbu Jogja lima enam tahun belakangan. Seiring dengan makin padatnya jalanan Jogja tiap akhir pekan, dan jangan Tanya saat libur nasional menjelang. Bus-bus besar raksasa datang silih berganti mengangkut dan memuntahkan wisatawan.

Ah, tapi terlalu naif kalau hanya mengamati akhir pekan. Bukan kah jalanan Jogja hari ini terasa kian sesak? Sepeda motor dan mobil baik pribadi atau yang bisa dipesan online beradu dengan becak dan andong. Belum lagi Trans Jogja-satu-satunya moda pengangkut keluaran pemerintah- turut beradu berebut laju.

Bagaimana tidak sesak, jika diawal tahun lalu jumlah kendaraan bermotor di Yogyakarta menyentuh angka 1.600.000 unit, begitu penuturan Sigit Sapto Raharjo sang Kepala Dinas Perhubungan DIY via Tribun Jogja. Sementara itu menurut Badan Pusat Statistik panjang jalan kabupaten/kota di DIY Provinsi adalah 619 kilometer.

Itu artinya setiap 1 km jalan menampung 700 an kendaraan, padahal menurut data dari Kementrian Pekerjaan Umum, idealnya 1 km di Pulau Jawa menampung 600 saja kendaraan.

Kejengahan atas lalu lintas nyatanya bukan Cuma milik wong cilik, para kawula sebab sejak tahun 2016 Dinas Perhubungan dan Kementrian Pekerjaan Umum telah menggodok sebuah proyek pemecah kemacetan bernama Underpass atau jalan bawah tanah yang membujur dari barat ke timur.

Simpang Kentungan yang menghubungkan Jalan Kaliurang atas dan bawah, sekaligus persimpangan ring road jadi sasaran pertama. Nantinya proyek underpass Kentungan akan dilanjutkan dengan pembangunan underpass di simpang Gejayan yang punya kepadatan serupa. Jalan bawah tanah ini direncanakan sepanjang 1,060 meter dengan tinggi 6 meter dan lebar jalan 15,50 meter.

Putu Alit Suthanaya dan Ni Nyoman Rosita dalam tulisannya ) Kajian Efektivitas Pengelolaan Simpang Dengan Underpass ( Studi Kasus Simpang Tugu Ngurah Rai di Provinsi Bali), 2017 mengatakan apabila bundaran bersinyal sudah tidak mampu mengatasi permasalahan lalu lintas simpang maka alternatif selanjutnya yang akan diambil adalah pengendalian simpang tak sebidang dengan underpass.

Ini sejalan dengan pernyataan Kasi Manajemen Lalu Lintas Dinas Perhubungan DIY, Bagas Senoaji. Pernyataannya dikutip oleh iNews bahwa pembangunan underpass di simpang Kentungan sangat diperlukan karena tingkat kepadatangannya sangat tinggi, terutama pada jam sibuk pagi dan sore. Padahal saat ini countdown dari Alat Pemberi Isyarat Lalu lintas (APILL) sudah dipasang hingga 120 detik alias 2 menit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline