Salah Satu pariwara jalanan yang menarik perhatian saya beberapa waktu ini adalah tawaran kapling-kapling tanah. Iklannya kecil saja, tidak ada Bahasa persuasive yang jadi ciri khas iklan.
Tampaknya sang pemasang cukup percaya diri dengan barang dagangannya, sehingga iklannya hanya butuh seulas gambar rumah dan secarik narasi pendek.
"Jual kapling tanah mulai 600 rb an per meter. Lokasi dekat bandara baru. Hubungi xxxx". Rupanya iklan tadi tidak berdiri sendiri. Iklan serupa saya temukan lagi beberapa kilometre kemudian. Keberadaan NYIA meski masih setengah jadi rupanya memikat banyak pihak, terutama para pemain dalam bisnis jual beli tanah dan property.
Iklan mengenai tanah kapling disekitar NYIA mengindikasikan potensi ekonomi yang cukup besar. Tanpa ragu-ragu gemerlap potensi NYIA dipasang jauh-jauh hari sebelum fasadnya jadi, juga dipasang puluhan kilometer jaunya dari Kulon Progo.
Portal berita Tirto.id pada Agustus 2018 juga menurunkan laporan mengenai larisnya jual beli tanah di sekitar bandara yang harganya amat kompetitif, mulai dari puluhan ribu per meter persegi untuk tanah di tengah perkampungan, hingga ratusan ribu per meter.
Tanah-tanah itu menurut laporan Tirto banyak dibeli orang luar Jogja sebagai bentuk investasi atau para pengembang perumahan. Padahal sebelumnya Kabupaten Kulon Progo bukan menjadi tujuan favorit pembangunan dibandingkan Kabupaten Sleman dan Bantul.
Fenomena ini sejatinya tak baru sebab sejarah mencatat pembangunan proyek punya jalinan erat dengan aktivitas ekonomi, begitu juga sebaliknya.
Menurut Fernand Braudel (1983, vol 2: 140), terbentuknya rangkaian jalur perdagangan (trade circuit) yang ditunjang oleh pertumbuhan sarana transportasi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di suatu kawasan.
Adanya saling ketergantungan antara kebutuhan akan ketersediaan komoditas perdagangan serta pasar yang menjadi ruang dalam transaksi jual beli di dalam rangkaian jalur perdagangan ini telah menciptakan kemakmuran dan kemajuan pada pusat-pusat perdagangan yang terdapat dalam suatu rangkaian jalur perdagangan.
Pembangunan infrastruktur atas dorongan ekonomi Hindia Belanda pernah dibahas Gregorius Andika dalam tulisannya Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan di Karesidenan Lampung Pada Periode 1856 Hingga 1930 (2018).
Ia memaparkan bahwa pada periode 1856 hingga 1930, wilayah Lampung menjadi primadona baru penghasil komoditas ekspor bagi Hindia Belanda: Lada, Kemenyan, Kopi, Kopra, kayu hutan dan lain-lain. Tingginya aktivitas bisnis dikawasan ini mendorong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, melalui Karesidenan Lampung membangun jalur transportasi yang lebih baik.