Saya dan keluarga adalah orang Jogja totok. Kedua nenek kakek dan ayah dan ibu berasal dari provinsi ini. Meski sempat merantau belasan tahun ke kota lain, kakek nenek dari ibu toh akhirnya melabuhkan hidup kembali ke Jogja.
Anak-anak mereka, pakde dan bude saya semua sekolah di Jogja, menikah sampai beranak pinak pun disini. Otomatis kami para cucu dibesarkan di kota Gudeg, sampai akhirnya menemukan jalan hidup masing-masing.
Tiap Natal atau lebaran Jogja menjadi kampung halaman bagi para cucu yang merantau, bekerja di kota lain. Yang mau saya katakan dalam premis ini adalah kecenderungan saudara-saudara saya untuk tidak meniti karier di sini meskipun mereka besar di Jogja.
Alasan klasik mereka lontarkan, tidak ada pekerjaan yang sesuai pendidikan dan lebih penting gaji yang tidak sebesar di kota-kota lain. Keptusan itu tidak hanya diambil saudara-saudara saya. Banyak teman-teman sekolah dan tetangga yang memilih pergi seusai sekolah. Jogja tidak jadi pilihan untuk mengadu nasib. Kalaupun ada yang masih bekerja di Jogja, itu menjadi batu pijakan untuk karier yang lebih baik di tempat lain (baca: gaji).
Memang benar uang bukan segalanya, namun uang bisa memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan dalam hidup. Impian memiliki rumah sendiri, membangun keluarga, membeli kendaraan sembari terus men support orang tua dan keluarga menjadi pokok pikiran milineal di Jogja.
Tentu bukan impian yang salah. Namun membandingkan Upah Minimum Provinsi DIY membuat kita mengernyitkan dahi. Dibandingkan kota-kota besar lainnya di Jawa, DIY termasuk rendah, bahkan terendah. Bagaimana tidak, dari 33 provinsi di Indonesia, UMP Jogja bersaing tipis dengan Provinsi Jawa Tengah Rp. 1.605.000 dan bahkan amat timpang dengan Provinsi DKI Jakarta di kisaran Rp.3.940.000.
Impian indah tentang masa depan makin sulit diwujudkan jika hanya melalui angka tersebut. Upah Minimum Provinsi DIY tahun ini hanya Rp 1.454.154,15, naik sekian persen dari UMP DIY tahun 2017 sebesar Rp. 1.337.645.
Di tahun depan para buruh dan karyawan bisa sedikit berbahagia sejak Gubernur DIY melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengumumkan kepada khalayak besaran UMP terbaru sebesar Rp.1.570.000 yang efektif berlaku per 1 Januari 2019.
Meskipun naik saban tahun toh pandangan miris mengenai kesejahteraan masyarakat Jogja yang menggantungkan hidup di sektor formal masih menggema. Kebijakan kenaikan UMP Jogja nyatanya tidak disambut antusias. Laman Tirto.id menyebutkan UMP Jogja belum bisa mengimbangi angka Kebutuhan Layak Hidup DIY (KLH) yang kisarannya telah menembus angka Rp.2.500.000.
Besaran ini diterapkan berdasarkan survey buruh. Meski naik sekian persen, toh angka ini tidak mampu menarik para milenial atau pemuda angkatan kerja produktif untuk berkarya di DIY. Bagaimana tidak, dari 33 provinsi di Indonesia, Jogja adalah provinsi dengan UMP terendah, bersaing tipis dengan Provinsi Jawa Tengah Rp. 1.605.000. Impian indah tentang masa depan makin sulit diwujudkan jika hanya melalui angka tersebut.
Ironisnya, kenyataan terjadi di kota yang banyak akademisi, cendekiawan. Melahirkan banyak pekerja kreatif di bidang seni dan teknologi, menjadi arena menempa diri bagi muda mudi dari penjuru negeri.