Lihat ke Halaman Asli

Bambang Soepijanto dan Yogyakarta sebagai Rumah Sejuta Festival

Diperbarui: 1 Desember 2018   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Boleh dibilang Jogjakarta adalah salah satu jantung seni dan kebudayaan. Saban tahun dan sepanjang tahun kota ini menjadi tuan rumah sederet festival, baik skala lokal, nasional hingga internasional. Tinggal di Jogja berarti punya banyak pilihan hiburan. Ada yang gratis hingga berbayar. Namun hiburan rakyat di Jogjakarta punya satu ciri, ia murah namun tetap meriah.

Baru beberapa minggu lalu festival Jazz bernuansa lokal, Ngajogjazz usai. Sederet bintang tamu, Tompi, Syahrani, Tohpati, Kika Sprangers  dari Belanda sampai MARGIE SEGERS tampil bukan dipanggung-panggung mewah seperti biasa Jazz dihadirkan. 

Di Ngajogjazz bahkan tak ada tiket masuk yang dibebankan. Hanya ada uang parkir dan uang bekal jajan jika haus atau lapar, itu sudah cukup. Jazz yang sering dikaitkan dengan kelas atas justru ditampilkan di tengah kampung Gilangharjo, Pandak Bantul. Kesan lokal begitu terasa lewat oranamen-ornamen kayu, bambu, kata-kata berbahasa Jawa, juga lewat busana, ritual pembukaan dan penutupan acara dengan nuansa lokal. Salah satu point yang tidak kalah penting adalah pelibatan masyarakat disekitar kampung. Demikian yang tergambar dari video Bambang Soepijanto di kanal Youtube.

Beberapa hari berselang ada parade stand up comedy atau pertunjukan lawak tunggal di tengah gugusan pohon Pinus, Mangunan Bantul. Acara ini selain menghibur penonton juga ajang perajut kekerabatan diantara para komika lintas komunitas dan kota. Tak ada lagi komika ibu kota atau lokal. Ernest Prakasa dan Arie Kriting berbaur dengan nama-nama baru dan harus terima jika dirinya dijadikan materi tampil.

Dari industri film, hari-hari ini pegiat dan pecinta film dokumenter disibukkan oleh Jogja-Netpac Asian Film Festival yang ketiga belas. Mulai tanggal 27 November hingga 4 Desember mendatang Jaff-Film Festival menghadirkan Diskusi, pameran dan pastinya screening atau pemutaran film dari film maker-film maker Asia.

Yang terakhir tentu saja Festival Seni Yogyakarta (FKY), festival yang telah melegenda dan bertahan tiga dekade. Kesenian rakyat, modern, jajanan, produk seni semua berbaur dengan antusiasme masyarakat. Sama seperti Ngajogjazz, FKY juga melibatkan masyarakat sekitar dengan membuka stand atau gerai makanan, minuman, kerajinan, serta dilibatkan dalam keamanan. Festival-festival ini pun menjadi hajatan atau gawe bersama-sama antara panitia, sponsor dan warga sekitar. Pendek kata menjadi milik bersama.

Geliat berkreasi di Jogjakarta tak ada matinya. Didorong oleh banyaknya sekolah dan perguruan tinggi, geliat berkreasi Jogja tak ada habisnya. Pusat-pusat seni terus muncul dan tumbuh, entah dari kampus atau tumbuh dari masyarakat. Budaya Jawa Mataraman semakin tahun bukannya malah pudar, namun terus diingat oleh generasi ber generasi. Itu lah mengapa festival-festival di Jogja pasti mengambil lokalitas atau nilai-nilai setempat.

Ini juga yang dicitakan oleh Bambang Soepijanjto. Calon anggota DPD RI dari Jogjakarta. Bambang telah mengganggap Jogja menjadi kota kelahirannya. Di kota ini ia mengawali kariernya pada sektor Kehutanan, namun tidak berarti Bambang buta dengan isu-isu lainnya. 

Bambang Soepijanto juga punya kepedulian pada masalah lingkungan, air bersih, UMKM, pelayanan publik, dan juga soal pariwisata dan kebudayaan. Bambang merindukan Jogjakarta yang dibangun dengan memperhatikan kelokalan atau nilai-nilai setempat agar pembangunan itu bukan Cuma menguntungkan secara finansial, juga menjadi milik rakyat, berdampak bagi rakyat. Dengan slogan Ngayomi, Ngayemi, Ngayani Bambang Soepijanto siap menjadi DPDnya Wong Cilik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline