Lihat ke Halaman Asli

Pada Suatu Masa

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu masa disuatuwaktu yang berada di luar jangkauan ingatan manusia. Pada saat dimana dunia berputar begitu lambat dan waktu merangkak pelan, layaknya kadal di tebing terjal. Dan anak-anak manusia berhimpun dalam takjub, mereka-reka siapa menggantung bulan dan menyeret matahari.

Pada saat itu impian adalah kenyataan, karena manusia tak punya alasan bermimpi. Karena mimpi tak pernah muncul dalam jiwa dan pikiran yang bebas.

Ketika itu gandum ditanam untuk dimakan, rumah dibangun untuk didiami dan baju dipintal untuk dipakai. Bukan dijual. Apalagi diperdagangkan.

Angin musim barat datang tanpa pernah terlambat. Dan semua lelaki dewasa adalah suami dari satu istri. Ketika otot terbentuk alami dari usaha mengolah tanah, dan air sungai lebih bening dari kaca. Saat itu bulan ketiga selalu diisi dengan pesta, ketika para pemuda berkumpul, memetik buah badam, daun koka atau ranting rami. Sedang anak-anak sibuk bermain dengan sapi-sapi, tanpa perlu dipaksa menghafal unsur penyusun udara atau penjumlahan rumit tanpa makna.

Saat itu hidup begitu lambat dan bilangan berhenti di angka sepuluh ribu. Tanah dibagi menurut cinta, sedang ternak diberikan dengan Cuma-Cuma. Bukan direbut oleh pedang, atau diperjuangkan dengan berdarah-darah.

Waktu itu wanita menaruh hasil panen di punggungnya, lantas memasak sup kacang tanpa menggerutu. Semua berjalan lambat, lambat. Musim dingin harus melewati lautan teduh untuk mencapai tanah utara, sebelum berputar dan menyapu desa.

Dimasa itu, tanah, udara dan air digunakan tanpa harus dimiliki. Roti, baju dan rumah dibuat bukan untuk dijual. buat bukan untuk dijual.

Tetapi ketika bilangan mulai membengkak dan angka mengusai kehidupan, maka segala yang ada dicoba untuk ditaksir. Air dihitung dan pohon juga, begitupula dengan gandum dan langkah-langkah kaki di atas tanah. Lalu kemudian anak-anak manusia jatuh ke dalam malapetaka, menuliskan angka pada secarik kertas. Dan duniapun bersiap merana.

Roti membusuk di toko-toko, karena tak ada yang membeli. Walaupun di belahan lain, jutaan mulut kelaparan.

Rumah dan vila dibangun sia-sia, karena para gembel tak mampu menghuninya. Lalu mati. Terkapar di pinggir kali.

Saat itu dunia mulai berputar lebih cepat, langitpun ditutupi asap kelam dan umpatan sumpah serapah bagai sampah dari mulut-mulut ponggah.

Para lelaki enggan menyapa tanah, dan mulai menjadi suami dari banyak istri. Wanitapun terkurung dalam penjara yang dibuatnya sendiri, bersama gincu, bedak dan bubuk-bubuk beracun. Sedang anak-anak, lebih cepat menua, karena pikiran dijejali nama zat ini itu atau hitungan imajiner yang belum tentu ada manfaatnya.

Saat itulah dunia berputar cepat dan hidup tak lebih dari seratus sebelas tahun. Tanah diperkosa, air dilelang dengan uang, begitupula cinta dan bayi-bayi.

Maka mentaripun bersedih, dan bulang berpikir untuk menjauh. Saat itulah kulihat akhir dunia mendekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline