Lihat ke Halaman Asli

Nyatanya, Sungguh Jatuh Cinta

Diperbarui: 7 Desember 2018   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ia lahir 2 tahun yang lalu. Setelah 2x24 jam rasa sakit mulai mendera. Entah kenapa, dia memang cukup lama saat berada di perjalanan lahir. Dan sebab tak ada perihal membahayakan apapun, kelahiran tersebut dipertahankan untuk terjadi secara normal.

Lalu setelah beberapa kali suntik perangsang kelahiran, lahirlah dia, si mungil berjenis kelamin perempuan. Berkulit putih susu. Bermata lebar. Dan bertubuh mungil, tak lebih dari 3,1 kg dan 51 cm.

Satu bidan merawat si kecil di ranjang  mungil sebelah ku. Sedang 2 bidan lain sedang merawat dan membersihkan ku yang saat itu sempat mengalami pendarahan ringan.

Aku seakan tak peduli dengan yang dilakukan padaku, mataku tak bisa lepas dari si mungil yang sedang 'menatapku' dengan mata bulatnya. 

Iya, sesaat setelah kelahirannya, ia sudah mulai membuka mata dan seolah menatapku. Mungkin dia merasakan bahwa 'bau' perempuan yang selama 9 bulan menjadi inangnya sedang berada di dekatnya dan ada di posisi yang sedang ia tatap. Aku mulai haru...

Lalu semakin tumbuh lah rasa cinta ini padanya. Magnet yang tak dapat ku tolak.

Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan ingin mendidiknya lebih besar muncul. Ada rasa, 'suatu ketika aku harus rela jauh darinya', sehingga aku harus menyiapkannya menjadi mandiri. 

Kekhawatiran ini yang mendorong untuk lebih objektif dalam hal pendidikan untuknya. Terkesan disiplin, tegas, meski sesekali tetap memanjakannya. Tapi setiap kali memanjakannya, seolah ada rasa bersalah. Khawatir menghancurkan kedisiplinan yang selama ini ku tanamkan.

Namun, ketika ia belum genap 2 tahun, ketika tamu bulanan terlambat hadir, dan ketika 2 garis kembali muncul di testpack, perasaan ini langsung berubah.

Selama 1 bulan sejak keputusan positif hamil kedua, setiap malam ku peluk tubuh perempuan mungil ku, ku ratapi takdir yang menimpanya. Takdir harus memiliki adik saat usianya masih dini.

Rasa bersalah pun muncul. Beriring dengan rasa sayang yang semakin menjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline