Lihat ke Halaman Asli

Fauzan Dewanda Dawangi

Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia

Mencermati Kembali Efektivitas Program Deradikalisasi Narapidana Teroris

Diperbarui: 26 Desember 2022   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tanggal 7 Desember 2022, Indonesia berduka atas serangan teroris yang terjadi di Bandung. Kejadian ini terjadi tepatnya di Mapolsek Astanaanyar pada pukul 08.20 WIB. Serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris mengakibatkan 1 anggota polisi meninggal dunia dan 10 lainnya mengalami luka-luka. Dalam temuan pihak kepolisian, pelaku menyampaikan pesan tulisan yang ditempelkan di sepeda motornya bahwa KUHP yang baru disahkan DPR adalah "produk kafir." 

Di dalam pesan tertulisnya ia juga mengatakan 'perangi penegak hukum." Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, adalah mantan narapidana terorisme bernama Agus Sudjadno alias Agus Muslim. Sebelumnya ia sempat ditahan di Lapas Kelas II A Pasir Putih Nusakambangan karena terlibat dalam kasus 'bom panci' di Cicendo pada tahun 2017 dan terafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansharu Daulah (JAD) Jawa Barat.

Munculnya kasus serangan residivis teroris yang terjadi beberapa waktu lalu di Bandung kemudian memunculkan kritik atas efektivitas pemberian program deradikalisasi oleh BNPT.  Hal ini misalnya disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Santoso yang menyatakan bahwa BNPT telah kecolongan terkait insiden bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar. Santoso juga meminta agar program deradikalisasi dari BNPT harus dapat membentuk sikap toleransi di masyarakat dan tidak hanya menyerap anggaran negara saja. 

Indonesia sendiri merupakan negara yang menerapkan program deradikalisasi terhadap narapidana teroris. Program deradikalisasi bertujuan untuk menetralkan pemikiran-pemikiran radikal para teroris yang ada di dalam maupun luar lapas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya penerapan deradikalisasi terhadap narapidana teroris di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. 

Masih Setengah Hati

Dalam pernyataan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Program deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT maupun Densus 88 kepada para narapidana terorisme di dalam Lapas bersifat tidak wajib. Pada tahun 2017 lalu, Deputi bidang Pencegahan, Perlindungan, Deradikalisasi BNPT, Abdul Rahman Kadir, mengungkapkan bahwa lebih dari 400 orang mantan narapidana teroris belum menerima program deradikalisasi. Tidak diwajibkannya program deradikalisasi ini berakibat beberapa narapidana teroris yang setelah dibebaskan masih tetap memiliki pemikiran radikal.

Beberapa penelitian juga menunjukan, usaha deradikalisasi di dalam Lapas Indonesia masih belum efektif akibat minimnya sumber daya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Milda Istiqomah pada tahun 2011 dengan judul "De-radicalization program in Indonesian prisons: Reformation on the correctional institution" menemukan bahwa hanya terdapat satu psikolog di Lapas Surabaya untuk lebih dari seribu narapidana. 

Minimnya tenaga psikolog berakibat pada terbatasnya waktu konseling yang dapat disediakan oleh pihak Lapas. Padahal kegiatan konseling yang dilakukan oleh psikolog di dalam Lapas harapannya dapat menjadi sarana deradikalisasi dengan memberikan dukungan mental bagi para narapidana teroris untuk meninggalkan paham radikal mereka. Minimnya program deradikalisasi yang diberikan mengakibatkan Lapas justru menjadi tempat yang rentan dari penyebaran paham radikal. 

Peneliti terorisme dan intelijen Ridlwan Habib mengatakan bahwa belum ada sistem pengawasan yang baku terhadap mantan narapidana teroris yang telah bebas. Setelah narapidana teroris keluar dari penjara, ia akan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Disatu sisi seringkali pemerintah daerah setempat tidak mengetahui warganya yang merupakan mantan kombatan teroris. Hal ini mengakibatkan pengawasan terhadap narapidana teroris menjadi berkurang setelah ia dibebaskan.

Tidak efektifnya program deradikalisasi terhadap narapidana teroris ini kemudian memunculkan timbulnya kasus residivis. Pengamat teroris Noor Huda Ismail mengatakan bahwa 10% mantan narapidana teroris yang sudah dibebaskan itu kembali mendukung atau melakukan aksi kekerasan. Selain karena minimnya penyelenggaraan program deradikalisasi, penderitaan yang dialami oleh para narapidana pidana teroris selama di Lapas seperti kondisi over kapasitas pada sel dapat menimbulkan perasaan dendam terhadap aparat keamanan sehingga kemudianmemperkuat paham radikalnya. 

Masyarakat dan keluarga harus dilibatkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline