Seringkali saya berpikir kenapa di kota kota besar bar dan diskotik dibiarkan bermunculan secara legal.
Kadang aneh juga karena di media biasanya kalau ada kalangan berpenghasilan rendah pesta sambil minum minuman keras di saung, gubuk, ato di lapang desa itu disebut pesta miras, identik dengan orang orang berperangai buruk dan sumber kejahatan. Lain hal nya kalau pesta minum minuman keras nya di bar atau diskotik berkelas di kota besar yang balutan interiornya modern, suasananya cozy, dan paduan minuman kerasnya dilabeli dengan nama nama cantik nan berkelas.
Salah satu dugaannya, tempat hiburan adalah salah satu penyumbang bagi Pemerintah khususnya Pemerintah daerah untuk mendapatkan Penerimaan Pendapatan melalui pajak.
Sesuai pengaturan Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %
DKI Jakarta dalam PERDA DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 Pasal 7 menetapkan pajak sebagai berikut:
diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%;
Sedangkan Kota Bandung dalam PERDA Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 menetapkan pajak sebagai berikut:
diskotik, karaoke, klab malam, pub, dan sejenisnya dikenakan pajak sebesar 35% (tigapuluh lima persen) dari jumlah pembayaran
Berikut adalah perhitungan kasar, tujuannya untuk mendapatkan ilustrasi / gambaran mengenai pajak tempat hiburan. Di kota Bandung misalnya:
Jumlah Diskotik : 30
- Transaksi rata rata per grup pengunjung per malam per diskotik : 2.000.000