Lihat ke Halaman Asli

Cemilan Resensi "Sepatu Dahlan" Buat Nemenin Maksi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEPATU DAHLAN

Buku yang sangat memberi inspirasi.

Yang menonjol buat-ku: spontanitas, natural, kreatif, tapi sangat sarat kesederhanaan dan kerendah hatian.

Awalnya membeli buku ini bukan karena memang tertarik yang bener-bener. Hanya berniat untuk mengisi bangku nomer dua mobil dengan bekel bacaan, untuk nambal “bengong” pas nunggu lampu merah berubah jadi ijo di jalan-jalan sekitar jakarta aja. That’s all.

Ternyata gak sesuai kenyataan juga ding! Abis beli, ditaruhnya di rak buku juga, berjajar dengan beberapa novel lain yang udah kebaca atau bahkan ada yanng masih rapi terbungkus plastik-nya.

Satu hari, dengan tanpa niat buat habisin baca Sepatu Dahlan...aku comot aja dari rak, dan aku tenteng masuk ke mobil. Taruh dipangkuan. Jalan.

Lampu merah, brenti. Baca mulai preambule (lembar yang selalu penting buatku, gak pernah mulai baca apapun sebelum baca bagian ini. Hehehhee dasar! Sukanya ngintip, siapa tau ada bocoran angle yang bisa dicuri start dari depan :P)

Daaaaaaannnnn hasilnya???? Keterusaaaaaannnn baca, baca, baca. Halaman demi halaman, subjudul demi subjudul, hingga dua hari itu, prinsipnya: jangan sampai kerjaan ganggu baca nih buku! Hihihihihi....

Buku ini secara umum klasik, tentang biografi (Ups! Buatku istilah ini terlalu EYD, lebih tepat-biar sepadan dengan kesederhanaan sang tokoh-“obrolan atau cerita-cerita saja”) bercerita tentang bagaimana idealisme simpel seorang “Dahlan” untuk memiliki sepasang sepatu dan sepeda. Itu saja.

Buatku bukan konteks “sepeda dan sepatunya” yang menarik. Tapi lebih ke makna proses yang terjadi untuk mendapatkannya. Keseluruhan jalan cerita seperti dapat mewakili sebuah miniatur kecerdasan multiaspek seseorang: fisik, psikis, sosial. FISIK, Dahlan begitu terlatih secara otodidak oleh alam untuk memainkan berbagai anggota fisiknya, dari kebiasaan berjalan jauh menuju sekolah, menyabit rumput, angon domba, main voli, jago renang di sungai. PSIKIS, gak diragukan lagi makna yang udah membuatku “jatuh cinta” oleh cerita ini: kemiskinan yang dijalankan secara tepat akan mampu menjadikan seseorang menjadi besar. Dahlan dengan kemiskinan yang begitu “menghimpitnya” dari semua arah hidupnya, muncul sebagai sosok yang memenangkan permainan dan mengibarkan bendera kemenangannya setelah mampu membeli sepeda (walau nyicil) dan sepatu (walau bekas) itu, dengan tetap menggunakan baju kebesarannya: kerendah hatian. Ia sudah menjadi pemenang juga dalam hal mentransformasikan segala kepahitan hidupnya menjadi makna positif di akhir cerita. Ini sungguh “special edition human”. Dan lihatlah, walaupun himpitan yang bertubi-tubi menghiasi masa kana-kanak-nya, saat ini-jikian kita melihat sosok Dahlan- senyuman yang selalu tergambar di wajahnya, mencerminkan bagaimana caranya menyimpulkan perjalanan hidupnya secara positif, benar-benar positif!!! Amazing !! Salah satu keajaiban yang Tuhan mau tunjukkan lewat salah satu karyaNya yang teramat indah, dalam bentuk “seorang Dahlan”. Dari sisi SOSIAL, karena kekayaan hati-nya, secara spontan, atomatis, dan natural, naluriah, ia ditunjuk menjadi kapten voli di sekolah, atau kondisi yang mencerminkan bahwa “belum ada kesimpulan yang boleh diambil sebelum Dahlan datang dan menyetujuinya, atau juga kesedihan Zain (adiknya) yang tidak lagi bisa berkata-kata ketika Dahlan ingin melanjutkan kuliah keluar Kebon Dalem. Atau dari genangan air mata dari Pak Camat yang bangga atas kemenangan tim voli Dahlan dan teman-temannya, walaupun ia raih dengan menggunakan sepatu hadiah teman-teman yang tiba-tiba robek saat ia mendarat dari posisi meloncat saat permainan berlangsung, dan menampakkan jempol kaki kanannya. Penonton melihat, sontak menyorakinya. Ah!! Itu bukan menjadi masalah besar dibanding kemenangan tim-nya atas tim unggul dari SMP Magetan yanng awalnya dielu-elukan penonton. Dahlan mampu memasuki relung hati setiap yang dekat dengannya. Dari keluarga-sebagai lingkungan terkecilnya, hingga sekolah sebagai lingkungan sosialnya saat itu, bahkan salah satu perangkat negara-Pak Camat- yang untuk ukuran seorang Dahlan saat itu-anak dari Kebon Dalem, miskin, tak bersepatu, dan setiap hari nyeker ke sekolah, serta harus angon domba tiap pagi dan sore...belum saatnya terjangkau. Tapi ia telah membuktikannya dengan penuh kerandah hatian.

Sungguh tontonan dalam bentuk novel yang dramatis dengan simpulan yang kaya makna filosofis.

Simpulan dari akyuuu: gak sabar nunggu saat-saat berfoto dengan sepatu kets-nya, beserta orangnya langsung. Hehehehhee...yuuukk mareee gabung..buat yang hobi poto2

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline