Lihat ke Halaman Asli

Fajr Muchtar

TERVERIFIKASI

Tukang Kebon

Cerpen | Kelopak yang Tidak Terlalu Putih

Diperbarui: 23 Mei 2019   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dok: itsphotoshop.tumblr.com)

Kakimu tidak mengeluh?

Masih terlalu pagi untuk menunggu bus di halte. Belum ada bus yang lewat, warung di seberang jalan pun belum buka. Masih terlalu pagi juga untuk mengeluh. Yah. Perjalanan ini akan menyulitkanku, tapi entah bagaimana setiap harinya aku harus pergi. Barangsiapa pergi menjemput ia tak akan merasakan pilunya menunggu. Perjalanan akan selalu diinisiasi, karena tanpa tekad berpetualang di negeri pengembara, aku tak punya apa-apa.

Kota Satu

Kursi di sampingku kosong, seperti hari yang lalu memang dibiarkan kosong. Aku tak mencoba mengelak dari keluhan, hanya saja perjalananku di dunia ini memang sendiri, maksudku, kita semua sendiri-sendiri, hidup sendiri, mati sendiri. Pertanggung jawaban selalu membuntuti masing-masing kita, dan kita akan menjawabnya sendirian di kala gelap gulita.

Sederhana, sendiri dan sepi seperti asalnya. Kota yang baru kusambangi ini memberi kilasan ingatan akan masa silam dalam rahim ibu. Gelap, sunyi, dan sedikit hangat. Amankah? Tidak begitu aman karena rentan, ketika turun di halte kota ini, aku hanya ingin menangis memeluk ransel dan aku merasa tidak aman.

Seraya terisak, bersautan isakan-isakan lainnya, lebih nyaring dan lebih berisik. Isakan karena merasa tidak aman itu sulit kudefinisikan, apakah aku lapar, apakah ingin buang air, ataukah hanya kepanasan. Tak bisa kujelaskan, tak bisa berkonsentrasi karena tangisan-tangisan mungil itu bersamaan meramaikan kota yang tadinya sunyi namun masih tetap gelap. Satu jam telah lewat, bus akan segera berkunjung sesaat. Ketika itu tiba, aku sudah harus menunggunya di halte. Aku tidak mau tinggal lebih lama di kota ini.

Kota Dua

Bus seakan tidak ingin menyiakan waktunya, ia datang tepat waktu dan melesat dengan amat gesit. Tak lebih dari satu jam aku telah diturunkan di Kota Dua. Ingatan akan kota sebelumnya masih menuturiku, aku tidak bisa antusias mengupas kota kedua ini karena ketakutanku. Tapi kakiku sudah berpijak, dan aku harus bertahan seperti yang selalunya. 

Aku menatap langit, yang kudapati adalah silau karena cerahnya kontras di kota ini. Tidak kelam, tidak sunyi dan tidak menakutkan. Kota dua sangat berbunga-bunga dan ceria, banyak anak-anak bermain bersama, kota ini sangat ramah bermain atau dalam kata lain, seluruh kota ini adalah arena bermain! Aku yang saat kecil sangat lincah memainkan permainan-permainan tradisional merasa tergugah, perjalananku ke sini terbayar, aku siap membuat banyak teman baru dan melakukan hal baru.

Meskipun matahari masih tegas dengan pancarannya, aku tetap asyik bermain sembari mengusap keringat berkali-kali. Lelah kalah dengan seru. Terdengar tawa yang nikmat dimana-mana. Kesanku akan kota ini hanyalah seindah pelangi. Akan dengan senang hati bila suatu hari dapat berkunjung lagi kesini. Kenapa? Karena aku tidak bisa menetap, aku harus melanjutkan perjalananku kebetulan tepat 5 menit lagi bus selanjutnya akan tiba. Yang kusadari adalah langkah menuju halte semakin berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline