Semakin ke sini, perjalanan Datsun Risers Expedition menemukan geregetnya. Mobil Datsun Go Panca betul-betul dipaksa mengeluarkan tenaganya untuk menaklukan jalan poros Sangatta hingga Berau. Saya betul-betul merasakan geliat performa Datsun yang ciamik menaklukan jalan yang 30 % betul-betul hancur.
Hari itu saya mengambil kemudi untuk perjalanan pertama Sangatta menuju Kampung Suku Dayak Miau. Hampir lima jam saya berupaya menaklukan jalanan dengan menggunakan Datsun Go. Semua bisa dihandling dengan baik. Apalagi shocbreaker Datsun yang ciamik mampu meredam goncangan akibat permukaan jalan yang bergelombang di sana sini.
Tenaganya juga ok untuk melibas tanjakan yang panjang tanpa kehilangan kelincahannya. Di jalanan seperti ini manuver-manuver lincah sangat diperlukan. Saat mobil saya kendalikan Datsun mampu diajak bekerja sama melibas tanjakan, turunan dan apalagi di jalan datar. Di salah satu trek lurus, Datsun dipacu hingga lebih dari 100 km/jam dan tetap stabil padahal ban Datsun terbilang kecil. Jika ditambah agak besar dan tinggi akan cocok dengan medan Kalimantan seperti ini. Seperti saya tulis di
Tentang perjalanan itu sendiri merupakan sebuah perjalanan yang asyik dan menjadi kenangan sendiri bagi saya tentang bumi kalimantan. Bumi ini seperti kain yang dijahit Allah dengan jahitan yang luar biasa indah. Zamrud katulistiwa memang begitu adanya menghiasi kain bernama Kalimantan.
Hutan menghijau menjadi keindahan yang menghibur saya. Pohon-pohon besar nan tinggi adalah kesukaan saya. Saya takjub kala melilhat sebuah pohon dengan batang yang besar ada di jajaran hutan belantara. Dia berdiri lurus menjulang langit seakan hendak meraih mentari. Saat kaca mobil dibuka, udara khas gunung memasuki kabin. Udara itu mampu mengusir keletihan mengendarai mobil. Suara burung dan hewan-hewan hutan sering terdengar menyapa telinga. Lebih merdu daripada suara musik yang sering didengar di tape recorder manapun.
Kain indah hijau zamrud itu seringkali kehilangan keindahannya saat menemukan lahan yang terbakar (atau dibakar?). Lahan yang terbuka itu kemudian dikuliti dan diambil saripatinya. Bekas-bekas tambang yang dibiarkan begitu saja menjadi luka dalam batin saya. Pohon-pohon besar yang saya kagumi, teronggok tak berdaya di lahan-lahan itu. Kegagahannya saat menjulang langit sirna begitu saja. Hal itu seperti membuat sobekan paksa di kain yang berwarna hijau zamrud. Kalimantan menjadi coreng moreng.
Hiburan lain yang didapatkan dalam perjalanan panjang itu adalah pertemuan dengan suku Dayak Miau. Disebutkan bahwa suku ini merupakan salah satu suku tertua di Dunia. Mereka hidup dengan kebijaksanaan hidup yang selaras dengan alam.
Saat bertamu ke suku Dayak Miau, kami diterima di sebuah ruang pertemuan yang dibuat dari kayu. Bangunan itu sangat megah dan indah. Terbuat dari kayu besar dan dihiasi dengan ukiran serta gambar berwana ceria. Sepertinya orang-orang ini hidup berbahagia dengan alam yang mereka tempati. Sayang mereka lama kelamaan tergeser oleh pola hidup modern yang sering kali tak ramah dengan alam. Saya berharap mereka masih terus memegang kebijaksanaan suku Dayak yang berinteraksi dengan alam dengan harmonis.
Setelah menengok Suku Dayak Miau, kami lanjutkan perjalanan menuju Berau. Empat jam kami habiskan di perjalanan. Memaksa Datsun melahap jalanan Kalimantan yang ternyata lebih berat dibanding perjalanan pertama. Kali ini saya melihat kembali tenunan kain bernama hutan Kalimantan yang lebih rapat dan Indah, namun tetap saja ada sobekan di sana sini. Semoga saja hutan di Kalimantan bisa tetap lestari menghadapi kerakusan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H