Sambil lewat saya meminggirkan mobil ke sebuah tempat yang terkesan tertutup. Sebuah tembok besar menyambut siapa saja yang mendatanginya. Tembok besar itu seperti sebuah pemisah antara dua realitas. Jangan hanya berhenti di tembok bertulis Wot Batu itu. Langkahkan kaki ke dalam maka akan ditemukan realitas lain.
Keindahan di balik tembok besar itu akan menjelaskan banyak hal. “Jangan menilai dari sampulnya” di balik tembok besar yang memblok pikiran, akan ditemukan keseimbangan dan keindahan. Bisa juga dikatakan bahwa di balik setiap pintu yang tertutup akan selalu ada keindahannya. Memasuki sebuah lorong di belakang tembok angkuh itu saya mengingat sebuah firman Allah, “Dibalik setiap kesulitan selalu ada jalan kemudahan”
Di balik tembok itu kemudian saya menemukan sebuah tempat dengan realitas berbeda dengan di sebalik tembok itu. sesaat setelah melewati lorong sempit itu, tiba-tiba saja saya seperti memasuki alam kosmis yang menjerat. Bebatuan besar bertebaran, diatur sedemikian rupa sehingga membentuk jaring-jaring pikiran halus yang sangat sayang dilewatkan begitu saja.
Sebetulnya saya ingin berdiri agak lama di sebuah batu yang dipahat melingkar-lingkar dengan saya sebagai pusatnya. Di sini kata-kata Imam Ali as, terngian begitu saja “Engkau rasa dirimu adalah sebuah jisim kecil, padahal dalam dirimu mengalir semesta terbesar”. Sayang waktu menyeret-nyeret untuk bersegera meninggalkannya.
Tempat yang diberi nama Wot Batu yang katanya berarti jembatan itu, memberikan berbagai persepsi tentang semesta. Coba saja lewati sebuah gerbang batu yang mengantarkan pada sebuah kolam dengan air yang tenang yang berbatas horizon. Tenang dan senyap.
Mengapa batu? Sejak zaman dulu batu-batu diperlukan sebagai sarana mediasi yang menampung kehendak manusia dalam berkomunikasi dengan semesta. Batu menjadi wahana spiritual manusia yang sangat penting.
Di tengah kerasnya bebatuan terdapat nuansa keseimbangan yang juga menjadi tema yang ingin ditawarkan kepada yang mengunjunginya. Sebuah monument batu yang buat bersusun-susun seperti menjadi jangkarnya.
Di tengah keadaan-keadaan ekstrim yang nampak secara kasat mata, harus juga diupayakan keseimbangan yang halus. Jika hidup tak dibarengi dengan keseimbangan, maka segala upaya yang keras hanya akan menjadi segala upaya menjadi sia-sia.
Hidup, kata Rumi “sebagai jaring yang begitu halus,” tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. “Jangan lakukan keduanya!”. Nah temukan rahasia keseimbangan di Wot Batu ini.
Eh… mengapa jadi mellow begini ya.
Wot Batu ini terletak di Desa Ciburial Bandung, berdekatan dengan Selasar Sunaryo, sebuah gallery seni milik Pak Sunaryo (eh Wot Batu ini juga dirancang dan milik Beliau). Cuma buat yang mau berkunjung ke Wot Batu mesti bersabar dulu sampai dibuka untuk umum.