[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Perjuangan ke sekolah (kompas)"][/caption]
Kita pernah ditohok oleh beberapa foto menyedihkan. Sejumlah anak-anak sekolah harus berjuang menyeberangi jembatan yang rusak untuk bisa sekolah. Foto lain meninju nurani kita, -masih anak-anak SD- menyeberangi sungai dengan arus yang deras. Kata media asing seperti melihat film Indiana Jones.
Pada saat yang sama para pemimpinnya hidup dalam gelimang kemewahan. Menghabiskan anggaran Negara untuk studi banding yang tidak terasa oleh rakyat atau kegiatan-kegiatan lain yang disebut-sebut penting. Miris dan sakit hati dibuatnya.
Padahal, pendidikan adalah amanat konstitusi yang harus dilaksanakan dengan baik. di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan umum, tetapi juga mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita juga memiliki hari pendidikan yang diperingati setiap tanggal 2 bulan Mei. Hari yang sejatinya dipakai untuk kembali meneguhkan janji kepada bangsa Indonesia.
Saya merasa sangat yakin bahwa para pendiri bangsa kita berpikiran bahwa pendidikan adalah jembatan emas menuju kehidupan yang terhormat. Tidak ada bangsa yang mampu mencapai kemajuan tanpa menjadikan pendidikan sebagai fondasi utamanya. Oleh karenanya Pendidikan harus menjadi perhatian paling utama, karena tidak mungkin kita mencapai kemajuan apabila tidak mempersiapkan manusianya terlebih dahulu.
[caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="Mesjid Babussalam di Selayar (Dokpri)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="Komplek Sekolah di Selayar (dokpri)"][/caption]
Ah. Daripada menyesali kegelapan, lebih baik menghidupkan lilin. Demikian kata bijak memberikan motivasi. Ok deh kalo begitu. Lalu apa yang mesti dilakukan?
“Kalau kau cinta Indonesia, maka rakyat harus dicerdaskan. Buat sekolah di pelosok-pelosok negeri, kirim guru ke sana, suruh pelajar terbaiknya belajar di jawa dan bahkan ke luar negeri" kata Bapakku di rapat pesantren Babussalam Bandung.
Masih kata Bapakku, "Indonesia harus pintar. kalau Rakyat Indonesia tidak pintar maka mereka hanya akan berjejal-jejal di sektor pekerjaan 3D (Dirty, Danger, Difficult). Kita akan jadi jongos di negeri sendiri katanya sambil mengutip kalimat Bung Karno.
Rapat-rapat itu kemudian bergulir menjadi sebuah gerakan untuk mencerdaskan bangsa. Kata orang kan harus berpikir global dengan aksi lokal. Pergerakan itu awalnya juga hanya skala lokal saja.
Dimulai di utara Bandung. Tahun 1980 Desa Ciburial menjadi saksi didirikan Pesantren Al Qur’an Babussalam dengan jenjang pendidikan mulai dari TK hingga SMA. Sudah 34 tahunan berdiri dan memberikan sumbangsihnya kepada bangsa.
Beberapa tahun kemudian didirikan juga pesantren di Selayar Sulawesi Selatan. Tempat itu adalah kampung halaman Bapak. Agar pesantren baru yang dibangun itu bisa berjalan dengan baik, 15 orang guru asli Selayar diboyong ke Bandung. Setelah setahun lamanya mereka digembleng di Bandung, 15 orang itu dikembalikan lagi ke Selayar.
Pada masa tsunami menerjang Aceh, Selain membuat sekolah di Meulaboh dan Aceh besar. 20 anak-anak korban Tsunami diboyong ke Pesantren Babussalam Bandung untuk dididik dan dibina. Sayangnya dari 20 orang itu tersisa satu orang yang bertahan dan melanjutkan kuliah di bidang IT. Sudah menjadi komitmen bahwa setelah kuliahnya beres maka yang tersisa itu harus kembali ke Aceh dan mengembangkan ilmunya di sana.
Pembangunan sekolah babussalam di wakatobi
ke Babussalam dari penjuru pulau Wakatobi (Dokpri)
Tak ketinggalan di Nias. Sebuah mesjid dan madrasah dibangun di Nias Selatan. Untuk kaderisasinya direkrut dua orang santri yang disekolahkan di Bandung dan Jakarta. Pada tiap Ramadhan pun dikirimkan mubaligh selama sebulan penuh.
Di Wakatobi, Di atas tanah seluas 1 ha Pesantren Babussalam juga didirikan. Rencananya akan membuat SMA kelautan. Wakatobi dianugrahi kekayaan laut yang luar biasa. Sudah tak aneh jika berton-ton ikan napoleon, lobster dan kekayaan laut lainnya hanya dikirim ke luar negeri sementara orang indonesianya hanya mendapat yang kualitas jeleknya.
Dengan didirikannya SMA kelautan di Wakatobi, semoga saja kekayaan alam anugrah dari Allah swt itu bisa dikelola dengan baik dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran Wakatobi sendiri.
Duka dan Sukanya
Mendirikan sekolah di tempat seperti Selayar, di pelosok Sumatera, Nias, Wakatobi sangatlah sulit. Ketersediaan SDM sangat minim. Ada guru yang mau mengajar saja di tempat itu sudah bagus.
Kalau dikirim dari Bandung biayanya yang relativ tinggi. Gaji bulanan, tiket pulang tiap jangka waktu tertentu. Guru yang dikirim juga berhadapan dengan budaya yang berbeda dan memerlukan adaptasi.
Untuk mengatasinya, maka diboyonglah orang-orang dari tempat-tempat itu untuk ditempa di Bandung. Cukup membiayai setahun, setelah itu mereka bisa dilepas di kampungnya sendiri.
Babussalam Meulaboh (Dokpri)
Pembangunan Mesjid dan madrasah di Nias Selatan (Dokpri)
Dari selayar pernah diboyong 15 orang calon guru untuk dididik di Bandung. Itulah boyongan terbesar yang pernah dilakukan. sekarang mereka menjadi pendidik-pendidik tangguh dan menjadi tempat bertanya guru-guru di Selayar. Dari Nias, Solok selatan, Wakatobi juga ada yang sekarang sedang dididik dan dipersiapkan untuk kembali ke kampung halamannya.
Untuk menjaga kualitas pendidikan, dikirim juga santri alumni dari LN. Sekarang dia dan keluarganya malah betah tinggal di sana. Alumni dari sekolah di selayar, selain dikirim dan dididik di jawa juga dikirim ke beberapa universitas di luar negeri.
Kesulitan lainnya adalah tingginya biaya mendirikan sekolah. Bahan-bahan bangunan harus diambil dari pusat-pusat kota yang biasanya sangat jauh. Kalaupun beli di tempat harganya biasanya mahal berlipat lipat.
Di Wakatobi misalnya. Kalau mau murah, ya harus membeli bahan bangunan dari Buton atau dari Kendari sekalian. Belinya juga harus langsung sekapal. Cara itu memang murah, namun harus punya uang cash yang banyak di tangan.
Kesulitan lainnya berkaitan dengan budaya kerja di masing-masing lokasi yang berbeda. Di aceh misalnya (maaf. Tak ada maksud menjelekan), pekerjanya inginnya digaji sama bahkan lebih tinggi dari gaji pekerja yang dikirim dari Bandung. Namun dengan etos kerja yang jauh dari yang diharapkan.
Beda di Aceh, beda lagi di Wakatobi. Kalau sudah masuk musim melaut, para pekerja akan meninggalkan pekerjaannya. Saat itu susah sekali mencari pekerja bangunan. Selain itu, budaya ngopi dan menyanyi juga sangat dominan sehingga baru beberapa saat bekerja sudah minta istirahat. Ngopi dan nyanyi nyanyi.
Sukanya? Woooow . Ketika berdiri menyaksikan bangunan sekolah itu berdiri sedikit demi sedikit rasanya seperti sudah berada di surga lapis keempat.
Ketika bangunan sederhana yang berhasil dibangun itu diresmikan oleh tokoh-tokoh setempat rasanya jiwa ini sedang berada di surga lapis ke lima.
Ketika menyaksikan anak-anak dengan pakaian sederhana, tak bersepatu dan wajah yang riang, berdatangan ke sekolah yang kita buat, rasanya itu seperti berada di surge lapis keenam.
Mesjid Nias Selatan Babussalam (Dokpri)