Disambut oleh semilirnya angin segar, yang menelisik sela-sela dedaunan teh di perkebunan Malabar. Walau sedikit jalan menuju makamnya tidak begitu bagus namun undangan untuk mengunjunginya telah lama saya pendam. Bersama dengan dua orang muridku, Taufik Mardani dan Fahmi, kami mengunjungi Bosscha.
Perjalanan mengunjungi Bosscha adalah awal aprak-aprakan (perjalanan) saya mengelilingi Jawa Barat bagian selatan. Santolo adalah tujuan akhir dan Bosscha adalah ketidaksengajaan. Awalnya saya ingin mengunjungi stasiun radio Malabar, namun ternyata kebablasan. Daripada balik lagi saya pilih untuk mampir ke Bosscha.
Menemukan makam Bosscha, sangatlah mudah. Tanya saja di Pasar Pangalengan, orang akan menunjuk sebuah area perkebunan teh. Sampai di gerbang, Tanya lagi kepada penjaga dan dia akan menunjukan satu tempat yang sangat rindang. Mengapa perlu bertanya? Karena sedikit sekali penunjuk arah menuju makam Bosscha.
Makam Bosscha berada di tengah rindangnya pohon-pohon tua di hamparan hijau perkebunan teh Malabar. Makam berasitektur Eropa masihi dirawat dengan baik. Pusaranya merupakan kubah putih yang sudah berlumut. Makamnya dikelilingi pagar. Mungkin agar makam aman dan terjaga dari hal yang tak diinginkan.
Bberapa meter dari pintu pertama, terdapat prasasti bertuliskan sedikit biografi Bosscha, tanda jasa dan penghargaan yang diterima. Cukup untuk bisa memberikan informasi tentang orang tua gendut dalam foto di makam.
[caption id="" align="aligncenter" width="334" caption="Makam Bosscha di Perkebunan Teh Malabar"][/caption] Tidak perlu membayar untuk masuk ke sini karena tak ada penunggu tiket. Hanya kepada Bah Ohim, penjaga yang selalu membersihkan makam orang biasa memberi tips. Tak ada tariff khusus. Seikhlasnya saja. Berapapun yang diberikan akan diterima dengan senyum dan keramahan.
Bosscha atau nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Bosscha lahir pada tahun 1865 di Belanda, dan wafat pada tanggal 26 November 1928 di Malabar Bandung, Jawa Barat. Dia datang ke Indonesia sekitar tahun 1887, dalam usia 22 tahun.
Sebelum mengembangkan perkebunan teh miliknya sendiri, Bosscha membantu perkebunan teh milik pamannya Edward Julius Kerkhoven, di Sukabumi. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar dan pangalengan. Bosscha menjabat sebagai Administratur selama 32 tahun. Selama itu, ia mendirikan dua pabrik teh dan menjadikan perkebunannya sebagai perkebunan yang maju. Dengan kemajuan perkebundan dan pabrik tehnya, Bosscha menjelma menjadi “Raja Teh Priangan”.
[caption id="" align="aligncenter" width="376" caption="Gerbang masuk perkebunan teh "][/caption] Jika orang lebih mengenal Bosscha sebagai pemerhati astronomi ketimbang raja teh, sangatlah wajar karena Bosscha juga merupakan seorang pemerhati astronomi. Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium di Lembang. Observatorium yang terkenal. Beberapa peninggalan lainnya yang hingga kini bermanfaat bagi masyarakat umum seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, ITB dan Rumah Sakit Mata Cicendo.
Berkunjung ke makam Bosscha mengantarkan saya pada banyak hal. Tentang teh dari priangan yang pernah merajai pasar teh dunia, pada kecintaan orang asing –seperti Bosscha- pada keindahan dan kekayaan Nusantara dan… dan… Ah… akhirnya saya hanya bisa menikmati keindahan perkebunan teh Malabar ditemani oleh semilir angin gunung.
Setelah dari makam, seharusnya sama mampir ke Villa Bosscha yang juga jadi museumnya, namun awan hitam yang mendatangi saya memaksa untuk segera meninggalkan Bosscha dan menuju Santolo.
[caption id="" align="aligncenter" width="445" caption="tenggelam di kehijauan"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H