Lihat ke Halaman Asli

Goenawan

Wiraswasta

UU MD3 Bukti Kacaunya Manajemen Gaya Jokowi

Diperbarui: 23 Februari 2018   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penolakan Jokowi menandatangani UU MD3 tentu saja mengagetkan banyak orang. Terlepas dari isinya yang kontroversi atau debatable, penolakan ini jelas menunjukkan carut marutnya tata kelola pemerintahan. Bagaimana mungkin UU yang sudah disetujui DPR dan Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) tiba tiba saja ditolak oleh presiden?

DPR juga diisi partai dari pemerintah, di bahas bersama Menteri Dalam Negeri. Dua unsur tersebut tentu dalam korrdinasi Jokowi. Ketua Umum Golkar dan Ketua Umum PPP saja yang notabenya di luar hirarki bisa diatur atur, apalagi ini partai pengusung pemerintah dan Menteri yang bawahannya langsung. Jika ini bukan skenario pencitraan tentu ini warning besar bagi negeri ini, bahwa negara dikelola dengan serampangan. Sistem tata kelola tidak dilakukan dengan baik, jadi mustahil melahirkan produk yang baik.

Sebenarnya UU MD3 hanyalah satu dari banyak bukti bahwa sudah terjadi tata kelola dan manajemen yang buruk atas negara ini. Bukti lainnya adalah banyaknya kecelakaan kerja dibidang infrastruktur. Kita semua tahu konsorsium BUMN pernah membangun toll laut di Bali pada jaman SBY dan semua berlangsung hebat tanpa kendala berarti padahal dengan topografi laut tentu operasional crane dan alat berat lainnya menjadi jauh lebih sulit dibanding bekerja di darat. 

Tetapi dengan pengalaman yang begitu hebat, saat ini BUMN tersebut menjadi begitu demam panggung untuk pekerjaan yang jauh lebih ringan, dari beton ambrol, crane terlepas, crane ambruk, begesting ambrol dsb. Kesalahan yang sangat dasar sekali. Mustahil insinyur yang sama tiba - tiba tidak bisa menghitung hal - hal teknis yang sebenarnya sederhana.

Kecelakaan dibidang infrastruktur tidak bisa di lepaskan dari manajemen POKOKNYA dan COPOT yang menutup argumentasi teknis dan nalar sehat. Bagaimanapun pekerjaan teknis ada hitungan timeframe dan sisi K3nya. Memang benar beberapa pekerjaan bisa dipercepat tetapi tentu saja membutuhkan biaya tambahan untuk alat pendukung dan material khusus. 

Manajemen POKOKnya tidak mengenal diskusi mengenai hal ini. Maunya cepat dan tanpa mau biaya tambahan. Akhirnya beberapa pekerjaan dilakukan lebih cepat dari aturan teknis yang seharusnya, misalkan saja beton yang belum matang diberi beban sehingga terjadi crack awal yang sulit terdeteksi secara kasat mata.

Dari segi pembiayaanpun, rakyat sudah diseret seret jauh dari janji awal. Dulu seingat saya infrastruktur dibiayai oleh subsidi BBM yang dicabut, yang dibilang nilainya ratusan trilyun rupiah. 

Masih jelas terngiang ditelinga kita atas wacana "ratusan trilyun habis dibakar dijalan - jalan". Sekarang? ternyata uang subsidi yang dulu diwacanakan entah kemana, yang terjadi utang luar negeri naik secara cepat dan infrastuktur sebagai kambing hitamya. 

Dengan pertumbuhan utang luar negeri yang jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi. Apakah kita masih memberi kesempatan untuk periode 2? Kita selalu diberi angin surga seolah ini rezim terbaik, walaupun secara angka - angka ekonomi sulit mengamini. 

Kita menjadi terbiasa dengan daging sapi diatas 100ribu, import garam, import beras. Padahal isu isu itu yang dulu dibilang mudah diatasi, Bahkan dibilang kita tidak saja AKAN swasembada beras tetapi juga BANYAK bahan pangan lain seperti kedelai, jagung dsb. Sekarang apa?

Kemampuan managerial yang rendah coba dipoles dengan slogan "BERSIH". Pertanyaannya kalau memang bersih, mengapa harus membeli banyak sepeda untuk menimbulkan kerumunan santaklaus? Datanglah pada rakyat apa adanya tidak perlu memakai topeng dengan banyak sepeda dan hadiah - hadiah yang 'lucu". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline