Lihat ke Halaman Asli

Goenawan

Wiraswasta

Gratis Tidak Selalu Menguntungkan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Prinsip ekonomi adalah mendapatkan laba semaksimal mungkin dengan modal sekecil – kecilnya. Mungkin definisinya perlu di revisi, bukan lagi sekecil kecilnya tetapi seoptimal mungkin. Kata “sekecil – kecilnya” menimbulkan konotasi asal asalan, atau alakadarnya. Sedangkan optimal lebih berkonotasi pas sesuai takaran, sesuai dengan target laba yang dibidik.

Realitanya anda tidak bias menggaji karyawan ala kadarnya, membeli fasilitas kantor seadanya. Kemudian berharap laba yang fantastis. Mungkin ini cocok untuk yang baru merintis usaha, karena targetnyapun tidak muluk – muluk dalam arti sekedar survive dulu.

Tetapi seiring usaha yang berkembang dan visi yang lebih besar kata “sekecil – kecilnya” tidak lagi sesuai. Itu sebabnya pengacara – pengacara hebat berkantor di gedung – gedung megah Sudirman, Thamrin, Kuningan. Walaupun biaya sewanya mahal tetapi peluang untuk mendapatkan klien perusahaan – perusahaan besar menjadi besar juga. Akhirnya biaya yang optimal tersebut tertutupi dengan omzet yang ada.

Tulisan ini sebetulnya lanjutan dari tulisan sebelumnya. Awalnya saya kasih judul …. JILID 2. Tetapi karena kata “bajak” diprotes sama mas HAR. Maka saya ganti judulnya di JILID 2 ini.

Bagaimana Kompasiana (manajemen) berkolaborasi dengan para developer (penulis atau nara sumber bermutu)?

Faktanya berita di kompas.com yang hanya beberapa alinea rata - rata di baca puluhan ribu bahkan ratusan ribu dalam beberapa jam saja. Tetapi kontradiksi dengan kompasiana, sangat jarang hal itu terjadi, kalaupun ada paling satu dua, itupun didominasi komunitas yang saya sebut pembajak sebelumnya.

Padahal potensi Kompasiana menjadi standar opini dengan nara sumber berkelas sangat besar. Jadi kenapa harus mempertahankan yang gratisan yang justru bisa men-downgrade awareness kompasiana.

Contohnya seperti ini: Saat Anas Urbaningrum mewacanakan pen-cawapresan SBY. Kenapa Anas tidak diundang menulis di kompasiana lengkap dengan bahasa politik dan kampanyenya? Bagaimanapun beliau adalah politisi yang perlu media yang mengkomunikasikan bahasa politiknya?

Suatu tulisan asli dari nara sumber, tanpa editan editor, tanpa batasan jumlah kata, bisa pakai grafik, gambar, ilustrasi, dsb. Hal yang tidak bisa dilakukan diedisi cetak. Pasti suatu magnet yang kuat bagi pembacanya.

Apalagi jika kubu demokrat bersedia membuat tulisan tandingan. Pasti kompasiana akan lebih energik dan menjual. Seperti halnya Indonesia Lawyer Club di TV One. Tetapi disini bisa lebih flexible, detail, tanpa batas ruang dan waktu.

Mengapa harus dibayar?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline