Lihat ke Halaman Asli

Goenawan

Wiraswasta

Target Kita adalah Bubarkan KPK

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat KPK berhasil menyadap, kemudian menangkap memenjarakan dan mengadili koruptor tentu kita semua senang. Rasa sakit hati pada pencuri uang rakyat sepertinya sejenak terobati. Tetapi marilah kita putar ulang apa yang telah KPK lakukan selama ini. Tidak salah jika seringkali KPK tercium sebagai alat politik penguasa atau mereka yang punya uang.

Kasus Antasari, kasus Bibit Slamet Riyanto dan Chandra Hamzah dan terakhir indikasi pada Ade Rahardja terkait kasus Hambalang, harus membuat kita bercermin. Memang sulit mengajak mengoreksi diri ketika euforia dan ekspektasi masyarakat begitu besar pada KPK untuk membabat habis korupsi di Indonesia.

Selama sistem demokrasi kita liar dan penegakan hukum lemah, maka siapapun politisi negara ini punya peluang yang sama untuk menjadi pasien KPK. Jika itu terjadi sebetulnya yang rugi negara ini juga. Para politisinya seperti menunggu giliran dan arah angin politik untuk menjadi pasien KPK.

Adakah politisi bersih di negeri ini?

Jika Nazarudin tidak membuat pengakuan yang menggemparkan maka, tidak akan ada yang percaya Anas Urbaningrum, pemuda yang sebelumnya dikenal santun mempermainkan proyek negara seperti disangkakan oleh KPK.

Kubu Anas akan dengan mudah beralibi, dia hanya orang partai, tidak terlibat dalam birokrasi pemerintahan, bahkan anggota DPR pun bukan. Bagaimana bisa bermain proyek. Dan kemudian kita semua akan mudah mengamininya dan segera membenarkannya melihat betapa santunnya sikap Anas.

Pertanyaannya Apakah Anas satu - satunya ketua partai yang bermain proyek? Tentu tidak, karena Ketua Umum PKS juga menjadi pasien KPK. Apakah hanya dua orang dan dua partai ini? Pertanyaan yang mudah dijawab, tetapi bisa menimbulkan kemarahan pendukung partai tertentu. Apalagi jika beberapa kadernya dianggap ORANG BERSIH.

Bukan skeptis, tetapi kenyataannya tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya, di artikel sebelumnya. Bagaimana cara Jokowi mengembalikan biaya kampanye pilkada DKI 16 Milyar rupiah?

Dari sini kita bisa melihat sistem demokrasi kita memang munafik. Sangat tidak masuk akal seorang Gubernur hanya di gaji 5.1 juta, kurang dari 2 kali UMR DKI. Kemudian regulasi mengatakan mereka berhak atas dana operasional/ Dana taktis sebesar 1% dari APBD. Ini benar - benar peraturan yang konyol.

Pejabat kita dipaksa untuk melakukan pat gulipat dengan dana abu - abu. Artinya sejak pertama kali menjabat mereka sudah disediakan dana yang bisa di korup dengan aman. Itu sebabnya seorang Wagub bisa dengan sombong bilang akan naik Taxi Alphard jika tidak boleh memakai kendaraan dinas. Sebetulnya sih silahkan saja asal tidak memakai dana taktis. Tapi apa mungkin? Gaji saja cuma Rp. 4.1 Juta sebulan. Tak heran setelah lama menjabat mereka jadi hapal jalan tikusnya. Jadi dana - dana yang jelas hitampun akhirnya diembat juga.

Sistem munafik peninggalan Orde Baru harus di rombak. Menghilangkan dana abu - abu akan membiasakan pejabat kita hidup bersih. Selanjutnya gajilah pejabat kita secara manusiawi. Jika hidup bersih sudah menjadi bagian sistem bangsa ini bernegara. Maka KPK sebagai lembaga yang sifatnya ad hoc bisa dibubarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline